1. Dijodohkan dengan Raven

1455 Words
"Kamu akan bertunangan malam ini, Emma," ucap Saskia. Emma membelalak mendengar ucapan ibunya. Bertunangan? Bahkan pacar saja ia sedang tak punya. Bagaimana mungkin ia bisa bertunangan malam ini? "Tapi ... apa maksud Mama? Aku akan bertunangan dengan siapa?" tanya Emma tak mengerti. Ia menoleh pada ayahnya yang sedang menyetir. "Tunggu! Bukannya kita hanya akan makan malam?" Emma yang duduk di jok penumpang mendadak panik. Ia hanya diajak oleh kedua orang tuanya untuk makan malam di luar. Dan setelah mereka hampir sampai di restoran, ia justru dikejutkan dengan ucapan ibunya. "Pa, Ma! Jangan bercanda deh. Aku nggak mungkin tunangan. Sama siapa coba?" Emma yang baru saja mencondongkan tubuhnya ke depan langsung membanting dirinya ke sandaran. "Kamu harus bertunangan dan menikah bulan depan, Emma," ujar Jordi, ayahnya. Pria itu menoleh lalu memberikan kerlingan mata pada putrinya yang semakin terkaget. "Nggak, nggak mungkin aku menikah bulan depan!" pekik Emma tak terima. "Emma, kamu tidak bisa menolak. Kamu tahu perusahaan papa kamu sedang di dalam kondisi genting. Pernikahan ini akan menyelamatkan perusahaan. Pokoknya, Mama sama papa nggak terima penolakan. Kamu harus menikah dengan pria ini!" Saskia bersikeras. Ia juga memberikan tatapan menusuk pada putrinya. "Aku tahu itu. Tapi ... aku harus menikah dengan siapa? Apa dia pria tua kaya yang berperut buncit?" Emma mereka-reka di kepalanya. Jika ia harus dijodohkan dengan pria yang bisa menyelamatkan keuangan keluarganya, barangkali ia harus menikahi pria yang jelek. "Kamu pikir kami tega melakukan itu sama kamu?" Saskia membuang napas panjang. "Kamu kenal pria ini. Dia cukup muda, seumuran sama kamu. Jadi, kamu nggak usah khawatir." Emma mulai berdebar. Ia tak pernah serius membina hubungan dengan pria karena ia suka bermain-main. Ia begitu cantik dan ia bisa menikmati banyak pria jika ia mau. Dan kini, ia dihadapkan pada sebuah pertunangan, bahkan pernikahan. Itu artinya ia harus terikat sebuah komitmen! "Siapa pria itu? Tak mungkin ada pria yang sukses di usia 28 tahun, Ma." Emma masih menebak-nebak. Barangkali putra rekan bisnis ayahnya, tetapi siapa? Yang mana? Emma mendadak merasa gila, ia tak suka dengan perjodohan seperti ini. "Ada. Kamu tidak usah protes, Emma. Kamu hanya harus menerima. Kamu ... selama ini kamu hanya bermain-main dan tidak berkontribusi pada perusahaan papa kamu. Jadi, sekarang saatnya kamu menunjukkan bakti kamu sebagai anak," tuntut Saskia tanpa ampun. Emma melipat kedua tangannya di depan d**a. Bahkan ketika mereka tiba di parkiran restoran, Emma tak ingin turun. Ia memasang tampang cemberut. "Emma, cepat turun! Keluarga mereka sudah menunggu," ujar Jordi ketika ia membukakan pintu mobil untuk Emma. "Pa, bisa nggak sih aku nggak usah nikah dulu. Paling nggak, jangan ada perjodohan. Itu udah nggak zaman!" Emma masih berusaha bernegosiasi dengan ayahnya. Ibunya memang galak, tetapi ayahnya lebih mudah dibujuk. "Kamu nggak akan nyesel ketemu sama pria ini. Dia ganteng dan kaya!" sentak Saskia. "Udah, ayo buruan!" Emma tak punya pilihan lain. Akhirnya, ia pun menuruti keinginan mereka untuk turun dari mobil lantas mengikuti mereka masuk ke dalam restoran mewah itu. Emma berjalan dengan wajah terlipat walaupun ibunya terus mengingatkan agar ia tersenyum. Dan tak lama, ia pun dibawa masuk ke sebuah ruang VIP. Kedua mata Emma melebar sempurna ketika melihat sosok yang tiba-tiba berdiri menyambut mereka. Ravendra Malik! Pria itu ... tak mungkin adalah pria yang dijodohkan dengannya. Jantung Emma seolah mau copot karena senyuman miring yang dipamerkan Raven. Yah, Emma ingat siapa Raven. Mereka memang saling mengenal. 10 tahun yang lalu ketika mereka masih duduk di bangku SMA. "Ini Emma? Wah, cantik sekali," ucap seorang wanita yang pastinya adalah ibu dari Raven. Emma merasakan senggolan keras dari ibunya hingga ia tersadar ia ada di sebuah pertemuan penting. Ia pun mengangguk lalu mencoba tersenyum. Kedua mata Emma kembali memindai wajah tampan Raven. "Raven sudah berubah," batin Emma. "Raven si pria cupu yang pernah gue tolak mentah-mentah di sekolah, sekarang udah jadi seganteng dan segagah ini. Kok bisa? Sialan!" Bukan tanpa sebab Emma merasa kesal karena pria pilihan orang tuanya adalah Raven. Namun, ia dibuat gentar dengan seringaian yang Raven pamerkan. Alih-alih fokus dengan pertemuan yang mereka lakukan Emma justru terus terngiang-ngiang ucapan Raven 10 tahun yang lalu. "Tunggu aja, Emma. Aku bakal membalas semua penghinaan yang kamu lakukan hari ini. Aku tahu kamu cantik dan kaya raya sedangkan aku ... aku tidak setampan dan sekaya cowok-cowok lain. Tapi, kamu udah nolak cinta aku dan mempermalukan aku di depan semua orang. Suatu hari nanti, aku bakal balas dendam! Aku bakal bikin kamu bertekuk lutut di depan aku! Ingat itu!" "Emma, kamu harus duduk," kata Jordi membuyarkan benak Emma yang sudah kacau itu. Emma menoleh pada ayah dan ibunya lalu ia pun terpaksa duduk. Sebenarnya ia ingin kabur saja, tetapi itu sangat pengecut. Raven dulu memang menyukainya. 10 tahun yang lalu. Barangkali, pria itu sudah tak memiliki niat balas dendam, pikirnya. Lagipula, siapa yang akan balas dendam dengan pernikahan? "Kamu dan Raven satu sekolah dulu, 'kan?" tanya ibu Raven pada Emma. "Ehm, iya, Tante," jawab Emma canggung. Emma masih melirik Raven, tetapi ia tak berlama-lama karena tatapan Raven seperti hendak menguliti dirinya saja. "Itu mbak Asri, ibunya Raven. Yang itu mas Sadewo, ayahnya Raven." Saskia memperkenalkan orang tua Raven pada Emma. "Setelah menikah dengan Raven, kamu harus tinggal dengan mereka juga." "Apa?" Emma terkesiap. Sebuah pernikahan paksa saja sudah menakutkan baginya. Apalagi jika ia harus tinggal dengan mertuanya. "Ah, itu tidak benar. Raven sudah membangun rumah sendiri tak jauh dari rumah kamu," sahut Asri. Ia menoleh dengan ekspresi bangga pada putranya. "Itu adalah rumah baru yang sangat besar. Kamu bakalan suka tinggal di sana, Emma." Emma tersenyum getir. Jika itu dengan Raven, sepertinya rumah itu akan mirip neraka, batinnya. Karena begitu gugup, Emma pun memutuskan untuk berdiri. "Maaf, aku harus ke toilet dulu," kata Emma. Emma mendapatkan pelototan dari ibu dan ayahnya seketika. Tatapan itu juga berarti ia tak boleh kabur dan harus segera kembali. Jadi, ia pun mengangguk. Emma segera meninggalkan ruangan. Ia langsung mengumpat begitu melangkah di koridor. Dan dengan cepat ia pun menyambar ponselnya dari dalam tas. Ia ingin mencari tahu siapa Raven. Sembari berjalan ia membaca profil Raven yang ada di internet. Ternyata Raven adalah CEO VR Entertainment, sebuah agensi hiburan yang sangat besar. Tentu saja, ini adalah kejutan besar bagi Emma. Dulu, Raven hanyalah putra orang kaya baru yang sangat jelek. "Sialan! Kenapa harus Raven? Apa dia masih dendam sama gue atau dia masih suka sama gue?" Emma yang mencuci tangannya di wastafel toilet pun hanya bisa mengumpat. "Gue yakin ini nggak bener. Gue nggak mau nikah sama Raven! Tapi ... Raven ganteng banget hari ini nggak cupu lagi kayak dulu. Kenapa? Ah, ngeselin!" Emma hampir mengacak rambut saking kesalnya. Namun, ia sadar. Ia tak boleh terprovokasi dengan tatapan dingin Raven. Ia membuang napas panjang lalu memutuskan untuk menghadapi saja pria yang pernah ia tolak itu. Namun, di depan pintu toilet, ia justru dikagetkan dengan kemunculan Raven. Ia langsung mengelus d**a, apalagi ketika Raven melangkah cepat ke arahnya hingga punggungnya menumbuk daun pintu toilet. "Kamu mau ngapain?" tanya Emma terkesiap. Jarak mereka sangat tipis, jika saja Raven maju selangkah lagi maka habislah ia. "Kamu masih ingat apa yang aku katakan setelah kamu menolak cinta suci aku?" tanya Raven seraya membelai pipi Emma dengan punggung tangannya. Emma mendengkus. Ia memiringkan kepalanya karena menghindari tatapan Raven. "Itu cinta monyet. Wajar dulu aku nolak kamu. Kamu dulu jelek!" "Ya, kamu bilang begitu di depan semua orang. Kamu bilang aku cuma cowok miskin yang jelek dan kamu mempermalukan aku karena kamu menolak aku," kata Raven dengan suara beratnya. "Tapi, lihat saja sekarang. Orang tua kamu meminta bantuan agar mereka tidak bangkrut. Dan kamu ... kamu sangat cantik dan populer dulu bahkan kamu juga jadi model ternama. Tapi sekarang, karir kamu meredup bahkan kamu tak terlihat lagi karena kamu hanya menjadi penyiar radio di stasiun kecil." Emma tak pernah merasa begitu terhina, tetapi Raven dengan santainya mencemooh dirinya dan pekerjaannya. "Hidup bisa berubah, Raven. Aku baru 18 tahun dulu, aku masih remaja. Jangan kekanak-kanakan dengan mengingat hal sepele seperti itu." Raven tersenyum miring. "Hal sepele?" Pria itu menarik dirinya dari Emma lalu mengangguk. "Kamu bisa menganggap itu sebagai hal sepele. Tapi aku sakit hati, Emma. Semua orang juga menertawakan aku selama berhari-hari hingga kita lulus sekolah." "Haruskah aku minta maaf?" Emma menelan saliva karena Raven tampaknya tak menginginkan sebuah permintaan maaf. "Ayo kita menikah secepatnya. Dan aku akan membuat kamu merasakan sakitnya hati aku dulu. Aku bakal membuat hari-hari kamu menjadi hari yang sangat buruk. Hingga kamu tunduk sama aku. Aku ingin kamu berlutut di hadapan aku dan aku baru mau dengar kata-kata maaf kamu!" Raven mengangkat dagu Emma dengan ujung jarinya. "Senang bertemu dengan kamu lagi, Emma!" Emma meremang ketika Raven meninggalkan dirinya sendiri di depan toilet. Ia membuang napas panjang dengan kedua mata terpaku pada punggung tegap Raven yang makin lama makin menjauh darinya. "Sial! Gue dalam masalah besar!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD