7. Mengadu Pada Papa

1339 Words
Bagian 7 "Gawat, Sof, Mira telah mencari bantuan, dia berniat ingin menjebloskan orang yang sudah mencuri mobilnya." Sebuah pesan dari dari Mas Hanif masuk ke ponselku. Ada untungnya juga aku menyadap ponselnya Mas Hanif, jadi aku bisa mengetahui semua pembicaranya dengan wanita itu. "Masa menghadapi istrimu aja enggak bisa sih, Mas! Tahan dia, bila perlu kurung dia sepeti yang dikatakan Ibu tadi." Pesan balasan dari wanita itu. "Tidak semudah itu, Sofi. Mira itu orangnya keras kepala." "Ancam saja, Mas. Dia kan sedang menjalankan program kehamilan tuh, ancam saja bahwa Mas akan menceraikan jika dia tidak nurut juga." Wow! Bahkan wanita yang bernama Sapi itu udah berani menyuruh Mas Hanif untuk menceraikanku. Luar biasa! "Belum saatnya, Sofi. Keinginan Mas belum terwujud. Setelah semuanya berada di genggaman Mas, maka itulah yang akan Mas lakukan!" Picik sekali pikiranmu itu, Mas! Bahkan kamu tidak ingat betapa aku telah berkorban banyak untukmu dan juga ibumu. Kuliahmu saja aku yang bayarin. Sekarang setelah menduduki posisi yang bagus, bahkan kamu lupa dan ingin mencampakkanku. Kamu lupa, Mas, siapa yang membantu dan mendukungmu hingga berada di posisi seperti sekarang ini? Kamu bagaikan kacang yang lupa pada kulitnya, Mas! Ternyata ini balasan untuk semua pengorbananku selama ini. Untuk sejenak, aku mematut diri di depan cermin. Memandangi wajahku. Tidak ada yang berubah dari wajahku, masih tetap cantik seperti dulu karena aku selalu rajin melakukan perawatan. Kemudian aku berdiri, mengamati setiap inci dari tubuhku. Tiada yang berubah, bahkan tidak ada lemak yang bergelambir, masih tetap langsing. Selama ini, aku juga sudah menjalankan tugasku semaksimal mungkin sebagai seorang istri. Lantas, kenapa Mas Hanif berpaling ke lain hati? Iya, aku baru ingat. Ibunya Mas Hanif mengatakan bahwa aku ini hanyalah alat untuk balas dendam. Ya, hanya untuk balas dendam. Aku mencengkram luka di dalam d**a ini. Luka yang ditorehkan oleh suamiku dan mertuaku sendiri. Bulir bening berhasil lolos dari sudut netra. Aku larut dalam kesedihan. Meratapi nasib pernikahanku yang mungkin sebentar lagi akan berakhir. Aku tidak akan membiarkanmu menang, Mas. Kamu akan merasakan yang jauh lebih sakit dibanding apa yang aku rasakan saat ini. Itu adalah janjiku. Segera kuhapus air mata dengan punggung tangan saat mendengar bunyi pintu terbuka. Mas Hanif tidak boleh tahu bahwa aku habis menangis. Bisa-bisa ia akan menginterogasiku dan rencanaku pasti akan gagal. Aku tidak mau hal itu terjadi. Mas Hanif menghampiriku yang sedang duduk di bangku meja rias. Lalu memegangi pundakku dari belakang. Sebenarnya aku sudah tidak sudi disentuhnya, tapi aku harus tetap bersikap biasa saja di hadapannya. "Mir, maafin Mas, ya, jika Mas telah membuatmu kecewa," ucapnya sambil mengelus kepalaku yang masuh mengenakan jilbab. Dahiku mengernyit mendengar ucapannya. Apa mungkin Mas Hanif telah menyesali semua kesalahannya padaku? "Maaf? Untuk apa?" "Karena Mas telah membuat mobilmu hilang. Mas juga belum bisa menjadi suami yang baik karena belum berhasil mendapatkan kembali mobil itu, Mir!" Bagaimana bisa kembali kepadaku? sedangkan mobil itu telah kamu berikan kepada gundukmu itu, Mas … Mas! Sandiwara lagi ternyata! Rupanya sandiwara ini masih terus berlanjut, baiklah, mari kita mainkan! "Enggak apa-apa, Mas. Cukup temani aku melaporkan kasus ini ke polisi, itu saja sudah cukup." Aku memang sengaja bicara seperti itu untuk melihat bagaimana reaksinya. Mas Hanif terdiam, sepertinya sedang memikirkan sesuatu. "Saran mas, sebaiknya kamu lupakan saja soal mobil itu. Ikhlaskan saja! Jangan sampai hal itu menjadi beban pikiran yang akan berdampak buruk pada program kehamilan yang sedang kamu jalani. Mas tidak mau usaha kita selama ini jadi sia-sia, Mir!" Mas Hanif mencoba membujukku, tapi aku tidak akan luluh. "Begini saja, mas minta kamu transfer uang ke rekening Mas biar Mas belikan mobil baru untukmu." Saran apaan? Pasti ini hanya akal-akalannya saja untuk mengambil semua uangku. Tidak, aku tidak sudi! "Mas mau beliin aku mobil?" "Iya dong, Sayang!" "Aku maunya Mas membelinya pakai uang Mas sendiri. Katanya Mas sayang padaku, Ayo dong! Selama ini juga uang gaji Mas, kan Mas yang pegang. Pasti Mas punya tabungan. Selama kita nikah, aku tidak pernah meminta sesuatu padamu. Kali ini, aku meminta Mas untuk membeli mobil baru untukku, menggunakan hasil keringat Mas sendiri." Aku tahu, Mas Hanif tidak mungkin memiliki uang untuk membeli mobil. Bahkan untuk memberi hadiah kepada gundiknya itu saja harus nyuri mobilku. Lucu ya, mau selingkuh tapi ternyata tidak punya modal! "Mas 'kan enggak punya uang sebanyak itu, Mir! Gini aja, mas minta sertifikat rumah ini dulu, soalnya mas mau berinvestasi. Nanti hasil keuntungannya akan mas belikan mobil untukmu," ucapnya dengan entengnya. Aku tidak bodoh, Mas. Aku sudah tahu semua rencana kalian. "Enggak, Mas. Aku tidak setuju jika Mas ingin menggadaikan sertifikat rumah ini hanya untuk bisnis investasi." "Lumayan loh, Mir. Satu bulan aja udah untung puluhan juta. Gimana kalau dua bulan, 3 bulan dan seterusnya?" Mas Hanif terus-menerus merayuku. "Enggak, aku tetap tidak setuju, Mas. Pokoknya gini aja, sebelum mobilku kembali, maka kamu belum bisa memakai mobilmu kembali. Itu sudah keputusanku, titik. Sekarang aku mau tidur, capek." Aku pun merebahkan tubuh di atas peraduan, berdebat dengannya tidak akan ada habisnya. Lebih baik aku beristirahat saja. Mas Hanif juga berbaring di sisiku. Kini tangannya sudah melingkar di pinggangku. "Mir, mas kangen kamu. Kamu enggak kangen, ya, sama mas?" "Maaf, Mas. Aku lagi datang bulan. Lebih baik kita istirahat saja, aku capek." Setelah mengucapkan kata-kata itu, aku langsung mematikan lampu tidur. Mas Hanif berdecak kesal dan langsung menarik tangannya. Sukurin! Emang enak! Mulai sekarang dan seterusnya, aku tidak akan sudi disentuhnya. Bagiku tidak ada kata maaf bagi seorang pengkhianat. *** "Mbok, Papa ada?" tanyaku pada Mbok Siti yang sedang menyapu teras depan. "Ada, Non, lagi sarapan," jawab beliau. Mbok Siti adalah asisten rumah tangga Papa. Setelah mendengar jawaban Mbok Siti, aku pun langsung menuju ruang makan. "Papa." Aku langsung memeluk Papa dari belakang. "Eh, anak papa, kamu sudah sarapan, Nak? Ayo sarapan sama papa." Bukannya melepas pelukan, aku bahkan memeluknya makin erat, lalu terisak di pelukannya. "Kamu kenapa, Nak? Ada masalah? Cerita sama papa, Nak!" Papa menaruh sendoknya ke atas piring, menghentikan aktivitas makannya. "Ayo duduk dulu, Nak." Papa mengambil tisu yang berada di atas meja, kemudian mengelap air mataku. "Mbok, tolong bikinin teh hangat untuk Mira!" pinta papa kepada Mbok Siti. "Iya, Tuan," sahut si Mbok. "Tenang dulu ya, Nak. Papa minta jangan menangis lagi." "Ini teh hangatnya, Non." Mbok Siti menaruh gelas yang berisi teh hangat tersebut di atas meja. "Makasih, Mbok." "Situ pamit ke belakang dulu ya, Tuan!" "Iya, Mbok, silakan!" Papa kemudian mengambil gelas yang berisi teh tersebut. "Minum dulu, Nak, biar lebih tenang!" Aku pun menurut. Meraih gelas tersebut dari tangan papa, lalu menyesapnya pelan-pelan. "Mira, cerita sama papa, ada apa? Apa yang terjadi?" "Mobil Mira hilang, Pa!" Sebenarnya aku bingung harus mulai dari mana. "Hilang? Kok' bisa?" Dahi Papa mengernyit mendengar jawabanku. "Hilang dimana? Kapan kejadiannya? Udah lapor polisi?" "Belum, Pa!" "Ayo, Papa temenin ke kantor polisi sekarang!" Papa pun beranjak dari tempat duduknya. "Biarin saja, Pa!" "Ya enggak bisa gitu, dong. Atau jangan-jangan, kamu sudah bosan sama mobil itu? Mau minta dibelikan mobil baru sama papa? Gampang, nanti sore kita ke showroom, kamu tinggal pilih mana yang kamu suka. Yang penting anak kesayangan papa tidak sedih lagi." Papa kembali duduk di tempatnya semula. Ya, Papa memang selalu memanjakanku. Apa pun yang aku minta pasti dituruti. "Kok wajahnya masih sedih gitu? Nanti cantiknya hilang loh." "Pa, sebenarnya mobilku tidak hilang. Tapi diberikan oleh Mas Hanif pada wanita selingkuhannya." Akhirnya berhasil juga kuucapkan kata-kata itu. "Maksudnya? Hanif selingkuh?" Papa tampak shock mendengarnya. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Papa langsung menggebrak meja, membuat jantungku rasanya mau copot. "b******k! Berani sekali dia mempermainkan putri papa." Wajah Papa tampak memerah, tangannya pun mengepal. "Maafin papa jika membuatmu terkejut. Papa tidak bisa mengendalikan emosi." "Iya, Pa, aku maklum!" "Apa kamu punya bukti? Kamu tidak asal nuduh 'kan?" "Punya, Pa. Aku menyadap ponsel Mas Hanif. Dari situlah aku mengetahui semua kebusukannya. Bukan cuma Mas Hanif, Pa, tapi ibu mertua juga ikut andil di dalamnya. Ternyata selama ini mereka menjadikanku sebagai alat untuk balas dendam. Mas Hanif tidak tulus, Pa!" Lagi-lagi, Papa tampak shock mendengar ucapanku. "Keterlaluan! Ini tidak bisa dibiarkan! Ternyata mereka ingin bermain-main dengan kita. Mereka tidak tahu sedang berurusan dengan siapa!" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD