BAB 32 - Hari Pertama

1001 Words
Halo, Fellas. Kembali lagi dengan cerita bertema remaja dan misteri dariku. Berharap kalian menyukainya. Akan sangat menyenangkan jika kalian dapat menyukai dan memberikan komentar membangun pada ceritaku yang berjudul "Ten Reasons Why She's Gone." ini. Atas kekurangan yang akan kalian temukan dalam cerita ini, penulis memohon maaf. Terima kasih. *** • Selamat Membaca • Chapter sebelumnya... "Asal lo tahu ya, gue dan Valerie itu baik-baik aja." "Masa?" "Gue dan Valerie masih berteman sampai detik ini," ujar Rain penuh percaya diri. Abigail yang mendengar pernyataan tersebut pun buru-buru mengklarifikasi. Ia merogoh ponsel dari saku roknya dan mulai memainkan benda dengan sistem layar sentuh tersebut. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya gadis itu membalikkan ponselnya dan mengarahkan layarnya kepada Rain. "But you're not there, Rain. Semua foto-foto lo dan Andreas udah dihapus dari ** Valerie. Dan ... Kalau boleh gue sekalian ngingetin, bukannya Valerie udah nulis tweet tentang hubungan kalian yang hancur ya?" Rain tersenyum tipis. "Itu salah. Kita masih baik-baik saja." "Well, well, gue nggak peduli. Because what? Valerie tuh nggak ada di sini lagi," balas Abigail angkuh. "Lo tetap nggak bakal punya teman, 'kan?" "Oh, lo salah juga soal itu!" Tiba-tiba nada suara Valerie meninggi. "Kemarin nyokapnya telpon gue dan kasih tahu kalau Valerie udah ketemu. Dia udah kembali ke rumahnya." Raut wajah Abigail mendadak berubah suram. Ia tak lagi bersikap seperti singa yang memimpin keseluruhan hutan. Senyum penuh kemenangan itu perlahan sirna dan berganti menjadi kekhawatiran yang tampak dengan sangat jelas. "Valerie juga bakal ke sekolah besok," lanjut Rain. "Maksud lo apa?!" "Ya dia udah ketemu, Abigail. Valerie udah nggak menghilang lagi." Abigail menjadi kesal sekarang. Ia mendorong kedua bahu Rain dengan sangat keras hingga akhirnya gadis itu kembali mundur ke belakang beberapa langkah. Beruntung karena kali ini, Rain dapat menahan berat tubuhnya dan tak perlu mendarat di lantai lagi seperti sebelumnya. Mata Rain lantas menatap kepergian Abigail yang tiba-tiba. Tanpa Rain tahu bahwa Abigail benar-benar merasa gelisah setelah mendengar kabar mengejutkan itu. "Kalau Valerie kembali ... apa itu artinya gue bakal didepak dari olimpiade?" *** Setelah pembicaraan panjang dilakukan antara Edwin dan dokter Aldi, mereka pun sepakat untuk membiarkan Vanya pergi ke sekolah di hari berikutnya. Dan Wina sudah membicarakan hal tersebut kepada Vanya di malam sebelumnya. Hari ini, Vanya sudah bersiap di kamarnya. Siapa sangka, seragam yang dikenakan Valerie ternyata muat di badan Vanya. Mereka memiliki postur tubuh dan berat badan yang hampir mirip. Dan di sinilah Vanya, berdiri di depan kaca sembari menatap bayangannya sendiri. "Baju Valerie bahkan muat di badan gue. Apa ini yang namanya takdir?" Suara ketukan di pintu menjawab pertanyaan itu. Vanya segera membuka pintu dan Wina berdiri di sana. "Kita berangkat sekarang ya, Sayang. Nanti kamu kesiangan." Dan gadis itu pun mengangguk mengiyakan. "Iya, Mah." Setelah menyelesaikan sarapan di meja makan, Edwin memutuskan untuk mengantar sendiri Vanya ke sekolah Valerie. Tujuannya bukan hanya mengantarkan gadis yang dianggap sebagai putrinya itu ke sekolah, melainkan juga untuk menjelaskan kondisi kesehatan Valerie yang mungkin akan mengalami ketertinggalan dalam pelajaran. Pak Jaka diminta untuk mengantar Wina ke butik. Dan mereka pun pergi secara bersamaan. "Nanti biar Papa jelaskan kondisi kesehatan kamu ke kepala sekolah," kata Edwin memberi tahu. "Kebetulan, Papa itu dekat sama kepala sekolah kamu, Valerie. Pasti kamu nggak ingat ya?" Vanya tersenyum tipis. "Iya, Pah." Dan tanpa Vanya sadari, jawabannya tersebut justru membuat kedua sudut bibir Edwin diam-diam terangkat naik. Perjalanan pun berlangsung tanpa banyak basa basi. Edwin fokus memegang setir dan Vanya mencoba menetralkan perasaannya yang tak karuan. Karena bagaimanapun, bersikap untuk menjadi orang lain tidak terlihat mudah sama sekali. Belum lagi, permintaan Valerie yang tertulis di dalam folder laptop dimana Vanya tidak boleh ketahuan telah memalsukan identitasnya. Jangan sampai ada yang tahu kalau kau bukan Valerie Putri. "Kita sudah sampai," kata Edwin. Dan kedua netra hitam kecokelatan milik Vanya pun segera berkeliling. Melihat pemandangan sekolah yang super mewah melalui jendela mobil di depannya. Ia meneguk salivanya dengan susah payah. "Ternyata bukan cuma rumahnya aja yang kaya istana, sekolah juga busetdah," batinnya. "Ayo turun, nanti kita temui kepala sekolah kamu dulu ya." Mau tidak mau, Vanya hanya bisa menuruti perkataan Edwin. Ia pun turun dari mobil dan berjalan mengekor seperti anak anjing yang mengikuti induknya. Semua mata di sekolah mengamatinya, membuat Vanya hanya semakin gelisah saja. Oke, tenang. Lo jadi Valerie hari ini. Tenang, Vanya. Gadis itu tidak bisa berhenti merapalkan doa di dalam hatinya. Bahkan setelah mereka berdua sampai di depan sebuah ruangan bertuliskan 'Ruangan Kepala Sekolah', Vanya tidak bisa berhenti merasa gugup. Mereka kemudian masuk setelah Edwin mengetuk pintu. "Loh, Edwin, sudah sampai?" Seorang wanita berambut panjang menyambut kedatangan Edwin dan Vanya. Membuat Vanya diam-diam memperhatikannya. Wanita itu tampak sebaya dengan ayahnya, gaya pakaiannya sangat modern dan kekinian. Ia menggunakan beberapa perhiasan di tubuhnya dan membuatnya semakin terlihat bergaya. "Saya mau titip Valerie ya. Dokter bilang Valerie kehilangan ingatannya karena trauma," kata Edwin. Sebuah papan nama di atas meja bertuliskan Aruni Wijaya menarik perhatian Vanya. Itu pasti adalah nama dari pemilik ruangan ini alias wanita di depannya itu. "Iya, Win. Kamu bisa percaya 'kan sama aku?" Wanita itu mendekat dan menyentuh tangan Edwin. Namun Vanya yang melihat sentuhan itu merasa ada yang tidak beres. Diam-diam kedua orang dewasa itu tersenyum dan saling menyentuh jari jemari. Ada sesuatu antara Papanya Valerie dan Bu Arumi. Apa mereka diam-diam selingkuh? Dan Edwin menjadi orang pertama yang mengakhiri adegan itu. Ia berbalik dan tersenyum kepada Vanya. "Vanya, perkenalkan. Ini adalah Bu Aruni. Dia yang akan mengantar kamu ke kelas, papa sudah percayakan kamu ke dia. Papa juga akan berikan hasil pemeriksaan kesehatan kamu supaya guru-guru di sini memaklumi." "Oh, i-iya, Pah," kata Vanya. Dan Aruni pun menyela obrolan. "Valerie, kita ke kelas sekarang aja ya. Kelas sebentar lagi akan dimulai. Walaupun kondisi kamu sedang tidak baik, kamu tetap harus belajar dengan giat ya karena sebentar lagi ujian akhir." "I-iya, Bu." "Yaudah, aku pergi dulu. Aku titip Valerie ya, Run." "Iya, Win." Lagi-lagi Vanya memergoki kedua orang dewasa di hadapannya itu tersenyum penuh arti. Membuat Vanya semakin curiga. Apa jangan jangan ... Valerie pergi karena hal ini juga?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD