"Gue ragu sebenerya. Tapi perasaan gue nggak enak terus. Tante dateng barusan, bawa pelanggan baru. Makanya gue buru-buru telepon lo."
***
Will menjemput Yas di gerbang depan. Tempat ini adalah sebuah club. Yas dulu sempat bekerja di sini. Ia berhenti setelah diselamatkan oleh Junot. Andai saja saat itu tidak ada Junot, entah sudah jadi apa Yas saat ini.
Will mengajak Yas melewati jalan pintas, yang lebih cepat mengantarkan mereka ke ruangan di mana Theo berada.
Sampai di sana, Will meminta Yas untuk memastikan terlebih dahulu. Mereka mengintip dari celah kecil di jendela. Yas ingin tak mempercayai penglihatannya. Namun bocah yang ada di dalam … itu benar-benar Theo.
Yas melangkah mendekati pintu masuk. Will berusaha menghentikannya, berusaha membuat Yas tidak gegabah. Tapi Yas seakan tak peduli. Ia tetap membuka pintu tanpa ragu.
Theo terkejut dengan kedatangan Yas. Tapi sungguh ia sangat bersyukur dan lega. Ia ketakutan setengah mati. Ia bahkan tak berani bergerak di kursinya, hanya diam mendengarkan obrolan Tante dan Oom—yang katanya adalah calon pelanggan. Mereka sedang bernegosiasi untuk bertransaksi atas dirinya.
Setelah kedatangan Yas, Theo mendapat keberanian untuk beranjak. Ia segera menyembunyikan diri di belakang punggung Yas.
"Yas!" seru Tante.
Theo di belakang Yas langsung mendelik. Ia bingung, bagaimana Tante bisa mengenal Yas?
Yas menatap Tante itu tajam. Satu hal yang baru disadari oleh Yas, bahwa transaksi belum terjadi, dan ia sangat bersyukur karenanya.
"Udah lama Tante nggak lihat kamu. Dan kamu masih sama kayak dulu … so hot!" Wanita berusia 50 tahunan itu menggoda Yas. Si calon pembeli hanya diam mengamati.
"Mohon maaf, tapi saya harus membawa Theo pergi sekarang juga!" Yas menggamit pergelangan tangan adiknya, bersiap pergi.
"Tunggu dulu!" Tante menghentikan pergerakan mereka. "Apa hubungan kalian?"
"Dia adik saya."
Tante tertawa. "Pantes aja. Pertama lihat dia, saya langsung inget kamu. Dan kalian sama-sama ... uh ... Tante suka!"
"Kami pergi sekarang."
"Tapi, Yas ...." Ucapan Tante itu kembali menghentikan pergerakan mereka. "Transaksi sudah hampir terjadi, lho. Kalau kamu bawa dia pergi seperti ini, saya rugi dong! Jadi ...." Wanita itu terkekeh. "Kamu ngerti, kan, maksudnya?"
***
Sesampai di parkiran, sebelum masuk mobil, Yas terlebih dahulu mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Will. "Will, thanks banget. Tapi gimana kalo Tante sampai tahu bahwa ...."
"Lo tenang aja, kalaupun gue dipecat, gue udah siap. Toh gue juga udah lama pengin pergi dari tempat penuh dosa ini." Will tersenyum tulus.
Yas menggenggam erat jemari Will. "Sekali lagi makasih banget! Gue nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada lo."
Sepasang teman lama itu saling berpelukan singkat, sebelum Yas dan Theo akhirnya benar-benar pergi dari club ini.
Sepanjang perjalanan, Yas dan Theo hanya diam. Suasana menjadi sangat canggung. Mereka berkutat dengan pikiran masing-masing. Yas yang bingung bagaimana Theo tiba-tiba bisa ada di tempat itu.
Masih mending kalau calon pelanggannya adalah tante-tante. Nah ini, malah oom-oom.
Ponsel Yas tiba-tiba berbunyi. Yas mengernyit karena Bu Mina-lah yang menelepon.
"Ada apa, Bu?"
“Pak Yas … mohon maaf sebelumnya? Bisakah Bapak segera kembali ke sekolah? Sesuatu barusan terjadi. Berhubungan sama Elang.”
