“Hello Tuan Bartender, aku mau cosmopolitan,” ujar Esme begitu dia tiba dan mendudukan dirinya di kursi bar. Kebetulan kunjungan pertamanya ini dalam rangka menemukan seseorang yang menarik untuk diajak have fun.
“Segera, Gorgeous,” sahut sang bartender sambil tersenyum.
Esme sempat terkesima dengan senyum pria itu dan mulai mengamati sang bartender yang mulai bekerja menyiapkan minuman pesanannya. Pria itu lumayan mendekati seleranya, dia tampan dengan rambut dan mata sewarna langit malam dilengkapi kulit yang putih dengan kumis dan janggut tipis. Esme bisa merasakan adanya aura yang sedikit gelap terpancar dari kedua sorot matanya walaupun pria itu bersikap ramah. Ya, lebih seperti he is faking it.
Untuk sekarang Esme tidak tahu apa yang harus dia perbuat karena biasanya dia memang tidak pernah clubbing sendirian. Namun karena kondisi teman-temannya sekarang sudah bekerluarga dan minimal punya pacar otomatis life style mereka pun juga berubah. Esme tidak menyalahkan perubahan tersebut, karena Esme sendiri secara pribadi belum tertarik dengan komitmen meskipun usianya sudah menginjak dua puluh tujuh.
Dia tidak membutuhkan pacar yang dia rasa hanya akan memperumit hidup. Yang dia butuhkan hanyalah hiburan malam, belaian panas di tempat tidur yang bisa menyempurnakan ketika dia merasa kesepian. Dan Esme rasa inilah saatnya dia berburu mangsa untuk menghangatkan tubuh sekaligus mengusir stress yang mampir padanya gara-gara sang Ayah.
“Sampai jam berapa kau bekerja?” tanya Esme lagi ketika sang bartender menyodorkan gelas berisi cosmopolitan yang dia pesan berikut bill-nya.
Sesaat sang bartender menatap Esme agak lama sebelum memberikan jawaban. Menurutnya, si wanita asing yang berada dihadapannya sekarang terlihat sangat seksi dengan balutan mini dress hitam. Sorot matanya yang tajam dibingkai dengan eyeliner hitam. Ya, singkatnya dia sangat cantik dengan rambut hitamnya tergerai bebas nan indah dan fakta lainnya dia datang sendirian. Membuat pria itu punya asumsi sendiri terhadapnya, sebab dia memancarkan aura dark feminim yang misterius.
“Apa kau freelancer?” tanya bartender tersebut yang membuat si wanita agak terkesiap. Pria itu tahu terkadang sikapnya yang terlalu ceplas ceplos sedikit membahayakan, tetapi apa yang terucap jelas tidak bisa ditarik kembali.
Makanya pria itu memutuskan untuk mengambil resikonya kalau wanita ini akan tersinggung dan marah. Lagipula dia memang cukup dibuat penasaran oleh tingkah polah si wanita, meskipun praduganya bisa saja salah karena bagi dia penampilan wanita itu terlalu elegan dan berkelas untuk sekadar menjadi seorang wanita penjaja surga.
“Kau menganggapku sebagai p*****r baru yang menggodamu ya?” sahut Esme kemudian setelah dia berhasil mengembalikan ekspresinya yang sempat terkejut lalu terkekeh dan meneguk cosmopolitan-nya dengan cara yang anggun. Tidak hanya itu, Esme juga mengeluarkan sebatang rokok dari tas tangannya yang membuat sang bartender tergugah untuk menawarkan api kepadanya yang langsung disambut baik oleh Esme.
Sang bartender menggelengkan kepala lalu kembali memberikan Esme senyuman terbaiknya. “Sejujurnya saya selesai jam tiga pagi,” sahut sang bartender yang kemudian memilih mengalihkan topik dengan jawaban dari pertanyaan Esme sebelumnya dibanding menjawab pertanyaan baru.
Menyadari bahwa tampaknya si pria memilih jalur aman, Esme malah tertantang untuk semakin menggodanya. “Aku akan menganggap kau tidak pernah bertanya soal pekerjaanku kalau begitu,” katanya sambil terkekeh lalu kemudian menempatkan dagunya pada salah satu tangan yang bertumpu di atas meja dan mengerling nakal pada sang bartender. “Aku jadi penasaran jam berapa kau bangun keesokan paginya.”
Pria itu sadar bahwa sekarang dia punya kesempatan untuk menggoda balik pelanggannya yang cantik jelita. “Kalau kau cukup penasaran dengan itu, kenapa kau tidak mencoba tidur dengan saya?”
Sebelah alis Esme terangkat, untuk beberapa alasan pria ini cukup berterus terang. Dia bukan pria polos, dan sejak awal Esme juga menyadari hal tersebut. “Bagaimana ya, aku tidak suka tidur dengan pria yang tidak aku ketahui namanya.”
“Jhon.”
“Tapi, apa untungnya tidur denganmu?”
“Kau bisa menjawab rasa penasaranmu dan mungkin saya bisa memberikan pelayanan ekstra dan sedikit bonus.”
Esme tersenyum. “Kalau begitu akan aku pikirkan.”
“Baiklah kalau kau berminat, cari saja saya setelah jam kerja berakhir.” Pria itu mengedipkan mata dan melanjutkan melayani pelanggan lain yang menepi ke barnya. Memberi mereka senyuman yang sama dan bersikap ramah seperti yang dia lakukan kepada Esme.
Esme merasakan adanya sedikit adrenalin mengalir kuat di dalam raga, berikut pula rasa kepuasan di dalam hatinya. Itu kesan pertama yang cukup kuat dan menarik dari seorang pria, dan Esme akan menunggu apa yang akan pria itu berikan sebagai ganti dari penawaran yang berani kepadanya.
***
“Lepaskan semua pakaianmu,” perintah Jhon dan anehnya nada suara pria itu berubah seratus delapan puluh derajat. Saat ini mereka sudah berpindah ke kediaman sang bartender, dan Esme sendiri tidak masalah melakukannya dimana pun. Tetapi pria itu memilih apartment kumuhnya sebagai lokasi bercinta mereka.
Esme tidak banyak bicara dan memilih menjadi gadis yang menurut. Tetapi setelah melakukan apa yang lelaki itu pinta, Esme justru dibiarkan berdiri dalam keadaan tanpa busana tetapi masih mengenakan high heels di kakinya. Jhon tidak melakukan apa-apa setelah itu, hanya mengamati lalu duduk di kursi sambil menyesap wine yang dia tuang untuk dirinya sendiri.
Sepuluh menit berlalu begitu saja, Esme masih berdiri mematut di tempat yang sama dan kini matanya menatap bayangan dirinya yang terpantul pada cermin besar. Esme sesekali melirik pada Jhon, ekspresi muka pria itu benar-benar datar tanpa ekspresi ataupun apresiasi. Dan saat itulah mendadak Esme yang selalu percaya diri mulai merasa tidak nyaman dan malu dengan ketelanjangannya. Dia merasa bagaikan seekor sapi yang diamati dan diteliti sebelum dibeli.
Menyadari adanya perubahan dari mimik wajah Esme, Jhon tertarik untuk buka suara setelah diam seribu bahasa. “Apa yang kau rasakan Esme?”
“Ini memalukan, tidakkah kau harusnya melakukan sesuatu? Aku tidak mungkin kan hanya berdiri disini sampai pagi ‘kan?” ujar Esme dengan ketus.
Jhon meninggalkan kursinya lalu berjalan mendekat pada sang wanita. “Apa kau lupa aturan mainnya, Esme? Kalau kau tak suka kau boleh pergi sekarang juga,” timpal Jhon dengan tegas menimbulkan sedikit antisipasi pada Esme.
Namun setelah mengatakan hal itu Jhon justru mulai menelusuri lekuk tubuh Esme dengan jari tangannya, benar-benar hanya sebatas itu. “Jangan membuat suara apa pun, jangan bergerak sedikit pun. Kalau kau tidak patuh padaku, maka aku akan menghukummu.”
Esme merasa bagaikan berada di dalam mimpi. Dia adalah seorang nona besar, seseorang yang terbiasa memegang kekuasaan dan tidak ada seorang pun yang berani menganggu kemutlakan yang dia punya. Tetapi pria ini …
“Kau mungkin akan menyesal setelah mempermalukan aku seperti ini!” teriak wanita itu penuh emosi sebelum akhirnya teriakannya diredam oleh ciuman panas Jhon dalam sepersekian detik dan tentu saja setelah itu ruangan yang mereka tempati mendadak dipenuhi dengan suara erangan dari Esme.
***
“Jadi bagaimana rasanya setelah mencicipi saya?”
Permainan panas diantara mereka sudah berakhir, dan tubuh Esme kini benar-benar ambruk di atas ranjang. Esme tidak mengira bahwa dia cukup menyukai permainan baru yang Jhon perkenalkan. Terlebih dia betulan digempur habis-habisan. Meski begitu, walau sebagai gantinya dia kelelahan Esme justru merasakan euphoria dan ketentraman.
“It feels so good.” Esme memejamkan matanya yang mulai terasa sulit terbuka lagi karena mengantuk. Sebetulnya ini tahu kalau ini salah. Tetapi Esme merasa dia tidak sanggup untuk pulang dan menyetir, dia telah kehabisan tenaga.
Padahal harusnya dia segera berpakaian dan pergi, karena aturan one night stand selalu diakhir dengan ‘thanks and goodbye’ jika lebih lama itu akan membuat segalanya berubah menjadi komplikasi. Tapi Esme tidak bisa bergerak sama sekali. Jhon adalah definisi pria perkasa yang tidak cukup hanya dijadikan patner sekali. Esme menyerah dan membiarkan tubuhnya rileks dan berada diambang bawah sadar dan tertidur lelap.
“Selamat tidur, Ms. Gorgeous.” bisik Jhon lirih.
Ketika hanya Jhon sendiri yang terjaga, perhatiannya tertuju kepada tas tangan wanita itu. Dia sebenarnya tidak punya niatan untuk mengintip privasi orang lain. Tetapi rasa penasaran yang tinggi membuat dia ingin membuktikan asumsi.
Dengan mudah Jhon membuka tas tangan itu dan menemukan sebuah kartu nama dari sana. Kedua mata pria itu terbelalak lebar. Dia tahu kalau dugaannya tidak meleset. Esme memang bukan perempuan sembarangan dan kartu nama itu adalah bukti yang mengungkap identitas sejati patner ranjangnya malam ini. Wanita itu adalah Esme Enderson, putri tunggal dari Ethan sang pemilik Enderson Company limited.
“f**k, Jhon. Kau baru saja meniduri sang pewaris.”