Mahmud Power

1845 Words
    Elang coba menimang bayi itu perlahan. Ia juga menepuk-nepuk bokongnya dengan sayang, seperti apa yang sering dilakukan para ibu untuk menenangkan anak-anak mereka yang menangis.     "Dia laper kali, Lang!" Theo menjawab sekenanya.     "Oh, bisa jadi!" Elang masih senantiasa menimang Namira. Hingga tak sadar bahwa timangannya kini sudah berubah menjadi terlalu kencang.     "Woy, anak orang, tuh! Ntar kalo jatoh, disuruh ganti, mampus lo!" Theo terlihat panik, benar-benar takut jika bayi itu sampai jatuh betulan.     "Terus gue harus gimana? Lo, tuh, mbok ya  yang peka dikit! Tadi lo sendiri yang bilang dia laper, kan?"     "Emang iya. Terus?"     "YA BURUAN BIKININ s**u SANA, BEGOOOO!" Elang muntab.     Theo otomatis menutup kedua telinga Namira dalam gendongan Elang. Kasihan benar bayi ini. Tujuan ia dititipkan kemari adalah agar tidak mendengar omongan rusuh para Mama Muda anggota geng-nya Keke.     Tapi di sini ia malah harus mendengar amukan Elang yang sedang murka. Sudah omongannya kasar, intonasinya tinggi pula.     "Heran gue, seharusnya kalo suara lo bisa setinggi itu, orangnya setidaknya juga harus tinggi lah. Nah ini?" Theo menyetarakan puncak kepala Elang dengan telinganya.     "SIALAN!" Elang semakin muntab. "BURUAN BIKIN s**u SANA! MALAH NGATAIN!"     Theo lari terbirit-b***t ke dapur. Takut juga lama-lama. Karena kakaknya itu sangat mirip dengan para kanibal di film 'Wrong Turn' tiap kali marah.     Elang meneruskan menimang-nimang keponakannya. "Sabar dong! Gue juga laper, sumpah!" Elang malah curhat pada Namira.     Biasanya jam segini, sarapan sudah disiapkan oleh Yas. Elang dan Theo tinggal makan saja. Sekarang boro-boro ada yang menyiapkan sarapan!     Selang beberapa saat lamanya, lengan Elang rasanya mulai pegal. Anak ini keliahatannya saja kecil, tapi kok, ya, berat begini!     Elang memutuskan untuk naik, menuju ke kamar Yas, untuk meletakkan bayi ini. Sehingga ia bisa meregangkan lengannya yang sudah nyaris kram.     Sampai di kamar Yas, Elang dengan cepat menjalankan niat—meletakkan keponakannya pada ranjang king size milik Yas—namun tangisan Namira malah semakin menjadi. Elang berpikir keras untuk menemukan cara agar bayi ini diam.     Elang menuju pada box  bayi di sudut ruangan. Matanya berbinar melihat banyak mainan anak di sana. Elang mengambil salah satu, sebuah mainan berwarna merah menyala, yang jika diputar tuasnya, rumbai-rumbai yang berada di bagian bawah akan berputar-putar indah.     Lihatlah, Elang sendiri tertawa saat mencoba mainan itu. Jadi, Namira juga pasti akan tertawa. Atau setidaknya akan berhenti menangis.     Sayangnya, Elang harus menelan kekecewaan mendalam. Jangankan tertawa atau berhenti menangis, Namira sama sekali tak mau menatap Elang dan mainan itu barang sedikit. Ia masih asyik menangis sepuas-puasnya, seakan tak ada hari esok.     "Nih, susunya, nih!" Theo berlari tergopoh-gopoh memasuki kamar Yas. Ia tadi kebingungan mencari keberadaan Elang yang menghilang dari tempat semula. Namun karena tangisan Namira, ia segera tahu bahwa Elang membawa bayi itu ke mari.     Elang segera menerima botol s**u yang diberikan oleh Theo. Ia mendelik melihat s**u hasil buatan Theo. "Astaga! Kenapa nggak ada hal di dunia ini yang bisa lo lakuin dengan bener, sih?"     