“Sesuatu apa, Bu? Elang kenapa?”
“Elang bikin masalah, Pak. Dia mukul salah satu siswi sampai pingsan. Orangtua siswi itu sudah ada di sini sekarang.”
Yas segera memijit pelipisnya begitu mendengar penjelasan panjang dari guru BK itu. Entah sudah kejutan yang ke berapa dalam hari yang sama. Semoga ini yang terakhir.
"Kenapa?" Theo akhirnya buka suara.
"Kita harus segera ke sekolah. Elang bikin masalah."
***
"Anda orangtuanya anak ini?" tanya lelaki berkumis tebal, ayah si korban.
"Saya kakaknya," jawab Yas akhirnya.
"Pak Yas, silakan duduk!" Bu Alila datang membawa kursi untuk Yas.
“Terima kasih,” ucap Yas tulus.
Theo menggerutu melihatnya. Tapi gerutuanTheo segera terhenti, kala Bu Alila tiba-tiba berjalan mendekatinya.
Jangan ditanya bagaimana reaksi jantung Theo di dalam dadanya. Rasanya sudah mau lepas dari uratnya.
"Ke mana aja kamu? Pak Yas nyariin kamu seharian!” Bu Alila mendatanginya untuk mengomel ternyata.
"Saya sudah dengar detail ceritanya dari para saksi." Ayah Luna lanjut bicara. "Saya akui anak saya juga salah. Tapi nggak sepantasnya adik Anda memukul anak saya. Apalagi anak saya adalah seorang perempuan!"
"Luna sampai pingsan, dan sampai sekarang belum sadar," imbuh sang istri.
Yas melirik Elang di sana. Ia masih berada di posisi yang sama seperti tadi, menunduk dalam diam, dengan raut wajah yang sulit diartikan.
"Maafkan adik saya, Pak, Bu," ucap Yas. "Belakangan ini sedang banyak masalah di rumah. Jadi, mungkin adik saya terbawa suasana hati. Makanya sampai tega berbuat seperti itu. Sekali lagi, maafkan adik saya."
"Saya nggak peduli apa masalahnya, tapi saya harap Anda bisa mengajari adik Anda itu dengan lebih baik lagi. Apalagi Anda memang seorang pendidik, bukan?"
Yas mengangguk. Ada perasaan mengganjal di hatinya. Profesinya sebagai seorang guru barusaja dihakimi di hadapan orang banyak. Tapi ia bisa apa?
"Saya bingung, Pak Yas," celetuk Bu Mina. "Selama ini Elang memang dikenal sebagai raja tega. Dia suka nantang orang yang nggak suka sama dia. Dan dia juga sering terlibat insiden adu fisik. Tapi baru kali ini dia mukul anak perempuan.
"Elang sendiri dari tadi diem terus. Padahal saya cuman pengin tahu kenapa dia sampai tega mukul Luna. Tapi dia nggak mau jawab sama sekali. Juga nggak mau membela dirinya sendiri. Dan ... para saksi tadi bilang bahwa Elang sempet nangis, lho!"
Yas kembali menatap Elang. "Lang!" serunya. Siapa tahu sekarang Elang sudah mau bicara.
"Mohon maaf, Bu. Mungkin Elang tidak mau bicara karena memang ini bukan masalah yang bisa diceritakan pada khalayak ramai. Jadi, saya mohon pengertiannya.
"Baiklah, Pak Yas. Saya bisa mengerti."
"Terima kasih atas pengertiannya."
“Saya harap masalah internal keluarga Anda segera selesai, sehingga Theo dan Elang bisa bersikap lebih baik.”
“Aamiin. Saya akan berusaha, Bu.”
"Kasihan si kembar itu. Untung ada Pak Yas," gumam Bu Alila.
Bu Mina berdecak. "Bu Alila ini modus terus, sih, kerjaannya! Lagian, ngapain dari tadi ikutan njubel di ruang BK? Padahal Bu Alila nggak ada urusan apa-apa, kan?"
"Tapi, Bu, apa pun tentang Pak Yas, itu sudah menjadi urusan saya," jawab Bu Alila penuh percaya diri.
"Terserah Bu Alila aja, deh!"