10. Kamu dan Secangkir Kopi

1657 Words
Kamu ibarat secangkir kopi dalam hidupku perpaduan sempurna antara rasa pahit, manis, dan candu. __________________&&&__________________ Hasna duduk seraya memperhatikan Galih yang tengah membereskan meja kerjanya. "Pantesan pasien Abang banyak!" Celetuk Hasna memecah kesunyian ruangan serba putih beraroma obat-obatan tersebut. Galih mengangkat wajahnya lalu menatap Hasna penuh tanya. "Maksud kamu?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Galih seraya mempersiapkan telinga untuk mendengarkan perkataan absurd Hasna seperti biasanya. "Orang sehat pun klo lihat muka dingin plus mulut judes kek Abang pasti otomatis terserang penyakit jantung. Klo Nana sih udah kebal sama yang beginian!" jawab Hasna dengan santainya yang berhasil membangkitkan emosi Galih. Tebakan Galih tepat sasaran. Gadis itu memang selalu berhasil mengacaukan harinya. Tapi alih-alih ingin membalas ucapan Hasna pria itu justru beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan menuju wastafel, mencuci kedua tangannya hingga bersih lalu mengeringkannya dengan tisu. Namun, saat Galih hendak kembali ke tempat duduknya ia melihat bibir Hasna seperti berkomit-kamit membaca sesuatu. "Kamu lagi baca apaan?" Tanya Galih dengan sepasang alisnya yang saling bertautan. "Lagi baca ta'awud biar setannya pergi!" Balas Hasna enteng. Galih menggelengkan kepala lantas menjawab, "Mana ada setan di sini Nana!" "Nih ya Bang klo ada laki-laki dan perempuan berada dalam satu tempat yang sama orang ketiganya adalah setan. Nah Nana takut Abang tergoda setan!" Jujur Hasna dengan polosnya. "Kan kita suami-istri Nana. Jadi nggak dosa dong! Justru klo kita berdua saja lalu bermesraan kita dapat pahala!" Terang Galih yang seketika berhasil mengundang tawa keras Hasna. "Kok malah ketawa?" Kesal Galih sembari mendekati Hasna dengan rasa penasaran. Apa lagi yang akan ke luar dari bibir gadis aneh di hadapannya? "Akhirnya Nana berhasil membuat Abang mengakui Nana sebagai istri sah Abang saat kita hanya berdua." Jawab Hasna di sela-sela tawanya. "Lagian mana mungkin Abang ngajak Nana bermesraan, minat aja kagak! Ingat Bang mungkin di mata Abang Nana tidak pernah menarik tapi di mata pria lain belum tentu seperti itu." Sambung Hasna seraya berdiri lalu meraih tas yang tadi ia letakkan di atas meja kerja Galih. "Nana lapar, pengen makan!" Ucapnya lagi lalu berjalan menuju pintu. Galih mendesah pasrah lalu meraih tas miliknya dan menyusul langkah Hasna untuk ke luar dari ruangan praktiknya. "Dita saya pulang dulu, nanti kamu kunci pintunya ya!" Ujar Galih bertepatan Dita datang. "Baik Dok." Jawab Dita ramah seraya menyapa Hasna dengan senyuman. Hasna pun membalas sapaan asisten pribadi suaminya dengan tak kalah ramah. Pasalnya ini bukan pertemuan pertama mereka. Hasna dan Dita sudah pernah beberapa kali bertemu dan mengobrol sebelum Hasna dan Galih menikah. Karena usia mereka yang sepantaran membuat keduanya mudah akrab, apalagi Dita juga sangat menghormati Hasna sebagai istri Galih. Bagi Hasna gadis itu memiliki kepribadian yang menyenangkan. Galih dan Hasna berjalan beriringan menuju parkiran mobil khusus para dokter. Sepanjang koridor rumah sakit mereka menerima sapaan dari semua pegawai rumah sakit yang kebetulan berpapasan. Hasna pun turut mengumbar senyuman pada semua yang menyapa sang suami. "Kamu nggak perlu beramah tamah sama pegawai laki-laki yang kita temui." Bisik Galih di telinga Hasna yang seketika membuat tubuh Hasna menegang. Karena terlalu dekatnya jarak di antara mereka membuat hembusan napas Galih terasa menyapu sebagian wajah Hasna. Degup jantung Hasna pun seketika berlonjatan setiap kali terjadi kontak fisik di antara mereka. Hasna bisa merasakan ujung bibir Galih yang hampir saja menyentuh pipinya. "Nana bukan Abang yang kek beruang kutub, pelit senyuman!" Protes Hasna seraya membalas tatapan tajam Galih, mengabaikan wajahnya yang terasa memanas, ia tak peduli lagi pipinya yang saat ini tengah bersemu merah karena ulah pria itu. "Sedekah paling mudah itu adalah senyuman. Jadi, Nana ingin banyak memberikan sedekah itu pada orang yang layak menerimanya." Sambung Hasna setelah menjeda kalimat sebelumnya. "Cepat masuk!" Perintah Galih setelah membuka pintu mobil, lalu mendorong pelan tubuh Hasna agar segera masuk. Logikanya masih waras untuk tidak berdebat di parkiran rumah sakit. Reputasinya bisa hancur jika sampai ada seseorang yang melihat atau mendengar perdebatan mereka yang seharusnya tidak terjadi pada pengantin baru. Setelah memastikan Hasna duduk dengan nyaman di kursi penumpang Galih segera berjalan memutari mobil dan duduk di kursi kemudi. "Abang, Nana itu heran sama Abang. Di mata Abang apa yang Nana lakukan selalu salah. Sekali saja Abang hargai Nana sebagai istri bukan teman berdebat dan bertengkar." Jujur Hasna dengan netra berkabut, antara rasa marah dan kecewa seolah bergelung menjadi satu di hatinya hingga ia sudah tak mampu lagi membendungnya. Hasna hanya ingin dihargai dan dihormati layaknya seorang istri bukan selalu dipandang sebelah mata. "Ok, klo Abang masih merasa Nana sebagai pengganggu dalam hidup Abang. Saat ini juga kita ke rumah Papa dan Mama. Kita bicara jujur kepada mereka jika kita tidak saling mencintai dan tidak akan pernah saling jatuh cinta. Jadi, kita pisah sa... " Belum sempat Hasna menyelesaikan kalimatnya tangan Galih meraih belakang kepala Hasna lalu membekap bibir Hasna dengan bibirnya. Menenggelamkan kata-kata yang hendak Hasna lontarkan. Galih yang niat awalnya hanya ingin menghentikan ocehan Hasna dengan kecupan mendadak menginginkan lebih. Menyadari Hasna yang hanya terdiam tanpa perlawanan membuat Galih perlahan melumat bibir Hasna yang terasa begitu manis. Namun tak lama saat kesadaran Hasna kembali normal gadis itu dengan sekuat tenaga mendorong tubuh Galih, melepaskan tautan bibir mereka. "Abang apaan sih, Abang nyuri ciuman pertama Nana yang udah Nana jaga dengan baik hanya untuk pria yang mencintai Nana kelak!" Protes Hasna dengan wajahnya yang memerah. Bukan merona tapi Hasna benar-benar marah. Hasna mengusap kasar bekas ciuman bibir Galih dengan punggung tangannya. "Bisa diem nggak?" Bentak Galih yang seketika sukses membungkam bibir Hasna. "Kita bicara di apartemen!" Sambung Galih lalu segera menyalakan mesin mobilnya. Meninggalkan parkiran rumah sakit dengan perasaan tak menentu. Sepanjang perjalanan tak ada satupun dari mereka yang ingin memulai pembicaraan. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada setitik penyesalan yang merayapi hati Galih karena kembali memperlakukan Hasna dengan kasar, mengabaikan pesan Abiyyu papanya untuk selalu bersikap lemah lembut dalam memperlakukan seorang istri. Sedangkan Hasna lebih memilih memandang ke luar kaca, memperhatikan lalu lalang jalan raya. Hasna mengerti Galih memiliki hak atas hati dan raganya tapi bukan seperti tadi. Menciumnya dengan kasar tanpa permisi. Pikiran Hasna kembali mengembara ke masa lalu. Dulu Rama selalu bersikap lemah lembut dan manis padanya tetapi pada akhirnya membuangnya begitu saja seperti sampah. Dan selanjutnya Hasna harus selalu berpura-pura bahagia dan tersenyum pada semua orang dalam keterpurukan setelah kegagalan pernikahannya dengan Rama. Pria yang hingga saat ini masih menduduki tahta hatinya meskipun rasa sakit yang ditinggalkan pria itu masih terus membekas. Impian memiliki suami yang mencintainya dengan tulus sepertinya hanya akan menjadi dongeng belaka dalam hidupnya. Kenyataan memiliki suami yang tak pernah menganggapnya ada membuat Hasna yakin jika dirinya memang tak layak untuk dicintai. "Apa Engkau begitu mencintai hamba ya Allah hingga Engkau tak mengizinkan satu pun pria yang mencintai hamba dengan tulus?" Gaung Hasna dalam hati seraya menahan laju air mata yang telah menggenang di pelupuk matanya. "Astaghfirullahalazim." Hasna mengucap istighfar berulang kali saat tersadar jika ia telah berprasangka buruk kepada Allah. Meragukan ketetapan Sang Pemilik Hati. Lalu Hasna menghela napas panjang, menahan di dad@ sejenak, membiarkan oksigen memenuhi rongga paru-parunya untuk melapangkan d@da yang terasa begitu sesak. Mempertahankan kewarasannya untuk tetap bisa menjalani hidup dengan penuh suka cita. Untuk menghibur diri, Hasna mengeluarkan ponsel pintar miliknya dari dalam tas. Lalu, berselancar ke dunia maya hingga mobil yang mereka tumpangi berhenti di area parkir gedung apartemen. Tanpa menunggu mesin mobil mati Hasna bergegas turun meninggalkan Galih. Perasaannya sedang kacau, untuk sementara waktu ia ingin sendiri. Mengintropeksi diri atas dosa yang telah ia lakukan hingga merasakan sakitnya dua kali kegagalan dalam bercinta. Gagal menikah dan kegagalan berumah tangga yang sudah membayang di depan mata. Hanya tinggal menunggu waktu saja eksekusi perpisahan itu akan terjadi. "Nana!" Panggil Galih saat mereka sudah berada dalam unit apartemen. Nana yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya menghentikan langkah kakinya sejenak lalu menoleh, menatap Galih dengan ekspresi datar. Ekspresi yang untuk pertama kali Galih terima dari Hasna. "Aku minta maaf, aku janji tidak akan menyentuhmu tanpa seizin darimu." Aku Galih yang hanya ditanggapi dengan seulas senyuman sinis dari Hasna. "Nana, aku belum selesai bicara!" Kesal Galih karena Hasna justru memegang kenop pintu lalu menekannya hingga pintu kamar terbuka. "Nanti Bang kita bicara lagi, Nana mau ganti baju dan sholat dzuhur dulu!" Jawab Hasna tanpa sedikit pun ingin menatap pria menjengkelkan itu. Ia tutup pintu kamarnya rapat-rapat, membiarkan Galih yang masih mematung di tempat. Setengah jam berlalu Hasna tak juga kunjung ke luar dari kamar. Galih yang masih menahan gengsinya untuk mengetuk pintu akhirnya menyerah juga. Ia melangkahkan kaki menuju kamar miliknya yang saat ini ditempati oleh Hasna. Untuk beberapa menit ia hanya terdiam seraya menatap pintu di hadapannya. Galih akui kecerewetan gadis yang saat ini berada di dalam kamarnya memang selalu berhasil memancing emosinya tapi saat melihatnya diam dan tak acuh justru membuat Galih bingung. Baru saja tangan kanan Galih terangkat hendak mengetuk pintu. Namun secara bersamaan pintu tersebut tiba-tiba terbuka lebar dan Hasna berdiri di sana dengan pakaian rumahan favoritnya, terusan berbahan kaos dengan panjang selutut. "Ngapain Abang di sini?" Tanya Hasna dengan ekspresi bingung. Galih berdeham sekali untuk mengusir rasa canggung yang tiba-tiba saja membekukan tubuhnya. Melihat Galih masih terdiam Hasna memilih berjalan melewati Galih dengan santai. "Aku lapar Na. Pengen makan masakan kamu!" Jawab Galih seraya mengekori langkah Hasna yang mengarah ke dapur. Hanya itu alasan paling tepat saat ini yang ada di benaknya. "Nana juga lapar. Makanya ini Nana mau masak!" Jawab Hasna yang kini tengah berdiri di depan pintu kulkas yang terbuka. "Ok aku bantuin ya?" Bujuk Galih yang saat ini berdiri tepat di belakang tubuh Hasna. Membuat tubuh Hasna seketika menegang. "Abang duduk aja biar Nana yang masak." Hasna membalik tubuhnya. Namun tanpa sengaja gerakan tubuh Hasna justru membuat ujung hidung mereka saling bersentuhan. "Abang nih kesambet jin di mana sih? Dari tadi nyuri-nyuri kesempatan aja." Gerutu Hasna dengan kedua tangan mendorong d@da Galih agar menjauh. Lalu Hasna segera berpindah posisi. Berdekatan dengan dokter tampan itu berefek tidak baik pada kesehatan Hasna terutama kerja jantungnya. Senyuman terkembang di sudut bibir Galih. "Kamu ini lucu. Na Nana." Gumamnya dalam hati sembari mengikuti perintah Hasna untuk duduk di kursi pantry.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD