8. Memang Bukan Orang Biasa

1094 Words
Gara-gara perkara helikopter, semuanya berantakan. Termasuk rambut Shanum yang tergerai. Beruntung, cukup disisir dengan jari mirip iklan di televisi, rambut Shanum sudah kembali rapi. Masalahnya, bapak-bapak berjas abu-abu yang datang dan sebelumnya keluar dari helikopter, justru mencari wanita bernama Shanum. “Sumpah demi apa pun. Jangan-jangan, aku malah bakalan dinikahin bapak-bapak itu? Astaghfirullah ... dia bahkan lebih cocok jadi bapakku! Hafiz ... semua ini gara-gara Hafiz! Ya ampun bisa-bisanya aku seapes ini! Andai mamak sama bapak jujur dari awal, ini aku pasti nyaris guling-guling di salju Korea Selatan!” Dalam hatinya, Shanum benar-benar panik. Karena suasana sudah normal tanpa ada lagi kekacauan, Shanum sengaja melipir, menjaga jarak dari Bima Ardelio. Masalahnya, baru juga akan melakukannya, tangan kiri Bima Ardelio dengan sigap mendekap punggungnya. Hingga karena itu juga, mereka tak berjarak lagi. “M—Mas, takut banget aku kabur,” lirih Shanum. “Sudah tahu, kenapa masih berusaha kabur dariku?” balas Bima Ardelio enteng dan tak sedikit pun melirik Shanum. “Agak lain memang Mas ini.” Shanum juga tak mau ambil pusing. Namun, dikatai agak lain oleh Shanum, membuat Bima Ardelio memperhatikan wanita muda dan sempat ia curigai masih berstatus anak SMA, dengan saksama. Wajah Shanum menjadi yang paling ia perhatikan, khususnya bibir. Shanum memiliki kulit putih bersih. Di wajahnya yang cantik, hanya dihiasi beberapa jerawat “Shanum ...?” Bapak-Bapak tadi terdengar jadi marah. Shanum berpikir, alasan bapak-bapak tersebut marah lantaran ia yang tak kunjung merespon. Meski takut karena mengira justru pria itu yang akan menikahinya, Shanum berangsur mengangkat tangan kanannya. “Permisi, Pak!” santun Shanum yang sudah menghadap si bapak-bapak. Setelah Shanum amati lebih teliti meski dalam waktu singkat. Bagi Shanum, bapak-bapak tersebut sangat mirip dengan Bima Ardelio. Ibaratnya, bapak-bapak tersebut merupakan versi tua dari Bima Ardelio. “Kamu, ... yang namanya Shanum?” ucap si bapak-bapak. Pak Ardhan namanya, dan ia memang papa dari Bima Ardelio. Pak Ardhan melirik sang putra yang sampai detik ini masih merangkul erat punggung Shanum. Selain itu, Bima Ardelio juga terus menunduk, menghindari tatapannya. “Pantes ... pantes anak saya mencintai kamu se—seugal-ugalan ini!” ucap pak Ardhan yang kemudian menghela napas berat. “Yang dimaksud bapak-bapak itu, Shanum yang dibawa kabur Hafiz, kali, ya?” pikir Shanum. Karena sepertinya, nama mereka memang sama-sama Shanum. Kemudian, lirikan Shanum tertuju ke rangkulan tangan kanan Bima Ardelio. “Dia merangkulku sangat erat!” batin Shanum lagi jadi menerka-nerka. Kenapa Bima Ardelio seolah sangat takut kehilangannya? “Shanum ... jangan pernah lari apalagi menolak Bima lagi. Bima ini anak saya. Dia pria berpendidikan, dia pria mapan bahkan sukses dan sudah memiliki perusahaan. Dia bukan preman. Geber-geber motor dan memodif motor, hanya hiburan buat iseng-iseng. Sampai kapan pun, kamu tetap nomor satu buat putra saya. Perkenalkan juga, saya papanya Bima. Nama saya, Ardhan. Panggil saja saya pak Ardhan, tetapi untukmu, kamu harus terbiasa memanggil saya papa. Seperti Bima ketika memanggil saya.” Pak Ardhan masih dengan emosi yang stabil. Ia bertutur penuh ketenangan dan membuat orang-orang di sana tersentuh. Terlebih dari apa yang pak Ardhan katakan, kesannya Bima Ardelio telah mencintai Shanum secara ugal-ugalan. “Ini mau ijab kabul di sini? Namun sebenarnya, di kediaman kami juga sudah ada pesta untuk pernikahan kalian. Kamu juga tahu tentang itu, kan, Num?” Pak Ardhan kembali berbicara. “Mas, kamu enggak mau ngomong?” Shanum berbisik-bisik kepada Bima Ardelio dan sebelumnya membuatnya mengangguk-angguk paksa membalas pak Ardhan. Tangan kiri Bima Ardelio sampai menahan punggung kepala Shanum dan membuatnya mengangguk. Tanpa sedikit pun melirik Shanum, Bima Ardelio yang jadi terlihat kurang semangat, berkata, “Semua yang harus aku katakan, sudah diborong sama Papa. Papa sudah mewakili.” Selanjutnya, yang terjadi tentu kehebohan. Nama Shanum yang sempat tercoreng, seketika langsung harum. Semuanya dibuat silau karena fakta Shanum akan dinikahi oleh pria kaya raya yang untuk bepergian saja menggunakan helikopter. “Ini sih rezeki nomplok! Makasih banyak loh Mbak, sudah nikung aku! Makasih banyak Mas karena kita enggak jadi nikah. Aku benar-benar bersyukur!” Shanum menatap puas kebersamaan pengantin baru di sana. Pengantin baru yang sebelumnya telah dengan sadar mengkhianatinya. Bima Ardelio mendengar apa yang Shanum katakan kepada pengantin baru di hadapan mereka. Karena memang, sampai detik ini ia masih berdiri sambil merangkul kuat punggung Shanum. Hanya saja, Bima tak menganggap penting apa yang baru saja Shanum katakan. “Lain kali ya Mas. Ini beneran lain kali. Tolong, jangan cuma pakai singlet, berasa lagi lihat orang vrindavan yang suka pamer otot!” ucap Shanum sengaja menyindir pria yang akan menikahinya. “Tanpa harus pamer otot, orang-orang tahu, bahwa aku memang berotot!” protes Bima Ardelio dan dibalas wajah masam oleh Shanum. Shanum memalingkan wajah dan terlihat kurang nyaman melihatnya hanya memakai singlet. Baik Shanum apalagi Bima Ardelio dipersilakan duduk di tempat duduk tamu yang diubah menjadi tempat keduanya menjalani ijab kabul. Semua persiapan termasuk memanggil penghulu, dilakukan dengan cepat. Untungnya, penghulu di sana masih tetangga sendiri. Meski penghulunya sedang shalat maghrib, cukup ditunggu sebentar. Sederet seserahan mahal berdatangan diturunkan dari helikopter. Beberapa mobil yang berdatangan berisi orang-orang berpenampilan berkelas, nyatanya juga masih merupakan bagian dari keluarga Bima. Padahal, orang-orang di hajatan sempat bersiap menyabut karena mengira rombongan tersebut tamu agung dari pernikahan Ridwan dan Syifa. Acara yang jadi mirip drama itu menyita perhatian orang-orang di sana. Ridwan dan Syifa yang seharusnya menjadi raja dan ratu di sana, malah berakhir tersisih. Baik Shanum maupun Bima, tak dibiarkan berpenampilan sederhana. Keduanya diboyong masuk ke dalam mobil berbeda. Di sana, keduanya menjalani rias. Shanum sengaja meminta memakai hijab segi empat dengan gaya simpel. Kebaya pengantin warna putih sengaja dikecilkan menyesuaikan ukuran tubuh Shanum. Diam-diam Shanum berpikir, berarti Shanum yang kabur, memiliki ukuran tubuh lebih besar darinya. *** Tidak ada yang tidak pangling ketika Shanum keluar dari mobil. Penampilan Shanum sangat menawan layaknya penampilan ratu kerajaan royal. Bima Ardelio yang sudah duduk di kursi untuk ijab kabul juga pangling. Kedua mata Bima Ardelio menatap Shanum nyaris tak berkedip. Dari kaki, naik ke atas lagi, makin ke atas, dan terakhir wajah. Bibir Shanum lagi-lagi menjadi bagian yang membuat Dimas Ardelio merasa gugup bahkan sesak. Itu pula yang membuatnya menyudahi pandangannya dari calon istrinya itu. Shanum dituntun oleh seorang tukang rias, sementara di belakangnya ada sang asisten rias yang akan membenarkan ekor kebaya gaun pengantin warna putih milik Shanum. Di sana, Ridwan dan Syifa masih ada. Keduanya sungguh tersisih, dan menatap tak percaya Shanum yang jauh sangat berkelas dari mereka. “Ini saatnya aku ucapkan, penyesalan tanpa jeda untuk kalian, benar-benar sudah dimulai!” batin Shanum sambil menatap kesal Ridwan apalagi Syifa. Keduanya berdiri di antara orang tua Shanum yang juga masih merupakan orang tua Syifa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD