Edo menatap ke tiga temennya, nggak percaya aja sama tebakkan mereka bertiga.
“Jangan ngaco! mana mungkin. Si Markonah cewek banget, mana bisa dia naik motor!” protes Edo. Emang sepertinya nggak mungkin banget. Andin cewek feminim yang di lihat dari segi manapun, nggak mungkin bisa naik motor gede dengan skil yang cukup dibilang mahir.
“Eh, Do! lo nggak inget? waktu Andin dengan mudahnya ngunci gue di tembok, tenaganya kuat banget lho!” ucap Leo.
Edo, Risky, dan juga Febian menatap Leo bersamaan. Tersenyum mengejek kearah Leo. “Dasarnya lo aja yang lembek!” celetuk Risky.
Leo melotot. “Bangke, lo Nyet!” kesal Leo.
“Udah, cabut yuk!” ajak Edo.
“Kemana?” tanya Febian.
“Ke Club! kita dugem,” ucap Edo.
“Sip!” ucap Risky, Febian dan juga Leo bersamaan.
Edo, Risky, Febian dan juga Leo, kembali menaiki motor mereka. Benar-benar siap menuju tempat dugem, yang sering mereka tuju.
Kediaman Andin
Andin memarkirkan motornya di garasi rumahnya. Udah agak malam, makanya dia berani membawa motornya pulang ke rumah. Dia pikir, sang Mama belum tidur. Makanya nekat membawa pulang motornya ke rumah.
Lusi jangan di tanya, dia pusing tujuh keliling. Masa punya utang ke geng Import sebesar sembilan belas juta lima ratus ribu. Pokoknya puyeng banget kepala Lusi.
Andin yang sudah melepas helmnya, menatap kesal si Lusi. “Makanya, Lus. Nggak usah kepedean, lo tau ndiri … si Import sama pasukan demitnya itu, udah sering berkeliaran di jalanan. Makanya kemampuan mereka nggak perlu diragukan lagi,” ucap Andin panjang kali lebar.
Lusi menatap cemas Andin. “Terus gimana, Ndin. Gue takut, gimana kalau gue suruh bayar pakai tubuh indah gue ini … nggak! nggak! gue nggak mau!” Lusi bener-bener panik. Andin hanya bisa geleng kepala lihat tingkah sepupu lucknutnya ini.
“Jalan satu-satunya, kita minta tolong sama Papa. Ayo kita temui Papa, pasti dia masih di ruang kerjanya.” Andin menyeret lengan Lusi, mengajak Lusi untuk menemui Papanya.
Keduanya berjalan beriringan masuk ke dalam rumah, kayak maling ayam aja, jalannya mengendap-endap. Takut ketahuan si Mama.
“Ehem!”
Lusi dan Andin terpaksa harus menghentikan langkah kaki mereka. Padahal udah pelan banget, tapi masih aja ketahuan sama Mama.
Keduanya nyengir, menoleh kearah Mama yang berdiri di salah satu sisi ruangan yang Andin dan Lusi pijak.
“Eh, Mama … tumben belum bobo, Ma. Papa masih di ruang kerja?” tanya Andin cengengesan.
“Jangan sok manis, kamu dari mana aja. Jangan bilang kamu habis ikut balapan motor,” ucap Mama kesal.
“Eh, kita cuman jalan-jalan doang pakai motor kok, Tan.” Lusi ikut bicara.
Dewi gantian menatap tajam Lusi. Meskipun Lusi hanya anak dari Kakak iparnya, tapi Dewi sudah menganggap Lusi seperti anaknya sendiri. “Kamu pikir, Tante percaya sama omongan kamu, kalian berdua nggak ada bedanya, tukang bohong!” ketus Mama.
Andin dan Lusi diam, mo bohong lagi, takut kualat. Sapa tau, gara-gara bohong sama Mama, nilai ulangan mereka jeblok! ‘kan nggak lucu.
“Ada apa ini?” Suara si Papa yang baru aja muncul dari ruang kerjanya, membuat Andin bernafas lega.
Maklum, semua kegiatan ekstrimnya, dapat dukungan seratus persen dari Papa.
Andin berjalan menghampiri Papanya, cari pembelaan. Dewi hanya bisa menghela nafas.
“Ternyata Papa belum tidur, Pa … bantuin Andin dong! masa punya Mama kek Mama tiri aja,” ucap Andin asal.
Dewi melotot kearah putri cantiknya. “Kamu bilang, Mama kayak Mama tiri?” Dewi menunjuk mukanya sendiri. “Mama kayak gini, karena Mama khawatir, kamu pikir … Mama nggak tau, kamu diam-diam suka ikut balapan liar. Gimana kalau kamu terluka, kamu ini cewek, Sayang. Dan kamu!” Dewi menatap tajam Hendra. “Kalau masih belain Andin terus, malam ini tidur di luar!” ancam Dewi.
Lusi dan Andin melongo, ya salam. Kalau udah kayak gini, pasti berakhir menyedihkan, Papanya pasti nggak bakalan berani sama ancaman Mamanya. Anak emang udah gede, tapi kemesraan mereka ngalahin pengantin baru.
Indra mendekati istri cantiknya. “Sayang, jangan seperti itu dong! jangan terlalu keras sama Andin. Dia masih muda …”
“Kamu pikir, aku nggak khawatir. Inget Ndra, anak kita itu cewek. Dia harus di jaga, bukannya diajarin hal-hal kayak cowok, kalau anak aku sampai lecet sedikit saja, aku bikin rujak kamu!” ancam Dewi.
Indra nyengir. “Sayang, aku mana rela. Anak kita sampai lecet, tapi sebagai seorang Permana, Andin harus bisa menjaga dirinya.” Ucapan Hendra emang ada benarnya juga.
Andin menyeret lengan Lusi. “Ayo ke kamar gue, dari pada nunggu perang dunia ke-tiga, Nggak bakalan kelar!” ucap Andin kesal.
Meninggalkan kedua orang tuanya yang adu mulut masalah dia, paling kalau udah capek, mereka kembali mesra. Papanya mana bisa, marahan sama Mama cantiknya.
***
Andin dan Lusi masuk ke kamar, merebahkan tubuhnya di atas kasur. Keduanya benar-benar bingung, pasti besok bakalan di tagih sama Edo dan ketiga pasukan demitnya. Pokoknya, inget aja udah bikin sakit kepala.
Lusi yang emang panik, dan sedikit penakut, menghadap kearah Andin. “Ndin, gimana ini? aduh … gue nggak mau, bayar pakai tubuh gue. Sumpah! perawan gue cuman buat suami gue,” ucap Lusi songong.
Andin menatap kesal Lusi. “Iye! gue lagi berusaha, besok kita temui Papa di kantor, kalau sekarang jangan. Mama bakalan ngamuk.” Lusi mengangguk, membenarkan kata-kata Andin.
“Iya, gue nurut lo aja. Kalau minta ke Papa gue, nggak mungkin banget. Yang ada, kita nggak boleh keluar lagi …” ucap Lusi.
“Iya, jangan sampai tau. Biar Papaku aja yang tau. Udah kita bobo, besok kita harus sekolah.”
Seperti biasanya, namanya juga cewek. Sebelum tidur agak rempong, cuci muka, pakai masker. Dan siap berpetualang di alam mimpi.
***
Sekolah
Hari ini, sengaja banget Edo dan temen-temennya berangkat pagi. Cuman pengin nagih janjinya Lusi dan cowok cungkringnya. Mereka nggak langsung masuk ke kelas mereka, tapi nungguin Lusi di depan pintu gerbang. Dan masih nengkreng di atas motor mereka.
“Nyet! kok lama ya … mana gue masih ngantuk,” ucap Febian.
“Bentar lagi pasti sampe. Lo tenang aja,” ucap Leo.
Edo hanya diam, duduk santai di atas motornya.
“Nah! itu mereka datang,” celetuk Risky.
Edo melepas helmnya. Berdiri dari motornya, diikuti ketiga temennya.
Lusi yang dari jauh udah ngelihat mereka, bersembunyi di belakang Andin. Coba aja, tadi yang nganterin Papanya Andin. Nggak bakalan kek gini situasinya. Ini menurut pemikiran Lusi.
Andin seperti biasa, cuek bebek. Nggak takut sama sekali.
Edo yang sudah siaga, menghadang langkah Andin. Tersenyum sinis kearah Andin.
“Berhenti!” seru Edo.
Andin menatap tajam Edo. “Kenapa, gue mesti berhenti? minggir lo!” seru Andin.
Leo, Febian dan juga Risky menatap heran Andin. Emang wajah Edo kurang serem, kok! Andin nggak ada takut-takutnya.
“Kalau gue nggak mau!” tantang Edo.
“Minggir! Import! Gue mau lewat!”
“Nggak bisa! bayar dulu hutang lo!” ketus Edo.
“Gue hutang apa sama lo! dasar pe-a!” Nih Andin pinter banget pura-pura sama Edo.
Febian dan Leo langsung narik tangan Lusi, istilahnya menyekap Lusi.