5. Alat Untuk Balas Dendam

1197 Words
Bagian 5 Sudah malam begini, Mas Hanif belum pulang juga, padahal tadi ia janji mau pulang cepat setelah selesai meeting. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Kamu kemana sih, Mas? Kenapa enggak ngasih kabar? Sebenarnya aku sama sekali tidak mengkhawatirkannya, hanya saja aku takut jika ternyata Mas Hanif malah bersama wanita itu. Aku tidak rela! Untuk menjawab rasa penasaranku, aku pun berniat menyusulnya. Aku harus mendatangi kantornya. Segera ku keluarkan mobil dari garasi, kemudian mengendarainya dengan kecepatan sedang hingga akhirnya tiba di kantor Mas Hanif. "Pak, Bapak Hanif masih di dalam? Lembur ya?" tanyaku pada Pak satpam yang sedang berjaga. "Pak Hanif sudah pulang sejak sore tadi, Mbak, dan seluruh karyawan serta staf kantor sudah pada pulang semuanya." "Bapak yakin?" Karena ragu, aku kembali bertanya. "Yakin, Mbak." "Yasudah kalau begitu, terima kasih, Pak, saya pamit dulu." "Silakan, Mbak!" Kemana kamu, Mas? Apalagi yang kamu lakukan? Akhirnya aku memutuskan untuk pulang, tapi di tengah perjalanan tiba-tiba aku berubah pikiran. Sebaiknya aku singgah di rumah ibu mertua dulu. Biarpun Mas Hanif enggak ada di sana, tapi aku ingin menceritakan semuanya pada ibu mertua. Selama ini ibu mertua sangat baik padaku. Aku yakin bahwa Ibu akan mendukungku. Aku sengaja memperlambat laju mobil ketika sudah mendekati pekarangan rumah ibu mertua. Mataku memicing saat melihat sebuah mobil yang sangat mirip dengan mobilku di sana. Oke, aku harus memastikannya! Mobil sengaja kumundurkan dan memarkirnya di pinggir jalan agar tidak ada yang mengetahui kedatanganku. Setelah aku amati dengan seksama, ternyata itu memang mobilku. Ya, warna dan plat-nya sama. Kenapa mobilku ada di rumah ibu mertua? Bukankah mobilku ada di tangan wanita yang bernama Sofi itu? Apa jangan-jangan? Berbagai pertanyaan menari-nari di dalam otakku. Pikiran dan firasat buruk seketika menyelimuti dari ini. Semoga saja ibu mertua tidak terlibat dalam hal ini. Aku akan sangat marah dan kecewa jika benar bahwa ibu mertua ikut andil dalam hal ini. Kulihat pintu depan terbuka, tapi aku tidak mau masuk dari pintu depan. Aku lebih memilih untuk mengendap-endap di samping rumah agar bisa mendengar pembicaraan mereka. Walau gelap tanpa penerangan cahaya lampu, tapi aku tak gentar. Aku tetap memberanikan diri untuk menguping pembicaraan mereka. Benar dugaanku, sepertinya mereka berada di ruang tamu. "Mas udah menuhin janji, sekarang kamu jangan ngambek lagi, ya!" Itu suara Mas Hanif. "Enggak lagi, Mas. Makasih ya, Mas udah mau beliin aku cincin berlian ini. Mas tahu enggak? Aku tuh dari dulu pingin bangat punya cincin berlian." Suara seorang wanita, apa mungkin suara wanita itu? Berarti Mas Hanif sudah membeli cincin berlian dan menyerahkannya pada wanita itu. Keterlaluan kamu, Mas! "Hanif, kenapa enggak beli mobil baru saja sama Sofia? Mobil itu kan bekasnya Mira!" Degh! Jantungku berdetak lebih kencang saat mendengar suara ibu mertua yang membahas soal mobil. Apa ibu mertua mengetahui soal mobil itu? Aku pun menempelkan telinga ke tembok untuk mempertajam indera pendengaran. "Mama sih, cuma asal ngomong! Mama tidak tahu gimana Mira. Mama gak tahu gimana perjuanganku untuk mendapatkan mobil itu." "Enggak apa-apa, Mas, Tante. Aku suka, kok'! Biarpun bukan mobil baru tapi aku sangat suka. Makasih ya, Mas." Suara wanita itu terdengar manja. "Kamu sih, terlalu takut pada si Mira! Kan kamu kepala rumah tangga, harusnya kamu bisa tegas sama Mira!" "Asal Mama tahu, Mira selalu mendesakku untuk melaporkan kasus kehilangan mobil itu ke kantor polisi. Untungnya aku memberikan alasan padanya." "Jangan dong, Mas, masa Mas mau laporin aku ke polisi, sih?" sahut wanita itu. "Ya, enggak akan dong, Sayang. Mana mungkin Mas melaporkanmu ke polisi." "Kamu harus cari cara agar si Mira itu percaya, Hanif. Kurung dia di rumah. Jangan kasih izin untuk keluar rumah. Satu hal lagi, dapatkan BPKB mobil itu agar Mira tidak bisa lagi melapor ke kantor polisi!" Astaghfirullah … ternyata ibu mertua sudah mengetahui semuanya. Bahkan ibu mertua menyuruh Mas Hanif untuk mengambil BPKB mobil itu secara diam-diam. Keterlaluan! "Iya, Bu. Itu yang sedang kupikirkan sekarang. Bagaimana caranya membuat Mira percaya dan tidak curiga padaku. Sulit sekali mendapatkan BPKB mobil itu, Bu. Aku tidak mungkinlah berbuat kasar padanya. Bisa-bisa Mira akan mengadu pada papanya. Ibu tahu kan apa yang akan terjadi jika Mira sudah mengadu pada papanya?" Mas, Bu, kalian jahat! Kalian telah mengkhianati kebaikan dan ketulusanku. "Ya kamu cari cara lah. Pas Mira tidur misalnya! Itu kesempatanmu untuk mencari BPKB mobil itu. Soal keluar rumah, kamu bisa menahan dia dengan alasan program hamil yang sedang dia jalankan, atau apa gitu! Buatlah agar Mira tidak keluar dari rumah. Ibu tahu, kamu kan jago di bidang itu." "Iya, Bu. Soal itu gampang. Aku bisa mengatasinya!" "Mas, memangnya istrimu itu sedang menjalankan program kehamilan? Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau istrimu itu mandul? Terus kalau dia hamil bagaimana denganku?" Kamu menyebutku mandul, Mas? Tega. Benar-benar jahat! "Mira itu mandul, percuma berobat kesana kemari, dia enggak bakalan bisa punya anak. Jadi kalian harus secepatnya kasih Ibu cucu." Astaghfirullah … Ibu menginginkan cucu dari wanita itu? benar-benar enggak punya hati! Gimana aku mau hamil, Bu? Nikah aja belum!" protes wanita itu. Belum nikah tapi sudah melakukan perbuatan zina, murahan! "Maaf, Sayang. Untuk saat ini Mas belum bisa menikahimu. Terlalu beresiko jika kita menikah sekarang. Tapi Mas janji, secepatnya akan menuruti keinginanmu. Agar kita bisa secepatnya ngasih cucu buat Ibu." "Ibu doakan semoga kalian secepatnya menikah dan punya anak, ya! Amin." "Tapi janji ya, Mas. Jika kita sudah menikah dan aku sudah dinyatakannya positif hamil, Mas harus menceraikan wanita mandul itu." "Ya iyalah, untuk apa lagi Hanif mempertahankannya? Setelah Hanif berhasil menguasai seluruh aset yang mereka miliki, maka Hanif akan membuang Mira seperti sampah. Bukan begitu, Hanif?" Ternyata diam-diam mereka telah merencanakan pernikahan di belakangku. "Iya, Bu," sahut Mas Hanif. Ternyata suamiku menjadikan kekuranganku yang tidak bisa memberi keturunan sebagai alasan untuk berselingkuh dengan wanita lain. Bahkan ibu mertua dan suamiku ingin merebut semua hartaku dan ingin mencampakkanku. Tidak akan bisa! "Tante, Mas, kenapa sih kalian tidak suka sama Mbak Mira? Bukannya dia itu baik, cantik, tajir lagi! Sungguh berbanding terbalik denganku yang hanya wanita kampungan." "Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Mira. Kamu benar, dia itu baik, bahkan baik sekali. Tante membenci ibunya dan Tante menjadikan Mira sebagai alat untuk balas dendam pada mamanya. Walaupun Tante sudah berhasil membuat Mama dan papanya Mira bercerai, tapi Tante belum merasa puas. Tante ingin membuat keluarga mereka sengsara dan menderita." Degh! Darahku seketika berdesir mendengar setiap kata yang keluar dari mulut ibu mertuaku itu. Jadi dia yang telah menyebabkan Mama sama Papa pisah? Benar-benar wanita jahat. Wujudnya saja yang berbentuk manusia, manusia berhati iblis. Hampir saja aku tidak bisa mengendalikan emosi, untungnya aku cepat-cepat sadar bahwa aku ini sedang memata-matai Mas Hanif. Rasanya aku tidak sanggup lagi mendengar pembicaraan mereka. Yang jelas, aku sudah mengetahui rencana busuk mereka. Pantas saja Mama bersikeras melarangku agar jangan menikah dengan Mas Hanif, ternyata ini alasannya! Ma, maafkan putrimu ini. Aku telah melawan Mama demi Mas Hanif. Air mata tidak bisa lagi kubendung. Mengalir begitu saja dari sudut netra. Bukan menangisi pengkhianatan Mas Hanif, tapi justru menangisi kebodohanku sendiri. Aku merasa bersalah sama Mama. Aku sudah menjadi anak durhaka. Maafkan aku, Ma. Cepat-cepat kutinggalkan tempat tersebut sebelum mereka melihat keberadaanku. Aku tidak mau jika mereka sampai melihatku. Untuk sementara, aku akan tetap berpura-pura bodoh di hadapan mereka. Agar aku bisa menyusun rencana untuk membalas rasa sakit hatiku. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD