3. Sedikit Memaksa

1086 Words
Bagian 3 "Dasi kamu kok' berantakan, Mas?" "Iya, soalnya Mas gerah!" "Gerah? Kan ada AC? AC-nya tidak dihidupin ya? Sini biar aku cek ke dalam!" "Tunggu!" Mas Hanif menghalangiku, tapi aku langsung saja menerobos masuk. Seorang wanita yang mengenakan rok di atas lutut sedang berdiri di depan meja kerjanya Mas Hanif. mungkin wanita itu tidak sadar jika kancing bajunya bagian atas terbuka sehingga menampakkan pemandangan yang tidak pantas untuk dilihat. Sepertinya ia sengaja, atau jangan-jangan telah terjadi sesuatu di ruangan ini. "Oh, ada tamu, ya!" ucapku sambil memandangi wanita itu. "Iya, staf baru," jawab Mas Hanif. Staf baru? Enggak salah? Tadi sekretarisnya bilang klien, sekarang staf. Aku semakin yakin bahwa suamiku memang ada main sama wanita ini. "Sofia, kamu boleh keluar. Saya mau bicara dengan istri saya." Sofia? Ya, aku ingat sekarang. Kontak yang mengirim pesan ke nomor Mas Hanif bernama Sofia. Berarti mobilku ada bersama wanita itu. Jika saja aku menuruti emosi, sudah kuludahi wajah Mas Hanif dan menghajar habis-habisan wanita yang berada di depan mataku ini sampai babak belur. Tapi aku masih bisa mengendalikan diri. Aku ingin lihat sampai sejauh mana permainan mereka. Balas dendam dengan cara bar-bar itu tidak seru. Baiklah, aku akan membalas mereka dengan cara yang elegan. "Baik, Pak!" Wanita itu mengangguk tanda patuh. "Tunggu!" Aku mencegahnya. "Kenapa, Mir? Kenapa kamu mencegahnya?" "Staf baru kok' berani banget ya! Mau kerja atau mau jual diri? Pakaianmu sama sekali tidak sopan. Rok di atas lutut, kancing bajumu juga terbuka. Kamu sengaja ya ingin menarik perhatian suami saya?" Aku sengaja berkata seperti itu untuk melihat reaksi mereka berdua. "Ma-maaf," ucap wanita itu terbata sambil merapikan kancing bajunya. "Kamu kok' ngomongnya gitu, Mir?" Mas Hanif protes. "Aku tidak suka melihat cara berpakaiannya, Mas! Dengan caranya berpakaian seperti itu, sama saja dia memamerkan auratnya." "Tapi kan bisa dibicarakan baik-baik, Mir!" "Kelihatannya Mas tidak suka jika aku memprotes penampilannya. Atau jangan-jangan Mas malah menyukai wanita ini?" "Bukan begitu, Sayang. Mas cuma tidak ingin kamu terlalu mengurusi urusan orang lain, Itu saja!" kilahnya, ia pikir aku ini wanita bod*h apa? "Aku tidak mau jika sampai kamu tergoda oleh wanita lain, Mas!" Terpaksa aku berakting di depan wanita yang tidak tahu diri itu. Padahal aku sudah sangat muak dengan semua ini. "Tidak akan, Sayang! Hanya kamu wanita yang Mas cintai di dunia ini. Tiada yang lain. Kamu harus ingat satu hal bahwa Mas tidak akan pernah tergoda oleh wanita lain. Tidak akan." Mas Hanif meraih tanganku, lalu mengecupnya. Gombal! Aku tidak akan termakan oleh rayuan manismu lagi, Mas! Cukup sudah! Sejenak kulirik wanita itu, wajahnya terlihat kesal. Tangannya juga mengepal. Pasti ia cemburu melihat kemesraan kami. Rasain! Itulah resikonya jika menjalin hubungan dengan lelaki beristri. "Saya permisi, Pak!" Wanita itu berjalan menuju pintu, sesekali ia menoleh ke kebelakang. Akhirnya wanita itu pergi juga. Aku yakin, setelah ini, ia pasti akan marah pada Mas Hanif. Emang gue pikirin! Memang itulah yang kuharap kan. "Oh ya, ngapain kamu kesini?" tanya Mas Hanif sesaat setelah wanita itu meninggalkan kami berdua. "Enggak boleh?" tanyaku balik. "Boleh dong! Kok' tumben?" "Aku ingin mendesakmu agar secepatnya melaporkan kasus pencurian mobilku itu!" "Itu pasti, tapi setelah kerjaan mas selesai ya! Mas janji!" "Aku enggak mau, Mas! Maunya sekarang!" "Belum bisa, Sayang. Kamu sabar, ya!" "Kalau gitu biar aku saja yang buat laporan ke kantor polisi!" "Jangan! Enggak usah!" Mas Hanif terlihat cemas. Aku tahu, ia pasti ketakutan sekarang. Takut rahasianya akan terbongkar! Mungkin ia lupa dengan kata pepatah. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Ya, sepandai-pandainya Mas Hanif menyimpan rahasianya, suatu saat pasti akan terbongkar juga. "Apa bedanya sih, Mas! Kamu kan banyak urusan," protesku tidak suka. "Jangan, Sayang. Kamu sedang menjalankan program kehamilan. Mas tidak mau jika hal ini menambah beban pikiranmu." Kamulah yang sengaja menambah beban beban pikiranku, Mas! Kamu sendiri yang telah menebarkan bendera perang di antara kita. Kamu jahat Mas, tega mengkhianati ketulusan cintaku. "Sekali tidak tetap tidak. Jika Mas tidak bisa, baiklah, biar aku saja. Permisi!" "Tunggu, Mira." Mas Hanif menghadangku. "Baiklah, Mas akan menemanimu." "Gitu dong, ayo kita berangkat sekarang!" Mas Hanif terlihat pasrah. Aku tahu ia melakukan ini dengan terpaksa. Mari kita lihat, apakah setelah ini masih ada alasan untuk menunda melaporkan kasus pencurian mobil tersebut. Sesampainya di parkiran, aku dan Mas Hanif masuk ke dalam mobil. Lalu Mas Hanif mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, Mas Hanif tampak gelisah. Aku tahu, ia pasti takut untuk melapor ke kantor polisi. Berulangkali mengecek ponsel, padahal tidak ada yang menghubunginya ponselnya. Mencurigakan! Tiba-tiba saja, Mas Hanif menginjak rem, membuatku terkejut. "Apa-apan sih, Mas? Kok' ngerem mendadak gitu?" protesku, kesal padanya. "Maafin Mas, Mir. Mas lupa bahwa mas harus menghadiri meeting lima belas menit lagi. Kamu pulang naik taksi saja, ya, Mas takut telat jika mengantarmu lebih dulu." Alasan! Pasti Mas Hanif hanya ingin mengelak. Kamu takut kedokmu terbuka kan' Mas? "Jadi Mas mau nurunin aku di pinggir jalan, begitu?" Aku memasang wajah tidak suka, biar ia tahu bahwa aku benar-benar kesal padanya. "Bukan maksud mas seperti itu, Mir. Ini adalah tuntutan pekerjaan. Tolong mengertilah!" Mas Hanif berusaha merayuku. "Kamu turun sekarang, ya, mas takut telat loh!" Mas Hanif seolah menginginkan agar aku segera turun dari mobilnya. Aku tahu, pasti ia hanya akal-akalannya saja. "Kamu tahu, Mas, inilah alasannya kenapa aku mendesakmu untuk melaporkan kasus pencuri mobil itu ke kantor polisi. Aku ingin agar mobilku segera kembali, Mas. Aku malas kemana-mana naik taksi." "Kenapa enggak beli mobil lagi? Mobil yang sudah hilang akan sulit untuk ditemukan. Polisi juga tidak akan langsung menemukannya. Saran Mas sih lebih baik kamu beli mobil baru saja." "Engak! Itu mobil kesayanganku. Bahkan mobilku itu jauh lebih mahal dari harga mobilmu ini. Aku akan berusaha bagaimanapun caranya agar mobil kesayanganku itu segera ditemukan." Mas Hanif terlihat kesal mendengar jawabanku. Aku tahu, itulah maunya. Ia ingin agar aku membeli mobil baru agar aku tidak lagi mencari mobil yang telah diberikannya pada gundiknya itu. "Sabar ya, Sayang. Mas janji akan segera mengurusnya. Sekarang kamu turun dulu, mas mau kembali ke kantor." Mas Hanif sedikit memaksa. "Aku? Turun? Enggak! Kamu saja yang turun. Selama mobilku belum ditemukan, maka aku yang akan memakai mobilmu, Mas." "Jangan gitu, dong Mira. Masa iya mas harus naik taksi kemana-mana? Kan gak lucu." Mas Hanif protes pada keputusanku. "Kan kamu yang ngilangin mobilku, jadi tanggung sendiri akibatnya. Udah sana, turun! Ntar telat loh!" Gantian, sekarang aku yang memaksanya turun. Emang enak! Siapa suruh bermain-main denganku. Akhirnya Mas Hanif mengalah, ia pun turun dari mobil. Setelah itu aku berpindah ke bangku kemudi, langsung tancap gas, meninggalkan Mas Hanif yang masih berdiri di pinggir jalan. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD