Gemuruh hati seakan memuncak. Arin mencoba untuk menenangkan dirinya. Mengunci pintu dari dalam kamarnya. Membuka jendela dan menatap penuh keindahan awan biru nan putih yang teramat menyenangkan.
Ketampanan laki-laki yang baru saja ditatapnya itu membuat Arin semakin menampakkan senyumnya dengan malu-malu. Kembali mengingat kejadian dua tahun lalu. Arin mencari dompetnya yang hilang dan ternyata, seorang laki-laki yang kini akan menjalin taaruf dengannyalah yang dulu menemukan dompetnya.
“Mbak Arin.”
Suara Bibi dari luar kamar terdengar begitu jelas. Lamunan Arin terbuyarkan. Dia dengan cepat menarik gagang pintu dan membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
“Ada apa, Bi?”
“Bapak meminta Mbak Arin untuk membuat biodata singkat, ditunggu secepatnya Mbak.”
“Baiklah, akan aku buatkan sebentar, Bibi ke dapur saja dulu, nanti aku antarkan.”
Tawa kecil itu berdendang dengan nada indah yang mengetuk pintu hatinya. Arin menarik selembar kertas putih beserta penanya. Segera merangkai kata demi kata tentang dirinya. Arin seakan tak ragu dengan laki-laki yang kini telah hadir kembali dalam hidupnya.
***
“Pak, ini adik saya satu-satunya, Akhtar, seperti yang saya ceritakan beberapa waktu yang lalu.”
Suara Ayuni memecah pertemuan. Semua berhias senyum yang tak luntur. Sebuah sapa dan juga jabat tangan dilakukan Akhtar penuh dengan hormat.
“Mbak Ayuni, semua saya serahkan saja padamu untuk proses taaruf ini, apa Mbak Ayuni tidak keberatan?”
“Sama sekali tidak, Pak.”
Senyum tersungging dengan segala ucapan yang hadir. Pak Siswoyo tak lupa untuk menjamu tamunya dengan hidangan yang tersajikan. Akhtar tak banyak berkomentar. Pandangan matanya tertancap pada beberapa lukisan yang terpampang di ruang tamu. Bisik hatinya seakan menerpa, lukisan termahal yang pernah ditemui beberapa waktu lalu, di sebuah pameran yang diselenggarakan sahabatnya, kini terlihat terpajang di rumah wanita yang kini akan menjalani proses indah bersamanya. Akhtar bergumam, Keluarga Arin memang memiliki finansial yang bisa dikatakan sangat baik.
“Bolehkah saya bertemu dengan Arin, Pak?”
“Silakan Mbak Ayuni.”
Pak Siswoyo memanggil asisten rumah tangganya, meminta agar mengantarkan tamunya pada Arin. Sedangkan Akhtar menunggu dengan senyum yang terus dihadirkannya. Kedua laki-laki itu pun saling membuka pembicaraan agar suasana tetap terjaga.
Langkah kaki Ayuni terhenti. Pada sebuah kamar yang pintunya terkunci rapat. Jari telunjuk itu seakan berperan cepat untuk mengetuk pintu.
“Assalamu’alaikum,” ucap Ayuni tanda permisi.
“Wa’alaikumsalam,” suara Arin terdengar samar.
Tak lama tak ada jeda antara Arin dan juga Ayuni saat pintu itu terbuka lebar. Arin tersipu malu dengan kegugupan yang sangat terlihat di aura wajahnya. Ayuni seorang perempuan yang sangat mengerti keadaan, dirinya yang sudah banyak makan asam garam itu pun dengan mudah bisa membuat suasana hangat tanpa memaksa.
“Mbak Arin, bisakah kita bicara sebentar?”
“Boleh, tapi saya mohon, panggil saja saya Arin.”
“Baik Arin, saya Ayuni, kakak Akhtar, laki-laki yang akan mengajakmu untuk taaruf”
Arin tersenyum dengan anggukan kepalanya. Lalu mereka menuju ruang tengah untuk sekadar bisa saling membuka sebuah pembicaraan. Langkah kaki Arin terasa sedikit kelu, gugup itu masih belum bisa hilang. Bahkan dirinya menganggap bahwa rasa ini lebih sulit daripada sidang skripsi. Tatapan mata Ayuni terlihat nanar. Arin membenarkan posisi duduknya agar bisa terlihat nyaman.
“Bagaimana kabarmu, Arin?”
“Saya baik, Mbak.”
“Bolehkah saya menanyakan beberapa pertanyaan untukmu?”
“Tentu saja.”
“Dan kamu juga bebas menanyakan apa pun pada saya, tentang Akhtar dan juga keluarga kami.”
Mendengar nama Akhtar, Arin kembali mendapati jantungnya maraton. Sedikit peluh seakan hadir tanpa diminta. Bibirnya terasa sulit untuk berucap.
“Jangan gugup, Arin. Semua tak seperti apa yang kamu pikirkan.”
Arin mencoba menutupi kegugupan itu dengan senyum manisnya. Berusaha menghadirkan madu untuk menutup racun yang kini ada dalam dirinya. Pandangan mata Arin sesekali menatap lantai. “Arin, tenanglah.” Sembari mengumandangkan mantra itu berkali-kali dalam hatinya.
“Apa kamu sudah selesai mengisi biodatanya?” tanya Ayuni.
“Belum, Mbak.”
“Kenapa?”
“Insya Allah saya sudah yakin dengan dia.”
“Tapi kamu belum mengenal keluarga kami, bukan?”
“Jika Allah sudah menghadirkan laki-laki shaleh, insya Allah pohon yang menjatuhkan buah tak mungkin jatuhnya terlalu jauh.”
Ayuni menyodorkan selembar kertas kepada Arin. Kertas putih itu telah tergores tinta dengan indahnya. Biodata laki-laki yang kini akan menjalani sebuah hubungan dengannya. Arin membaca biodata singkat laki-laki itu dalam hati. “Namanya Akhtar Bilal Amani, ternyata dia menggunakan nama pena Bilal untuk n****+ yang ditulisnya,” bisik Arin dalam hati.
“Tolong Arin, tanyakan sesuatu tentang Akhtar padaku.”
“Baiklah, Mbak. Saya hanya ingin tahu bagaimana hubungan Akhtar dengan ibunya?”
“Seperti selimut dengan tubuh yang sedang kedinginan. Kurasa kamu tahu itu.”
Arin tersenyum simpul. Menundukkan kepalanya sedikit ke bawah. Lalu Pembicaraan mereka terus saja mengalun. Wajahnya seperti tersaput awan, kedua pipi Arin seketika merah merona, saat Ayuni kembali menanyakan sebuah rasa di hatinya yang masih disembunyikan.
“Akhtar sudah banyak tahu tentangmu, Ayahmu sering menceritakan dirimu padaku, dan Aku menceritakan itu pada Akhtar.”
Arin mengunci mulutnya. Debar jantungnya seakan tak beraturan. Manik matanya kembali menunduk. Lekat tubuhnya seakan mengunci sebuah hati yang bersemi dalam kediamannya.
“Apa kamu masih perlu waktu untuk menjalin taaruf ini, Arin?”
Seperti tersihir dengan sepoian angin. Arin tetap diam namun gelengan kepalanya itu memberikan sebuah tanda, membuat Ayuni semakin mantap untuk membelah jalan indah untuk adik kandungnya.
“Kalau begitu, sudah siapkah engkau dikhitbah oleh adikku?
“Jika kamu belum yakin, istikhorohlah!”
Kata-kata itu seolah membelah cakrawala. Menjalar setiap aliran darah yang terus saja mengalir, Arin terhenyak dengan sebuah pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangka sebelumnya.
“Ini nomorku, catatlah, jika ada yang ingin engkau tanyakan tentang Akhtar, hubungi saja Aku.”
Arin menerima secarik kertas bertuliskan deretan nomor dengan dua belas digit. Ayuni mengakhiri pembicaraan itu. Arin pun segera menuju ke kamarnya dengan hati kian berbunga. Senyumnya tak pernah hilang, dia tenggelam dengan cinta yang masih samar.
***
Dalam setiap sujud selalu sebuah nama itu disebut. Arin seolah tak bisa untuk menolak niat suci dari Akhtar. Dia pun tak ingin berlama dengan prosesnya. Sebentar lagi di usia dua puluh delapan tahun, dia ingin membayar hutangnya pada sang ibu.
Mbak Ayuni, insya Allah aku siap bila khitbah itu segera dilaksanakan
Pesan itu mendarat dengan cepat. Ayuni membuka ponselnya. Membaca dengan hati gembira. Setidaknya usahanya untuk mengenalkan jodoh yang baik untuk adiknya akan segera terkabul. Akhtar yang tinggal di Surabaya membuat Ayuni tak bisa menyampaikan kabar ini secara langsung. Namun teknologi telah memudahkan jalan mereka.
Dalam satu menit kabar itu telah sampai di telinga Akhtar. Senyum pun merekah indah. Akhtar tak pandai berucap, namun dia tahu bahwa cintanya pada perempuan yang memiliki kulit putih itu telah mengalahkan logikanya.
Ayah dan ibu kembali berucap hamdalah. Tak perlu menjalin taaruf terlalu lama. Bila hati yakin dengan niat tulus, Tuhan pasti akan memudahkan. “Arin, aku akan membuat jarak ini menjadi tak berjarak, semoga engkau jodohku.” gumam Akhtar.