Menulis sudah menjadi bagian dalam hidupku, kemanapun aku pergi buku kecil ini selalu kubawa. Buku ini tidak pernah absen menemani perjalananku. Sampul hitam dengan gambar kucing kecil ditengahnya menghiasi buku kesayanganku. Sederhana tapi sangat berharga.
Seperti kataku tadi buku ini tidak pernah absen kubawa, semua peristiwa dalam hidupku ada disini. Riwayat hidup, perasaanku, dan segala tentangku kuabadikan dalam bait kata.
Termasuk apa yang aku lalui hari ini. Hari pertama menginjakkan kaki di kampung halaman. Napak tilas mengenang masa-masa ketika aku masih tinggal di kota ini. Semuanya kutulis termasuk pertemuan dengannya... Pertemuan yang sama sekali tidak direncanakan.
"Lisa" sapaku saat tak sengaja melihat perempuan berjalan tak jauh dari hadapanku.
Dengan senyum mengembang ku hampiri dia yang mulai menyadari kehadiranku.
"Hai Rin!" Apsarini nama belakang Lisa. Begitu aku memanggilnya, bisa dibilang itu panggilan kesayangan.
"Radit?" Tanyanya, mungkin agak pangling karena sudah lama kami tidak bertemu.
"Iya Radit. Apa kabar kamu? Lama gak ketemu makin cantik aja" Perempuan berhijab cokelat itu terkekeh mendengar ucapanku. Senyumnya masih sama masih manis, bahkan semakin manis.
"Alkhamdulillah baik, kamu sendiri gimana?" Yah dari dulu dia tidak pernah menghiraukan ucapanku, Lisa selalu menganggapnya candaan.
"Yah seperti yang kamu lihat sekarang. Alkhamdulillah masih dikasih umur." Jawabku sambil terus tersenyum menatapnya.
"Eh duduk yuk ngobrol gitu. Jauh-jauh loh dari Jakarta masa gak ditemenin."
"Dih kayak orang baru aja. Udah gede jalan sendiri juga gak bakal ilang. Dari Jakarta kesini aja masih utuh." Aku tertawa mendengarnya. Kami berjalan menuju kursi dekat kolam ikan, dia duduk disisi kiri dan aku duduk disisi kanan dengan tas Lisa yang dia letakkan ditengah-tengah kami sebagai pembatas.
Banyak sekali yang berubah sejak aku pindah ke Jakarta dan ternyata bukan hanya Kediri saja yang berubah. Lisa... gadis itu juga berubah, dia jadi semakin cantik dan menawan.
"Gak nyangka ketemu kamu disini. Tadi sempet ragu mau nyapa takutnya kamu lupa sama aku." Kataku berusaha memulai obrolan setelah duduk kita jadi saling diam. Entah kenapa rasanya jadi agak canggung padahal dulu biasa duduk satu bangku.
"Hm? Pangling sih iya dikit, tapi enggaklah kalau lupa. Orang kayak kamu mana bisa dilupain." Jawab sedikit bergurau membuatku tertawa.
"Hahaha belajar dari mana kamu kayak gitu hah."
"Yahh gak lebih jagolah dari kamu, udah dapet berapa cewek disana?" Sahut Lisa seraya mengejekku.
Dulu sebelum aku pindah Lisa bilang sambil ngeledek, nanti di Jakarta Radit pasti punya banyak pacar karena cewek sana cantik-cantik. Secara dulu image ku playboy banget dimata Lisa, entah kalau sekarang bagaimana.
"Tadinya sih mau cari disana tapi ya gimana masih nyangkut disini" aku tersenyum menanggapi perkataannya sambil menatap wajah ayunya.
"Nah kan baru juga dibilang. Ngomong-ngomong budhe pakdhe gimana kabarnya? Kangen banget aku lama gak ketemu"
"Sehat Alkhamdulillah tadi kita lagi cari makan tapi habis itu mereka balik duluan soalnya aku masih pengen muter-muter."
"Syukur kalau gitu. Jadi ceritanya kamu lagi napak tilas gitu?" Dia terlihat lega mengetahui kabar orang tuaku. Lisa sangat dekat dengan orang tuaku terutama mama, sudah seperti anak sendiri.
"Ya gitu deh. Nostalgia" Lisa mengangguk mendengar jawabanku. Sepanjang obrolan aku terus tersenyum, mengorobol dengan Lisa memang selalu menyenangkan.
"Anyway ibu, mas Hafiz, sama mas Ingga apa kabar?"
"Semuanya sehat Alkhamdulillah. Mas Hafiz bentar lagi mau nikah. Tinggal nentuin tanggal"
"Oh ya?"
Mas Hafiz itu orangnya baik sabar banget, penyayang, family man. Husband material bangetlah pokoknya. Penasaran banget siapa perempuan yang bisa buat mas mas satu ini akhirnya menikah. Karena yang aku tahu dulu dia tidak pernah dekat dengan perempuan kecuali ibu dan adiknya.
"Mendung banget Dit" kata Lisa memandangi langit.
"Hmm?" aku mendongak melihat ke atas memang mendung sepertinya akan hujan deras.
"Mau hujan kayaknya. Tadi naik apa kesini? Mau aku anterin pulang?"
"Naik motor. Aku sendiri aja gapapa kamu buruan pulang. Pesen taksi aja kamu jalan kakikan? Keburu kehujanan nanti." Bangkit dari tempat duduk dia membawa tasnya bersiap untuk pulang.
"Iya udah gampang. Ayo aku anter ke parkiran sekalian aku mau kesana"
Sampai di tempat parkir aku membantu mengeluarkan motornya supaya lebih cepat, daripada menunggu tukang parkir yang masih sibuk membantu mengeluarkan motor pengunjung lain. Keburu Lisa kehujanan sampai rumah.
"Makasih ya Dit. Oh iya besok mas Lingga ada di rumah mampir aja kalau sempet." Ucapnya seraya memakai helm. Kubalas dengan acungan jempol.
"Sip sip pasti kuusahain. Masih rumah yang dulu kan?"
"iya"
"Oke! Hati-hati Rin!"
Kulambaikan tanganku saat dia mulai melaju. Mataku terus mengikuti arah motornya sampai tidak terlihat lagi.
••••••••••
Kalau saja saat ini ada yang melihatku pasti dikira aku sedang gila. Senyum-senyum sendiri padahal tidak ada yang lucu.
" Kamu ini kenapa to Dit, mulih-mulih kok pringas pringis, ana apa le? kenapa hm?" Tanya mama keheranan melihatku terus tersenyum sejak pulang tadi.
"Habis menang lotre kamu?" Papa sepertinya juga heran kenapa aku terlihat sangat bahagia. Padahal pulang jalan kaki mana kehujanan pula.
Dan aku hanya terkekeh mendengar pertanyaan kedua orang tuaku itu. Yah mau bagaimana lagi suasana hatiku memang sedang sangat baik saat ini. Aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku. 7 tahun berpisah dan hari ini untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Apsarini aku merasa seperti mendapat jackpot.
"Aku tadi ketemu Rini" Seketika kedua orang tuaku menghentikan aktivitas makannya dan menatap kearahku.
"Rini.... Lisa anaknya bulik Santi?"
" Iya mah, siapa lagi"
"kamu habis dari rumahnya le? Kenapa nggak ajak mama tadi"
" Belum ke rumahnya ma tadi gak sengaja ketemu pas jalan-jalan di sekartaji." Jawabku seraya mengisi piringku dengan makanan.
"hmm pantes" sahut papa setelah mengetahui penyebab dari senyumku yang merekah sejak tadi.
Sekedar informasu papa adalah orang pertama yang tahu kalau aku menyukai Lisa.
Selesai makan dan membantu mama mencuci piring, papa mengajak kami
ke ruang keluarga. Berkumpul setelah makan malam sudah menjadi kebiasaan dikeluarga kami.
"Gimana Dit?" Aku baru saja duduk tiba-tiba papa mengajukan pertanyaan yang tidak jelas.
"Gimana apanya? cara bikin hot chocolate ?" sambil menunjukkan gelas berisi hot chocolate yang kupegang. Sebelum ke ruang keluarga aku berinisiatif membuat minuman untuk menemani ngobrol santai kami.
"halah mung coklat panas ae papa ya iso gawe dewe le. Kamu tadi lo gimana ketemu Rini, rencana mau silaturahmi ke rumahnya kapan" Jawab papa menyeruput minumannya.
"Makanya papa tuh kalau nanya yang jelas. Rencana aku besok mau kesana. Papa mama mau bareng sekalian?"
"Kamu duluan aja papa sama mama nyusul, sore. Mama juga udah ngabarin bulik Santi tadi." Sahut mama
"Kata Rini mas Hafiz bentar lagi nikah."
"ya memang. Sama temen kuliahnya." Jawab mama. Beliau sama sekali tidak terkejut mendengar ucapanku begitupun dengan papa. Bahkan mama tahu dengan siapa mas Hafiz menikah. Kalau mereka sudah tahu kenapa aku tidak diberi tahu.
"Kalian udah tahu? Kok aku gak dikasih tahu." Tanyaku menyelidik
"Kalau kamu tahu nanti kamu dateng ke acara lamarannya Hafiz terus ketemu Lisa, yang ada gak mau pulang kamu." Jawab Papa yang mebuatku sedikit tidak terima.
" Ya enggak segitunya juga lah pa."
Hahh aku jadi merasa sedikit tertipu. Tapi yang dikatakan papa ada benarnya juga. Dua tahun di Jakarta aku memang sempat galau, ingin sekali kembali ke Kediri. Seberpengaruh itu memang gadis Kediri yang satu ini.
••••••••••
Wajahnya yang ayu
Senyumnya yang semanis madu
Gadis cantik berdarah Jawa itu selalu mengusik hatiku
Jauh darimu tak lantas membuatku lupa
Hanya kamu yang selalu menari dipikiranku
Ingin ku selalu menjaga hati untukmu
Ingin aku selalu menjagamu
Meski tak bisa kusentuh
Cukuplah untukku bisa berada didekatmu.
Sukma Alisia Apsarini
Bidadari dari tanah Jawa yang ingin selalu kujaga.