Theo menghela napas. “Gue salah apa lagi, sih, Lang? Padahal tadi gue bikin s**u itu dengan sepenuh hati, jiwa, dan raga. Ini pertama kalinya gue mendedikasikan sesuatu buat orang lain. Kenapa nggak lo haragain sama sekali?”     "Heleh … prêt … lo bikin s**u apa air bening warna putih pudar? Ini keenceran, tauk! Ya mana kenyang ini anak lo suruh minum ini? Yang ada justru makin nangis gara-gara laper terus!”     "Ya mana gue tahu kalau ada teori kayak begitu? Gue masih bujang, belum pernah punya anak. Ya mana ngerti? Nah lo ngerti amat. Jangan-jangan lo udah pernah punya anak! Udah, lo aja sono yang bikin!" Theo sudah bosan diomeli oleh Elang.     Ia melengos, memilih menghampiri Namira—yang masih menangis. Bahkan selain menangis, ia juga mulai menendang-nendang selimutnya.     Elang berlari keluar kamar, turun untuk membenahi s**u dalam botol, supaya tidak keenceran lagi.     Theo tersenyum miring menatap wajah keponakannya yang sudah merah, karena terlalu lama menangis. Inilah saatnya melancarkan aksi.     Satu, dua, tiga ....     "Ciluuuuuuk ... baaaaaa! Ciluuuuuuukkkk ... baaaaaaaa!" Theo mengeluarkan tampang terimut, yang justru membuatnya terlihat aneh.     Theo merengut karena Namira masih saja menangis. Ia mengulangi aksinya sekali lagi, dan masih tidak berhasil.     Parahnya, Namira malah menangis semakin keras. Mungkin karena ia ketakutan, mengira Theo adalah penampakan Ummu Sibyan. Itu, tuh, hantu yang suka mengganggu anak-anak saat Maghrib.     Theo tak kehilangan ide. Sama seperti Elang tadi, ia mencoba mencari sesuatu dalam box bayi Namira.     Rupanya dalam box itu, tersimpan sebuah keranjang berisi banyak sekali mainan bayi. Theo membawa keranjang seisinya ke atas ranjang Yas. Ia kemudian mengambil satu mainan.     "Nih, lihat, nih! Ini kalo diputer bisa bunyi!" Theo segera memutar mainan itu.     Benda itu kemudian benar-benar mengeluarkan bunyi-bunyian lucu. Theo tertawa kegirangan seperti orang gila.     Sayang, Namira masih menangis.     Theo mengambil satu mainan yang lain, kemudian memainkannya lagi. Mengambil lagi, memainkannya lagi. Mengambil lagi, memainkannya lagi. Terus begitu, sampai seluruh mainan dalam keranjang habis. Tapi Namira masih menangis terus.     "Susunya dataaaaaaang!" Elang datang dengan membawa satu botol s**u yang sudah di-upgrade.     Wajahnya terlihat dimanis-maniskan. Sampai Theo merasa ingin muntah melihatnya.     "Cup-cup, nih minum, nih! Tenang, tadi udah gue cobain dikit, enak kok." Elang memasukkan empeng botol itu ke mulut Namira.     Bayi itu meminum susunya dengan antusias. Kini, baik Elang ataupun Theo bisa bernapas lega. Akhirnya anak ini diam juga. Ternyata benar bahwa ia hanya lapar.     “Gawat … udah jam tujuh, Lang!" Theo panik setelah melihat jam dinding.     “Jam tujuh" Elang tak kalah panik dengan Theo.     Ia menatap jam dinding untuk memastikan. Benar. Ini sudah jam tujuh. Mereka jelas-jelas sudah terlambat ke sekolah. Dan itu semua berkat Keke.     Sepertinya sia-sia Keke menitipkan Namira ke mari. Tujuan wanita itu adalah, agar Namira terhindar dari kata-kata rusuh geng Mama Muda. Tapi di sini, malah oom-oomnya sendiri yang menyampaikan berbagai kata-kata rusuh, yang telah menodai telinga suci Namira.     "Ada dua kemungkinan!" celetuk Elang.     Theo mengernyit. Ia melihat perubahan air muka Elang. Elang saat ini sedang luar biasa geram, ia merasa begitu bodoh. Ia baru menyadari sesuatu yang seharusnya sudah ia sadari sedari tadi.     "Dua kemungkinan apaan? Dan kenapa muka jadi lo gitu?" Theo bingung.     "Dua kemungkinan. Tante Keke benar-benar lupa, atau dia emang sengaja mau ngerjain kita."     "Maksud lo?"     Elang menjambak rambutnya sendiri, frustrasi karena loading  saudara kembarnya yang selalu lama.     "Namira kalau jam segini biasanya dititipin ke daycare, kan? Terus kenapa Tante Keke malah nitipin dia ke kita? Kenapa nggak dia anter ke daycare? Dan kenapa juga gue baru sadar sekarang?"     "Waduh … bener juga kata lo, Lang. Kita dikerjain!"     "Duh, Oom Junot dulu nemu di mana, sih, istri macem begitu? Heran gue!"     Tanpa sengaja, Elang menggeser posisi tangan saking kesalnya. Alhasil, botol s**u Namira juga tergeser. Elang dan Theo melotot.     Elang segera memasukkan empeng botol ke mulut Namira kembali. Tapi terlambat. Bayi itu sudah telanjur menangis lagi.     "Ampun, cengeng amat, sih, lo!" ejek Elang sambil terus berusaha meminumkan susunya kembali.     Tapi Namira tidak mau. Ia sudah terlanjur ngambek. Ia lebih memilih menangis, daripada meminum susunya.     "Gimana dong, nih?" Elang frustrasi.     Theo menggeleng. Artinya, ia juga tidak tahu harus bagaimana lagi.   ***       Di sebuah café, sekitar pukul tujuh pagi.     Keke tengah tertawa bersama dengan geng  Mama Muda. Ia sedang luar biasa bahagia, karena berhasil menjual dua tas, empat pasang sepatu, dan beberapa potong baju.     Keke menerima telepon yang baru saja masuk. "Iya, kenapa, Lang?"     "Tante, Nami nangis terus ini!"     "Laper mungkin. Coba kamu bikinin s**u!"     Sepertinya Elang me-loud speaker ponselnya. Karena sekarang ini yang bicara justru Theo."Udah, Tan. Tadinya dia mau, sekarang udah nggak mau lagi. Terus Tante kenapa lama banget? Tante, tuh, sebenernya sengaja mau ngerjain kita, kan?"     "Ngerjain gimana?"     "Ya ... Tante sengaja nggak nitipin Nami ke daycare, malah ke kita. Biar kita terlambat sekolah, terus kita nanti bakal dihukum, deh. Udah ngaku aja!"     "Ya ampun, kalian kok tega, sih, nuduh Tante begitu! Sumpah, Tante tadi beneran lupa kalo seharusnya Nami dititipin ke daycare jam segini."     "Terus sekarang gimana? Kita udah telanjur telat sekolah. Dan Nami nangis terus nggak diem-diem."     "Ya udah, ya udah. Sabar. Tante langsung cus ke sana sekarang. Tunggu, ya!" Keke segera menutup sambungan secara sepihak.     Lihatlah, wanita itu sedang menyeringai sekarang. Ia baru saja menang melawan si kembar setan. Ia sangat kegirangan, sangat senang, dan sangat bangga pada dirinya sendiri.     "Kenapa, Jeng?" tanya salah satu anggota geng Mama Muda.     Keke mengibaskan rambutnya. "Inget ponakan kembar gue, anaknya almarhum Mas Riefan?     "Oh, yang ganteng-ganteng itu?"     Keke mengangguk. "Semalem, tuh, seharusnya Aa Junot ngajakin gue dinner. Tapi tiba-tiba, kakaknya si kembar setan sakit. Terus mereka kebingungan harus gimana. Padahal yang bikin penyakit kakaknya kumat, ya mereka sendiri. Gara-gara kelakuan mereka yang amit-amit nakalnya.     “Akhirnya, mereka minta tolong Aa Junot buat bawa Yas ke rumah sakit. Ya gue kesel, lah! Gara-gara mereka, Aa Junot batal ngajakin gue dinner. Ya udah, langsung gue kerjain aja biang onarnya!" curhat Keke panjang lebar.     "Ya ampun, temen gue yang satu ini emang top markotop, deh!" puji salah satu temannya.     "Titisan Ratu Pantai Selatan, kok dilawan!" tambah yang lain.     Mendengar beragam pujian dari teman-temannya, Keke semakin tersenyum lebar. Semakin bangga dengan kehebatannya.     "Ya udah, ya, Jeng. Gue langsung cus dulu. Kalau kelamaan ditinggal sama mereka, nanti cucu gue bisa rusak telinga dan hatinya."     "Cucu?" Mereka semua kebingungan.     "Kakaknya si kembar setan—yang lagi sakit itu—udah punya anak, masih bayi. Bayi yang sekarang sedang gue peralat buat ngerjain Theo dan Elang. Karena bayi itu adalah anak dari ponakan suami gue, berarti otomatis dia cucu gue, dong?"     Seketika semua anggota geng tertawa. Teman mereka ini memang tidak ada matinya. Anggota dari geng Mama Muda, yang belum ada tandingannya hingga detik ini.     Mereka semua tahu bahwa suami dari si titisan Ratu Pantai Selatan, adalah Herjunot Athabarrack, adik satu-satunya dari almarhum Riefan Athabarrack yang terhormat. Jarak umur kedua bersaudara itu memang terpaut jauh. Bahkan usia Junot dengan anak pertama Riefan—Yas—hanya terpaut lima tahun, saking jauhnya.     Saat anak pertama Ifan sudah memiliki anak, anak pertamanya Junot masih berumur lima tahun, dan sekarang masih duduk di bangku TK.     Dan Keke sendiri, jarak usianya dengan Junot adalah lima tahun. Umurnya saat ini sama persis dengan Yas, yaitu 27 tahun. Tak heran jika teman-temannya tertawa dengan fakta bahwa ia sudah menjadi nenek di usia itu.     Tante Keke pun segera berpamitan pada geng Mama Muda. Bersiap menjemput cucu pertamanya dari tangan manusia-manusia jahiliyah macam Theo dan Elang.   ***       Theo dan Elang masih melakukan berbagai macam upaya agar Namira berhenti menangis. Mulai dari mengeluarkan lelucon konyol, sampai mengeluarkan jurus-jurus silat amatiran, yang malah membuat mereka terlihat seperti cencorang. Pastilah Namira malah semakin ketakutan.     Mendadak Elang mematung. Theo sadar, ada sesuatu lagi yang baru disadari oleh saudara kembarnya.     "Cepetan ngomong! Apa kita baru aja dikerjain Tante Keke lagi?" Theo menduga-duga.     "Kali ini nggak ada urusannya sama Tante Keke."     "Terus apa dong?"     "Kayaknya gue udah tahu apa yang bikin anak itu nangis nggak berhenti-berhenti dari tadi."     "Apaan?" Theo semakin dibuat bingung dengan arah pembicaraan kakaknya.     Elang beringsut mendekat pada Namira. Ia menyibak selimut warna merah jambu, yang sedari tadi menutup tubuh bayi itu.     Mata Theo dan Elang seketika terbelalak lebar. Sangat-sangat lebar. Sungguh sangat lebar sekali.     “Ya Allah! Tolong jangan gini! Hamba udah nggak sanggup!” Elang meratap.     “Hamba juga, Ya Allah. Hamba takut, sangat takut!” Theo menutup hidungnya rapat-rapat.     Tiga bayi itu pun dengan kompak kembali menangis bersama-sama.   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD