Edo tanpa sadar merangkul pundak Andin, sama seprti Andin, memberi semangat untuk ke tiga temennya. Ini kenapa Edo jadi ikut-ikutan berisik kek Andin. Apa mungkin? Dia ketularan Andin.
“Semangat, Nyet! hancurkan mereka!” seru Edo.
Leo, Febian dan juga Risky, mereka nggak tinggal diam. Malu, jika sampai kalah dari kesigapan Andin. Dan benar saja, hanya dengan satu tendangan dan pukulan mautnya, satu per satu geng anak Purnama mulai tumbang.
“Gimana? mau lagi!” seru Leo.
“Nyet! udah biarin aja, anggap aja kita lagi berbaik hati malam ini!” seru Edo.
Leo, Risky dan juga Febian, cengo. Nggak biasanya Edo berbaik hati kek sekarang. Malah justru dia yang selalu bikin musuhnya babak belur ampe nyisain nafas dikit.
“Iye! nggak usah dibikin metong!” seru Andin. Ini cewek satu emang bikin orang geli aja.
Edo menoleh kearah Andin, sadar dengan tangannya yang merangkul pundak Andin, buru-buru Edo menarik tangannya, sampai-sampai dia bergidik ngeri. “Eh, Markonah! kita ini bukan pembunuh! Ngapain harus matiin orang!” kesal Edo.
“Baguslah kalau gitu!” celetuk Lusi dari arah belakang.
“Kyaaa …!” Kebiasaan Edo selalu kaget, jika ada seseorang yang tiba-tiba muncul, mana ini dari arah belakang.
“Ihhh … gitu aja kaget! Berwibawa dikit dong, Import! Kebiasaan lo!” kesal Andin
Edo nyengir, Andin bener banget. Kalau posisi dia kaget kek gini, di depan musuh nggak banget. Lusi tersenyum geli, Andin memang hebat, sampai-sampai ketua preman yang terkenal super garang dan pedas, bisa luluh sama Andin.
Leo, Febian dan juga Risky, menatap garang ke lima anak Purnama yang sudah terkapar. Leo sengaja banget menyepak salah satu anak Purnama yang berhasil dia banting. “Woi! bangun lo! pergi sana! jangan sampai kita ngelihat muka lo lagi!” ancam Leo.
Semua anak Purnama berusaha bangun, meski badan serasa encok, mereka berusaha menaiki motor mereka. Bukannya takut, tapi mereka masih saja songong. Menatap geng Edo denga tatapan penuh amarah. “Lihat saja nanti, ini soal harga diri sekolah kami!” ucap salah satu anak songong.
“Hei, Munyuk! Bocot doang lo gedein. Kenyataan aja Zonk!” kesal Febian.
“Pergi lo!” usir Risky.
Dengan tatapan sadisnya, akhirnya anak-anak Purnama pergi meninggalkan tempat itu. Leo, Risky dan juga Febian, kembali menaiki motor mereka.
“Lus! ayo!” seru Febian.
“Sip!” seru Lusi. Berjalan kearah Febian.
“Markonah! balikin jaket gue!” pinta Edo.
“Entar! Kalau udah sampai rumah. Lagian napa sih, Cowok tuh harus ngalah sama Cewek!” ketus Andin.
“Ogah! ngalah sama Cewek modelan lo, yang ada kita makin menderita!” ketus Edo.
“Udah jalan! Jangan bawel kek Emak-Emak!” Edo melotot, demi apa coba? Andin ngatain dia kek Emak-Emak?
“Ihh … lo makin ngelunjak! Gue buang ke Ciliwung, tau rasa lo!” kesal Andin.
“Emang nggak ada tempat yang lebih wangi dikit selain Ciliwung gitu!” Edo benar-benar geli dengan jawaban Andin. Bukannya marah, dia mengacak gemas rambut Andin, yang emang halus banget.
“Udah, ah! ayo gue anterin,” ucap Edo.
“Ayok!” jawab Andin semangat.
Edo menaiki motornya dengan benar, begitu juga dengan Andin. Karena malam emang udah cukup larut. Edo melajukan motornya menunju kediaman Andin, begitu juga dengan Risky, Leo dan juga Febian yang boncengin Lusi.
***
Kediaman Andin
Andin hanya bisa nyengir kuda, begitu dia melihat Mamanya berdiri di depan pintu gerbang. Dan tentunya ada si Papa yang berdiri di belakang Mamanya. Edo, Febian, Risky dan juga Leo, menghentikan motor mereka tepat di hadapan Dewi dan Hendra.
Edo membuka helmnya, diikuti oleh ke tiga temennya. Dengan sangat hormat, Edo menyapa kedua orang tua Andin. “Malam, Tante … Om.”
“Malam,” jawab Dewi.
Ini pertama kalinya Hendra melihat wajah Edo, sempat terkejut saat melihat Edo. “Jonathan …? Kamu anaknya Jonathan?!” tanya Hendra tiba-tiba.
Edo dan ketiga temannya terkejut. “Om kenal Papa aku?” tanya Edo penasaran.
Hendra tersenyum. “Jadi benar? kamu anaknya Jonathan?” tanya Hendra.
“Iya, Om. Nama aku—“
“Edoardo Emmanuel.” Belum juga Edo memperkenalkan diri, Hendra sudah dulu menyebut nama Edo.
“Om tau nama aku juga!” Edo cengo. Nggak nyangka aja, papanya Andin yang dulu kira om-om gebetan Andin, ternyata mengenal Papanya.
“Tau dong, dia temen aku dari jaman SMA,” ucap Hendra.
“Wah … berarti, Papanya Import bule juga Pa!” celetuk Andin yang sudah berdiri di depan Dewi.
Dewi yang gemas dengan anak gadisnya, menarik lengan Andin. “Sayang, berapa kali Mama bilang, gaya bicara kamu itu jangan kayak preman …” bisik Dewi.
Andin nyengir, dengan sangat amat terpaksa, dia harus berakting sefeminim mungkin di depan Mamanya. “Iya … maaf. Mama … Andin nggak akan mengulanginya.” Ini anak gadis paling bisa banget berubah seketika. Sampai-sampai Edo dan temannya melongo, apa benar cewek yang di depannya itu, cewek yang sama yang berhasil bikin anak Purnama langsung KO dengan satu kali tendangan.
“Papanya Edo ada darah blasteran, tapi Mamanya Edo asli Inggris,” ucap Hendra. Dia memang masih sering bertemu Jonathan, makanya dia tau benar tentang sahabatnya.
“Oh … gitu!” Hanya itu yang diucapkan oleh Andin.
Lusi ikut mendekati Dewi, berdiri di samping Tantenya. Dewi menoleh kearah Lusi. “Kalian mampir kemana? sampai telat banget pulangnya,” ucap Dewi.
“Tadi makan dulu di pinggir jalan, Tan.” Dewi melotot dengan jawaban Lusi.
“Apa!” seru Dewi. Edo dan ketiga temennya nyengir.
“Makanan di pinggir jalan enak, Ma. Sekali-kali, Mama harus nyobain, iya nggak. Pa!” Andin seperti biasanya, nyari pembelaan dari Papanya.
“Iya, Sayang …” ucap Hendra.
Edo terus melihat kehangatan sebuah keluarga di depanya. Dia merasa iri dengan kehangatan keluarga Andin. Andai saja, dulu orang tuanya tidak bercerai, mungkin dia dan Kakaknya akan merasakan kehangatan keluarga seperti yang Andin miliki. Mama, Papa, Kakak … ahh, sudahlah! Edo muak, dia benar-benar membenci mereka semua.
“Oh, ya … kalian nggak masuk dulu.” Hendra yang tau, jika Edo anak sahabatnya, mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah.
“Nggak usah, Pa. Mereka udah kemalaman,” ucap Andin.
“Bener banget.” Lusi ikut-ikutan membenarkan kata-kata Andin.
Edo, Febian, Risky dan juga Leo hanya bisa pasrah. Masih untung mereka nggak kena marah orang tua Andin. Edo yang jaketnya masih di pakai Andin, berusaha memberi sebuah kode untuk Andin. Nggak mungkin juga ‘kan, dia pulang dalam keadaan kedinginan.
Andin yang langsung faham dengan maksud Edo, melepas jaketnya, memberikan jaketnya kepada Edo. “Ini … makasih Import!” Edo melotot, mana ada dia minjemin jaketnya ke Andin. Yang ada tuh cewek aneh merebut jaketnya.
“Iya!” Terpaska Edo menjawab ucapan Andin.
Setelah memakai kembali jaketnya, Edo dan ketiga temannya pamit pulang. Mereka sadar diri, Andin dan Lusi udah ngusir mereka secara halus.
Dewi yang geram dengan tingkah Lusi dan Andin, langsung saja menjewer telinga keduanya. Hendra hanya bisa tersenyum, mungkin kalau bukan anak sahabatnya yang muncul, bakalan di buat babak belur tuh cowok yang nganterin anaknya sampai larut.
Lusi dan Andin nyengir, pasrah saja ketika Dewi menjewer telinga mereka berdua. “Ayo kalian masuk! Anak gadis jam segini baru pulang! untung Papa kenal dengan Papanya!” kesal Dewi.
“Aduh … lepasin, Ma. Sakit!” ucap Andin.
“Iya, Tan …” Lusi ikut-ikutan protes. Emang sakit beneran.
“Sayang … sudah. Lepasin mereka, ini sudah larut. Biarkan mereka langsung tidur, besok mereka harus pergi ke sekolah.” Dewi yang sangat kesal, hanya nurut aja, ketika Hendra menyuruh Dewi untuk melepaskan mereka.
“Inget, langsung tidur!” Dewi berjalan masuk ke dalam, diikuti Lusi yang menggandeng lengannya manja. Meskipun Lusi hanya berstatus sebagai keponakannya, Dewi sangat menyayangi Lusi seperti putri kandungnya.
Andin sengaja bergelayut manja pada lengan Papanya, dia udah nggak sabar pengen cerita sama Hendra. Dia emang kurang klop sama Mamanya, yang selalu nyuruh dia untuk selalu bersikap feminim. Andin mana bisa!
“Pa … tau nggak? tadi Andin berantem sama anak sekolah sebelah …” bisik Andin yang takut kedengaran Mamanya.
Hendra tersenyum, bangga sama hasil didikannya. “Terus … mereka gimana?” tanya Hendra penasaran.
Andin menggerakkan satu tangannya di depan leher, dengan sangat bangganya dia berkata, “Langsung KO sekali tendang …” lirih Andin.
“Hebat Anak Papa!” seru Hendra, nggak bisa menahan rasa bangganya.
Dewi melotot kearah mereka, dia tau banget pasti ada sesuatu yang mereka bicarakan. Ini dua orang memang super kompak, Andin dan Hendra nyengir, dengan kompaknya, mereka menunjukkan jarinya yang membentuk tanda V.