Pencarian terhadap ponsel Shanum dilakukan oleh tiga polisi yang diundang, dan juga orang Bima Ardelio. Masalahnya, setelah kamar Syifa digeledah, begitu juga dengan ruangan lain. Ponsel Shanum justru ditemukan ditumpukan sampah yang ada di karung. Masalahnya, ponsel tersebut tak lagi dalam kondisi baik-baik saja. Ponsel tersebut sudah dalam keadaan remuk dan terlihat jelas sengaja dibuat begitu menggunakan benda tumpul.
“Om ....” Shanum yang menemukannya secara langsung setelah menggeledah setiap karung berisi sampah hajatan, berakhir terduduk lemas.
Bima Ardelio yang awalnya baru melongok karung sampah satunya lagi. Dan memang menjadi satu-satunya karung yang tersisa, refleks tak bisa berkata-kata. Bima Ardelio makin yakin, bahwa seorang Syifa memiliki jiwa psikopat tinggi. Hanya saja, tangis Shanum yang tersedu-sedu dan itu menangisi ponselnya, membuat hati seorang Bima Ardelio terenyuh.
Entah kenapa, Bima Ardelio merasa sangat terluka hanya karena melihat Shanum sehancur sekarang. Kedua kakinya refleks beranjak dan mendekati Shanum. Setelah sampai menunduk bahkan jongkok, ia juga memberikan pelukannya kepada Shanum.
“Masa iya wanita suci sejahat ini, Om?” Shanum tersedu-sedu, kemudian balas mendekap punggung Bima Ardelio.
“Keputusan tetap ada di tangan kamu. Polisi sudah ada di sini. Kamu bisa meminta bantuan mereka untuk memprosesnya," lembut Bima Ardelio penuh ketenangan. Dagunya menahan ubun-ubun Shanum.
“Bisa jadi malin kundang aku kalau aku sampai melakukan itu, Om. Orang tuaku bela wanita suci banget!” Shanum makin tersedu-sedu.
“Ya sudah ... nanti aku ganti semua uang kamu. Total ada berapa? Nanti aku kasih bonus.” Satu-satunya yang Bima Ardelio harapkan dari Shanum ialah ketenangan Shanum. Agar Shanum bisa fokus menjalankan perannya sebagai istrinya. Meski tentu saja, status Shanum tak lebih dari istri pengganti sekaligus istri sementara.
“Niatnya uang lima puluh lima utu mau buat daftar kuliah, Om. Niatnya habis nikah aku bakalan kuliah, biar jadi PNS!” ucap Shanum.
“Ngapain jadi PNS, mending jadi pengusaha,” ucap Bima Ardelio.
Sekitar lima menit kemudian, dengan kedua mata yang masih basah, Shanum meninggalkan belakang dapur tempatnya menemukan ponselnya. Langkahnya terhenti di depan kebersamaan Syifa yang diapit kedua orang tuanya. Penuh kesadaran Shanum melempar ponselnya ke wajah Syifa yang menunduk dan tak sedikit pun menatapnya.
“Shanum ....” Orang tua Shanum memang berucap lirih dan terdengar sengaja menjaga suaranya. Namun, dari ucapan lirih tersebut keduanya terdengar jelas mengutuk ulah Shanum.
“Telan tuh hape Mbak, biar kamu puas!” tegas Shanum yang kemudian mengalihkan tatapan tajamnya kepada kedua orang tuanya. Ia tatap keduanya silih berganti. “Aku hanya menuntut keadilan, Pak, Mak. Aku enggak nyolong punya orang apalagi sampai merusaknya. Wanita suci apaan. Sudah berzina dan tetap jadi bahan kebanggaan. Kuat-kuat saja kalau sampai ada yang jadi. Karena biasanya, manusia suci yang berlindung di balik agama sekaligus kekuasaan, fantasinya tinggi-tinggi. Kalau bukan punya orang, kurang menantang! Ngakunya pernah nikah siri bahkan keguguran.” Mendadak Shanum juga jadi berpikir lain. “Jangan-jangan, Mbak malah sedang hamil anak suami orang?”
“Shanum!” tegas ibu Wati.
Lain lagi dengan pak Kuswo yang sudah nyaris menampar Shanum. Andai Bima Ardelio tidak menahan tangan kanan pak Kuswo, pasti tamparan panas pak Kuswo sukses membuat Shanum pusing.
“Santai saja, Pak. Andai memang Bapak enggak terima, bawa saja ke dokter kandungan. Lakukan USG!” tegas Shanum yang masih berbicara lirih.
Sungguh kejadian yang sangat menguras emosi walau berlangsungnya tak sampai tembus dua jam. Shanum meninggalkan rumah orang tuanya dengan air mata yang masih berlinang. Beberapa tetangga berkumpul di rumah kanan kiri rumah orang tua Shanum. Mereka yang totalnya ada belasan, terlihat sangat penasaran. Apalagi selain sampai terdengar suara Shanum sampai teriak-teriak sekaligus menangis. Tiga polisi juga sampai Bima Ardelio boyong untuk mencari ponsel Shanum.
Para polisi juga berangsur keluar dari kediaman rumah orang tua Shanum. Sebelum masuk mobil, Bima Ardelio sengaja menahan Shanum untuk berpamitan kepada polisi yang membantu mereka.
Sepanjang perjalanan, Bima Ardelio jadi kerap memperhatikan Shanum. Di sebelahnya, Shanum masih kelihatan sangat loyo. Sesenggukan masih kerap terdengar. Sementara butiran bening juga masih silih berganti jatuh dari kedua ujung mata Shanum. Melihat itu, Bima Ardelio makin tidak tega saja.
“Kamu lapar, enggak?” lembut Bima Ardelio.
Shanum tidak bersuara, tetapi menggeleng pelan sebagai balasannya.
“Kita mau ke mana?” lanjut Bima Ardelio.
Kebersamaan di sana jadi lebih sering heningnya karena penghuni mobil kompak diam. Baik Shanum yang cerewet, juga Bima Ardelio yang memang akan bicara seperlunya.
“Aku enggak mungkin bawa kamu pulang, dalam kondisi kamu yang seperti sekarang. Hm ... gimana ini?” lirih Bima Ardelio.
“Om mau turunin aku di tengah jalan?” ucap Shanum dengan suara yang sangat lirih.
“Kamu mau, ... aku turunin di tengah jalan?” lembut Bima Ardelio yang menutupnya dengan tersenyum jahat.
“Om Bima Ardelio, ... apa yang kamu lakukan itu jahat!” tegas Shanum.
“Shanum, ... aku ini Bima Ardelio, bukan Rangga!” balas Bima Ardelio dengan santainya meninggalkan jalan arah pulang ke kediamannya.
“Kok enggak belok dan masuk kecamatan, Om? Kita beneran enggak pulang ke rumah?” tanya Shanum.
“Bisa jadi kasus kalau aku bawa kamu pulang dalam keadaan seperti sekarang,” ucap Bima Ardelio.
Shanum menghela napas panjang sekaligus dalam. Ia membiarkan sang suami membawanya ke mana pun. Walau ternyata, Bima Ardelio justru membawanya ke pantai.
“Aku enggak suka pantai, apalagi kalau siang bolong gini, Om. Yang ada kulitku gosong. Aku ini, tipikal pemuja kulit putih bersih. Karena buat bisa begini, prosesnya harus bertahun-tahun di Bandung," ucap Shanum.
“Ciih!” Bima Ardelio melirik sengit sang istri.
“Apa salahnya? Aku memang enggak suka pantai. Kena air pantai pun, yang ada kulitku gatal-gatal. Soalnya ketimbang ke pantai, ke sawah tetap jauh lebih aman,” balas Shanum.
“Ratu Elizabet saja enggak seribet kamu!” lirih Bima Ardelio kali ini mencibir.
“Yang penting aku enggak pernah nyusahin orang apalagi nyolong punya orang. Memang enggak suka pantai, ya enggak bisa dipaksa!” balas Shanum meyakinkan.
“Terus, ini aku harus gimana? Kita mau ke mana lagi?” sergah Bima Ardelio mulai emosi.
“Terserah, yang penting jangan bawa aku ke rumah orang tua aku. Entah sampai kapan aku bisa memaafkan diriku sendiri,” ucap Shanum.
“Kenapa justru memaafkan diri kamu sendiri? Yang salah kan mereka,” heran Bima Ardelio.
“Karena aku pasti akan dengan sangat mudah memaafkan mereka. Padahal mereka sudah sangat jahat kepadaku, Om.”
“Sekarang aku paham, kenapa kamu gampang dibohongi bahkan gampang dimanfaatkan orang,” sergah Bima Ardelio yang berangsur putar balik dan membawa mobilnya pergi dari sana.
“Iya ... tega-teganya mereka terus membohongi bahkan memanfaatkan aku, padahal saku selalu kasih segalanya buat mereka. Tega-teganya kakakku, bahkan orang tuaku pilih kasih kepadaku. Atau mungkin, kakak perempuanku memang ODGJ? Aku yakin, si mbak Syifa memang Orang Dungu Enggak Jelas. Makanya enggak pernah bisa berdiri di kakinya sendiri!” ucap Shanum.
“Habis ini kita beli tongkat sama kacamata hitam buat Syifa!” sergah Bima Ardelio sambil menahan tawanya.
“Memangnya biar apa?” bingung Shanum sambil menatap suaminya.
“Biar enggak tersesat. Biar dia tahu arah ke mana dia harus pergi!” ucap Bima Ardelio yang mengakhirinya dengan tawa lepas.
***