Bab 44 - ERAT

1008 Words
SUARA KAKI YANG BERADU dengan samsak mendadak memenuhi telinga Serra dan Marcello begitu mereka tiba di ruang latihan. Aula sekolah yang luas memang sering digunakan untuk kegiatan-kegiatan tambahan seperti ekstrakurikuler dan salah satu ekskul yang biasa memanfaatkan tempat ini adalah ekskul karate. Terutama di masa-masa persiapan untuk pertandingan seperti saat ini, Marcello menjadi lebih sering izin kepada guru pengawas untuk dapat meminjam aula sebagai tempat latihan mereka. Beruntung, prestasi dan rekam jejak para anggota karate yang baik membuat Marcello menjadi lebih mudah mendapatkan hak pakai ruangan tersebut. "Kenapa nggak ada cewek yang lanjut ya ke pertandingan?" Serra meletakkan ransel serta tas jinjing yang berisi pakaian ganti ke dalam loker saat Marcello sudah lebih dahulu memeluk pakaian gantinya. Laki-laki itu lantas menggumam dan mengedikkan kedua bahunya cepat. "Mungkin karena nggak ada yang setangguh lo, Ser." Serra mengernyitkan kening, sempat bingung harus bereaksi seperti apa ketika Marcello mengatakannya. Ia tidak yakin apakah Marcello bermaksud memujinya atau menyindirnya. Hingga akhirnya gadis itu pun hanya memilih untuk mengabaikannya dan mulai mengambil pakaian ganti dari dalam tas jinjing, sebelum menutup pintu loker dan berbalik. "Sama-sama," kata Marcello tiba-tiba. Membuat gadis yang selalu mengikat rambut panjangnya kebelakang itu lantas kembali mengerutkan dahinya. Ia juga mendelik heran kepada Marcello saat akhirnya bersuara, "Hah?" "Gue bilang sama-sama." Marcello tersenyum lebar. "Masa lo nggak peka sih? Gue lagi muji lo, tuh, barusan." Keduanya kemudian keluar dari ruang aula untuk berganti baju karena di ruangan itu sendiri memang tidak disediakan fasilitas toilet. Namun ketika mereka baru saja melewati koridor lantai satu, tiba-tiba saja mereka berpapasan dengan Sakilla, Gretta dan Tya yang datang dari arah berbeda. Gretta lah yang pertama kali membuka suara. "Eh, eh, ada Serra." Membuat Serra maupun Marcello ikut menghentikkan langkah seketika. Serra sempat bertemu pandang dengan Sakilla, sebelum kemudian Sakilla membuang wajah dan Serra memilih melihat Gretta dan Tya bergantian. Dengan wajah santai, Gretta mengangkat dagu dan menyilang kedua tangannya di d**a. "Mau latihan karate ya, kakak Serra?" Tawa puas mengakhiri sindiran Gretta. Yang kemudian diikuti oleh Tya. Sementara Sakilla hanya tersenyum miring tanpa mempedulikan ekspresi kesal di wajah saudari kembarnya tersebut. Namun alih-alih berhenti, Gretta justru melanjutkan. "Perempuan itu harusnya feminim, lemah lembut, bukannya adu jotos-jotosan. Iya, kan, Sakilla?" Sakilla tak menanggapi. Sedangkan Serra memajukan tubuhnya satu langkah ke depan. Hingga akhirnya berhadapan dengan Gretta. Mata mereka bertemu, Serra dengan tatapan tajamnya sementara Gretta tak kalah menampilkan ekspresi menantang di sana. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya Serra bergerak mendorong salah satu bahu Gretta. Marcello buru-buru melerai dan menarik tubuh Serra ke belakang sebelum terjadi keributan di antara mereka. "Jangan pernah lo coba-coba usik gue ya!" titah Serra. Dengan bersusah payah Serra ditahan oleh Marcello, sedangkan Gretta hanya menepis seragamnya dan mengangkat dagunya arogan. "Lihat, 'kan?" Gretta melihat Tya, lalu ke Sakilla. "Selain hobi mukulin orang, kakak lo ini punya kebiasaan teriak-teriak kaya manusia hutan hahaha." Seperti minyak tanah yang menyirami api, tawa Tya dan Sakilla justru membuat Serra semakin naik pitam. Ia bersusah payah mendorong tubuh tinggi Marcello, memaksanya untuk menyingkir dari hadapannya sesegera mungkin. Sayangnya, kekuatan sang ketua karate memang tidak semudah itu ditaklukan. "Udah udah," sela Sakilla. "Kayaknya udah cukup kita nonton hiburan di sini. Mending sekarang kita cabut aja yuk!" Tya mengangkat tangannya ke udara, bak murid yang ingin mengajukan pertanyaan di dalam kelas. "Gue setuju!" "Yaudah, yuk," timpal Gretta ikut-ikutan. Gadis berambut ikal dengan poni belah tengah yang sedang hits-hitsnya di SMA GIS itu pun berjalan lebih dahulu meninggalkan Serra dan Marcello. Ia bahkan menatap santai ke arah Serra yang masih berusaha menggapainya. Disusul dengan Tya di belakangnya dan Sakilla menjadi yang terakhir. Sorot amarah terpancar jelas di manik hitam milik Serra saat ia bertemu pandang dengan sang adik kembar. Namun tampaknya, Sakilla sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang dilakukannya pada Serra. Marcello menarik tubuh Serra dengan keras sebelum akhirnya melepaskan tubuh gadis itu. "Cukup, Ser. Jangan sampai lo kepancing emosi kaya gitu," pekiknya. "Kenapa lo ngehalang-halangin kaya tadi, hm? Lo liat nggak apa yang mereka lakuin?" Dengusan keras terdengar dari Marcello. Ia menganggukkan kepalanya kemudian. "Gue tahu, gue lihat semuanya," balasnya tak kalah dengan nada tinggi. "Tapi di sana ada Sakilla. Lo itu seorang kakak, mau seburuk apapun kelakuan Sakilla, dia tetap adik lo, 'kan? Dan udah sewajarnya seorang kakak itu ngasih contoh yang baik buat adiknya." Perlahan tapi pasti, emosi Serra pun mereda. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Menstabilkan pernapasan yang ikut sesak karena ulah adiknya sendiri. Marcello melihat jauh ke depan, ke tempat Sakilla, Gretta dan Tya yang akhirnya bertemu dengan anggota ekskul basket di ujung koridor. "Sakilla cuma salah pilih teman aja, Ser. Dan udah jadi kewajiban lo buat nasihatin dia. Ajak dia ke jalan yang baik." Serra tak langsung menanggapi. Ia hanya melihat objek yang sama di depan sebelum kemudian menatap Marcello di sampingnya. "Lo nggak apa-apa, 'kan?" Gadis itu mendengus pendek. "Bukan urusan lo." Dan tubuhnya melenggang lebih dahulu ke arah berlawan. Membuat Marcello terkejut dan segera menyusul. "Eh, eh, tunggu, Ser! Serra! Bentar tungguin!" Marah, kecewa, sedih, semuanya bergemuruh di dalam hati Serra. Ia tidak tahu hubungan yang dianggap sangat dekat di mata orang lain, justru terasa paling jauh untuk dirinya sendiri. "Tapi kenapa ya Sakilla sampai setega itu sama kembarannya sendiri?" Marcello mungkin tak berniat melemparkan pertanyaan itu untuk Serra dalam situasi begini. Namun tetap saja, kalimat tanya itu terdengar cukup keras untuk dikategorikan sebagai suara hatinya. Dan beruntung bagi Serra karena gadis itu tidak perlu menjawab pertanyaan tadi karena mereka sudah sampai di depan toilet sekolah. Gadis itu menoleh sebelum masuk ke dalam toilet, pandangannya jauh melihat Sakilla yang kini sedang berpelukan dengan Fabian tanpa rasa malu sedikitpun. Gretta dan Tya yang notabenenya juga adalah sahabat dekat Sakilla tampak tak masalah dengan hal tersebut dan malah sibuk dengan pacar mereka masing-masing. Membuat Serra mengernyitkan kening dan diam-diam bertanya di dalam hatinya. "Kenapa lo jadi kaya gitu, La? Kenapa sekarang lo jadi seliar itu? Kenapa sekarang lo jadi jahat dan tegaan sama kembaran lo sendiri? Kenapa, Sakilla?" *** Hallo, fellas. Gimana menurut kalian cerita ini? Jangan lupa di vote ya kalau kalian memang suka. Terima kasih. Salam, IMAWRITE.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD