“Aaaaaduh ....” Shanum terduduk gemetaran.
Buket pengantin yang awalnya ia genggam, ia jatuhkan begitu saja. Sebab kedua tangannya mencengkeram kuat perutnya.
Bima Ardelio yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar, berangsur melongok ke belakang. Ia dapati, Shanum yang tak ada di belakangnya, bahkan di pintu sekalipun. Namun tadi ia mendengar suara istrinya yang mengeluh khas menahan kesakitan.
Baru melepas dasi kemudian jasnya, Bima Ardelio diusik oleh suara kesakitan Shanum. Shanum memohon tolong kepadanya. Dengan santai, Bima Ardelio menyisihkan apa yang baru saja ia lepas, ke sofa sebelum ruang keberadaan tempat tidurnya. Ia melangkah keluar sambil melepas kaitan kancing pergelangan tangan kemeja lengan panjang warna putihnya.
Satu meter daru depan pintu kamarnya, Bima Ardelio menemukan Shanum sedang kesakitan.
“Kamu sengaja menggodaku?”
Nada suara lirih, tetapi terdengar dingin dari Bima Ardelio, mengejutkan Shanum.
“Hah?” refleks Shanum sambil menengadah dan menatap sang suami. “Menggoda? Kepala Om nyangkut di monas, makanya Om enggak lihat aku ini sedang kesakitan?” lemah Shanum, tetap tidak bisa untuk tidak emosi.
“Sakit banget, Om. Napas saja kayak tertahan di d**a. Pinggangku serasa mau copot. Lebih-lebih kakiku, panas banget. Perut, punggung. Sakit semua capek banget, tapi enggak mungkin juga aku ninggalin pesta. Eh Om mikir aku menggoda Om. Hanya karena foto-foto fitnah yang mirip wajahku itu! Itu kenapa aku butuh hapeku buat buktiin semuanyaaaa!” Shanum mengakhiri ucapannya dengan berteriak, hingga membuat Bima Ardelio panik sendiri.
“Jangan teriak-teriak. Di rumah ini bukan hanya kita!” lirih Bima Ardelio sampai mendelik kepada Shanum yang juga refleks membuatnya berlutut di hadapan gadis itu.
Akan tetapi, Shanum telanjur jengkel. Hingga ia mengabaikan Bima Ardelio. Selain itu, ia juga tak mengizinkan Bima Ardelio menyentuhnya.
“Biarkan aku mengurusmu. Karena sakitmu juga jadi repotku!” ucap Bima Ardelio jauh lebih menjaga ucapannya lagi.
Shanum melirik sinis Bima Ardelio. “Jangan membantuku, aku tak mau dituduh menggoda Om. Maaf, harga diriku sangat mahal!”
Cara Shanum yang sangat jual mahal, membuat Bima Ardelio muak.
“Memangnya kamu enggak butuh pembalut dan obat pereda nyeri? Terus, ... yakin kamu enggak mau dipijat juga? Itu tadi, pinggang, perut, punggung, kaki, katanya sakit semua? Ini beneran kamu enggak butuh bantuan aku? Harga diri kamu mahal, kan?” Bima Ardelio sengaja menyindir Shanum. Yang disindir langsung ketar-ketir.
“Memang dasar Om enggak niat bantu, kan?” Lagi-lagi Shanum berteriak dan membuat Bima Ardelio buru-buru membekap mulut Shanum menggunakan tangan kanannya. “Tunggu di sini, biar aku cari pembalut sekaligus obat peredam nyeri di klinik. Kamu tahu, kan, di sebelah rumah ini ada klinik? Itu klinik mbah aku!”
“Mbah ... Mbah nenek moyang, maksudnya?” balas Shanum yang sampai detik ini, mulutnya masih dibekap.
“Memangnya wajahku wajah orang susah, ya? Bilang bahwa klinik di sebelah merupakan klinik mbahku, kamu enggak percaya?” sewot Bima Ardelio.
“Ya ampun Om. Gitu saja baper!” sinis Shanum yang perlahan merangkak dan berusaha berdiri.
Bima Ardelio yang geregetan kepada Shanum, sengaja membopongnya.
“Jangan ke kasur, Om. Jangan ... takutnya tembus karena sepertinya mens aku deras banget! Tolong antar aku ke kamar mandi saja!” sergah Shanum.
Setelah sempat heboh, Bima Ardelio sampai membantu Shanum membuka gaunnya. Padahal, Shanum sudah menolak dan meminta perias maupun orang yang terkait, untuk yang melakukannya.
“Sudah, biar aku yang lepas sendiri. Nah loh, ... Om mau mencuri kesempatan dalam kelonggaran!” ucap Shanum sambil terus tak mengizinkan Bima Ardelio tak kembali mengurus pinggangnya. Sebab ritsleting bagian gaun di sana sudah dibuka sempurna.
“Fitnah saja terus,” sewot Bima Ardelio.
Saat Bima Ardelio kembali sekitar dua puluh menit dari kepergiannya, Shanum sudah melilit tubuh bagian atasnya menggunakan handuk besar. Yang membuat Bima Ardelio khawatir bahkan takut, Shanum sedang menyaksikan darah segar yang mengalir di kedua kakinya. Di kedua kaki putih mulus itu, darah kotor dan ukurannya ada beberapa yang besar, terus mengalir.
“Num ... kamu baik-baik saja?” Suara Bima Ardelio tercekat. Apalagi ketika Shanum yang awalnya menunduk, menatapnya dengan air mata berlinang. Bibir berisi milih Shanum yang masih dihiasi lipstik merah bergetar. Tubuh sang istri yang bergetar entah karena tangis yang ditahan, atau malah karena rasa sakit yang ditahan. Hati Bima Ardelio terenyuh menyaksikan itu.
Sebagai orang yang hidup di lingkungan medis, Bima Ardelio paham. Pendarahan mens yang berlebihan rasanya sangat sakit.
“Enggak apa-apa, ... enggak apa-apa. Enggak usah takut. Sakit banget, ya? Ini kamu pakai pembalutnya dulu. Bisa sendiri, enggak? Kamu belum ambil pakaian ganti, ya? Sandi kopermu berapa?” lembut Bima Ardelio.
“Si Om kok perhatian banget?” batin Shanum tersedu-sedu. Ia melepas kepergian Bima Ardelio yang begitu mengurusnya.
Bima Ardelio tak hanya membantu Shanum hingga memakai pakaian. Memasangkan pembalut pada celana dalam Shanum sebelum Shanum memakainya. Karena setelah memberi Shanum waktu untuk memakai pakaian, Bima Ardelio sampai memapahnya, termasuk mengurut kedua kaki Shanum, hingga Shanum ketiduran karena rasa sakitnya.
***
Sekitar menjelang subuh, akhirnya Shanum terbangun. Ia dapati, Bima Ardelio yang duduk di sofa. Bima Ardelio ketiduran.
“Si Om, juga sampai jagain aku? Tuh orang baik banget meski ... sekali ngomong, mulutnya tajam banget. Sah-sah saja sih, mulutnya tajam. Namun tanggung jawabnya beneran luar biasa. Jika memang kondisinya begini, salah enggak kalau aku ingin jadi satu-satunya istri sekaligus satu-satunya wanita yang dia cintai?” Dalam hatinya, Shanum yang berangsur duduk, terus merenung serius.
“Enggak apa-apa, kan, jadi pelakor buat suami sendiri? Lagian, salah si Shanum calonnya Om, ngapain juga dia kabur tepat di hari pernikahan.”
“Serius loh, sepanjang mengurus aku, dia sangat sabar dan sampai paham pasang pembalut, terus setiap sentuh aku, dia juga minta maaf. Dia sweet banget. Dia suami idaman banget. Tanggung jawabnya luar biasa banget!” Sampai detik ini, Shanum masih merenung serius, dan memang hanya berbicara dalam hati.
Shanum yang menunduk tidak tahu bahwa Bima Ardelio sudah terbangun bahkan duduk di sebelahnya. Shanum refleks histeris karena takut.
“Siapa yang suruh kamu melamun?” sergah Bima Ardelio.
“Om ....” Sempat menatap sebal Bima Ardelio, fokus tatapan Shanum tertuju ke noda darah di bekas tidurnya. Bisa dipastikan itu darah mens-nya.
“Kamu sudah pernah periksa ke dokter spesialis?” lembut Bima Ardelio dengan suara berat. Ia mengawasi bekas darah bulanan sang istri dan memang terbilang banjir. Padahal, ia sudah memberikan pembalut malam yang normalnya tidak membuat bocor ketika memakainya.
“Sudah, enggak apa-apa nanti biar dicuci. Sekarang jawab aku, ... kamu sudah pernah ke dokter kandungan? Walau aku bukan dokter, keluargaku masih berkecimpung di dunia medis. Paman dan bibiku dokter. Adikku pun calon dokter. Jadi aku paham, bahwa mens kamu itu abnormal.”
“Sebenarnya, aku sudah pernah periksa. Saat di Bandung ditemani bosku. Katanya, baru akan sembuh kalau sudah menikah apalagi kalau sudah punya anak,” ucap Shanum sambil menunduk dalam.
Obrolan kali ini terasa dalam. Apalagi selain berbicara dengan nada suara lirih, bahasa yang Bima Ardelio lakukan memang penuh pengertian.
“Coba besok aku minta perawat di klinik buat atur jadwal janjian dengan spesialis kandungan terdekat. Ngeri aku lihat kamu mens tapi mirip pendarahan,” ucap Bima Ardelio yang kemudian kembali ke sofa. Ia membanting tubuhnya di sana dalam posisi tengkurab.
“Ya Gusti ... ternyata si Om paket komplit. Namun jika Om sekomplit ini, kenapa calon istrinya sampai minggat, ya? Diculik orang apa bagaimana?” Setelah sempat bingung pada alasan Shanum calon istri Bima yang memilih kabur di hari pernikahan. Shanum mendadak ingat nasib ponselnya.
“Oh ... itu ... nanti coba aku cek hape. Tolong ambilkan hapeku biar aku cek. Hapeku ada di ... eh ini.” Bima Ardelio lupa bahwa ponselnya ada di saku kantong kanan celana panjang warna putihnya.
Karena fokus menjaga Shanum, ia sampai lupa untuk membersihkan diri bahkan sekadar ganti pakaian. Kini, ia masih memakai kemeja lengan panjang dan juga celana panjang warna putih.
“Sudah ... nanti saja, Om. Om tidur dulu. Om pasti capek banget. Aku sumpahi yang nyolong tuh hape, sial tanpa jeda!” sergah Shanum yang masih merasa tak habis pikir pada pencuri ponselnya.