Izinkan aku menyelami lukamu sedalam aku mampu agar aku tahu cara memenangkan hatimu lantas memastikan jika seluruh sisa hatimu telah mengabdi pada rasaku
_____________&&&______________
Hanya deru mesin mobil yang kini menemani sepasang pengantin baru yang tengah dilanda problematika. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing. Memikirkan nasib pernikahan mereka yang sedang berada di ujung tanduk, bahkan dalam babak baru kehidupan mereka yang baru saja dimulai. Miris memang, karena usia pernikahan mereka yang masih belum genap dua hari tapi kata perpisahan sudah jelas mengiringi langkah mereka.
Dengan earphones terpasang nyaman di kedua telinganya Hasna tampak bersantai dan tenang meskipun tak bisa dipungkiri hati gadis itu telah hancur berkeping-keping. Harapan untuk menyerahkan seluruh sisa hati dan hidupnya pada sang suami hanya akan menjadi fatamorgana. Sejak semalam pun ia sudah memutuskan tidak akan membuka hati untuk pria dingin di sisinya. Hasna tidak ingin kembali merasakan patah hati untuk kedua kalinya.
Sedangkan Galih yang sedari tadi seolah fokus menyetir nyatanya merasa terganggu dengan kebisuan gadis itu. Sesekali ia melirik ke samping. Memastikan gadis itu dalam keadaan baik-baik saja. Kekhawatiran Galih sepertinya percuma karena Hasna terlihat biasa saja seolah tak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka, gadis itu mengulas senyuman, memamerkan kedua lesung di kedua pipinya saat Galih tertangkap basah mencuri pandang padanya.
Galih menghela napas panjang lalu menghembuskan dengan kasar. Nasihat dari papanya masih juga terngiang di benaknya. Semua seolah terekam kuat yang memaksa dirinya harus mengakui jika sikapnya pada Hasna memang keterlaluan. Biar bagaimanapun Hasna telah menjadi istri sahnya. Sah di mata agama maupun hukum gadis itu sekarang adalah tanggung jawab dirinya. Lalu, apa kabar dengan keadaan hatinya yang juga hancur lebur dengan perjodohan ini?. Galih belum siap untuk jatuh cinta kembali. Ia sangsi bisa membuka hati untuk gadis yang baru dinikahinya itu.
Tak lama mobil yang mereka tumpangi mulai memasuki kawasan apartemen mewah. Pandangan Hasna menengadah, menatap gedung bertingkat yang menjulang tinggi hingga mobil itu berhenti tepat di depan lobby apartemen.
"Kita sudah sampai," ucap Galih seraya melepaskan seat belt dari tubuhnya. Hasna segera turun dari mobil tanpa sedikitpun berminat menatap Galih. Lalu ia kembali membuka pintu penumpang mobil untuk mengambil koper dan ransel miliknya.
Hasna tampak memindai ke penjuru lobby saat Galih berbincang pada salah salah satu pegawai apartemen.
"Ayo!" Ajak Galih lalu mengambil alih koper dari tangan Hasna seraya tersenyum tipis. Seketika Hasna terkesiap dengan tubuh membeku karena untuk pertama kalinya Galih tersenyum tulus padanya.
"Mau sampai kapan kamu berdiri di sana?" Ucap Galih yang sudah berada di dalam lift dengan pintu terbuka.
"Eh maaf!" Hasna segera tersadar, lalu berlari kecil dan mengambil posisi berdiri sedikit menjauh dari Galih. Hasna memang memutuskan untuk menjaga mulutnya agar tak banyak bicara, ia tidak ingin memancing sikap kasar Galih. Bukan karena takut melainkan Hasna hanya ingin menjaga hatinya agar tidak terpengaruh dan terluka lagi karena hujaman kata-kata kasar yang selalu dilontarkan oleh pria itu.
Tak lama mereka sampai di depan pintu unit apartemen. Hasna yang sedari tadi hanya mengekor di belakang pria itu seketika terpana saat pintu terbuka. Sontak langkahnya terhenti saat sorot lampu memamerkan kemewahan di dalamnya. Unit apartemen dengan ukuran sedang itu sudah jelas mampu melabeli jika pemiliknya bukanlah orang sembarangan. Ruangan serba putih dengan sedikit furniture bernuansa silver itu terkesan elegan. Kata rapi dan bersih sudah jelas menjadi predikat utama yang menandakan jika sang pemilik unit apartemen adalah orang yang sangat mementingkan kerapian dan kebersihan.
"Sebaiknya kamu membersihkan diri dulu. Aku akan memesan makanan untuk kita berdua!" Ucap Galih seraya menuju kamarnya.
"Nana bisa masak sendiri!" Jawab Hasna singkat. Galih menghentikan langkah kakinya lalu kembali menghadap Hasna dengan ekspresi datar.
"Setelah kita mandi baru kita berbelanja kebutuhan rumah tangga, apartemen baru aku beli beberapa bulan lalu dan jarang aku singgahi jadi tidak ada bahan apapun yang bisa kamu olah menjadi masakan," sambung Galih lalu kembali menuju kamarnya tapi belum sempat tangan Galih menekan kenop pintu ucapan Hasna kembali menahannya.
"Itu kan kamar Abang," ujar Hasna. Gadis itu dengan langkah cepat mendekati Galih dan berniat meraih koper miliknya. Tapi pria itu mana peduli. Galih tetap masuk dengan menarik koper tanpa menghiraukan Hasna yang menggerutu tak jelas sembari mengikuti langkahnya memasuki kamar.
"Apartemen ini hanya memiliki satu kamar utama. Dan besok pagi aku baru berencana merapikan ruang kerjaku!" Terang Galih lagi.
"Nana tidur di sofa aja nggak papa." Hasna meraih koper miliknya yang telah Galih letakkan di sisi ranjang. Ia sadar diri jika Galih tak ingin berdekatan dengannya. Semalam saja pria itu menyuruhnya tidur di sofa. Jadi sembari menunggu ruang kerja Galih rapi ia bisa tidur di sofa terlebih dahulu. Ruang kerja itulah yang nantinya akan menjadi kamar Hasna selama berstatus sebagai istri dokter tampan itu.
"Tidak, kita sepasang suami-istri jadi selayaknya kita memang tidur dalam satu kamar." Tanpa menghiraukan keterkejutan Hasna Galih berjalan menuju pada tirai besar. Sreeek... Gorden berwarna silver dengan motif garis itu bergeser ke sudut jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan indah kota Jakarta di sore hari.
Hasna masih bergeming di tempat. Mencoba mencerna ucapan Galih yang baru saja didengarnya. "Kamu keberatan?" Sambung Galih yang sukses membuat Hasna tersadar dari keterkejutannya. Gadis itu menyusul tempat Galih berdiri seraya mengikuti arah pandangan pria itu. Kedua tangannya bertumpu pada pagar pembatas. Sekilas Hasna menatap pria tampan berkacamata di sampingnya sebelum ia turut tenggelam dalam pesona senja yang terpampang nyata di hadapan mereka.
"Suer deh! ni laki bikin gue bingung. Baru aja tadi pagi dia bersikap kasar eh ini mendadak bersikap lembut! Apa emang dia memiliki kepribadian ganda?" Gerutu Hasna dalam hati. Sejujurnya hati Hasna sedikit menghangat setelah luka yang sejak semalam pria itu torehkan dalam hatinya.
"Aku minta maaf karena sikap kasarku!" Lirih Galih tanpa mengalihkan tatapannya pada langit jingga keemasan yang mulai menggelincir di ufuk Barat. Galih sendiri bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah. Selama ini ia tidak pernah bersikap kasar pada orang lain terutama pada seorang wanita. Tapi entah mengapa setiap kali ia berperang argumen dengan Hasna emosinya seketika tersulut. Ucapan dan perilaku kasarnya pun tanpa bisa ia bendung selalu ingin melumpuhkan ego gadis itu.
"Maaf?" gumam Hasna sarkasme mengulang kata maaf yang meluncur dari bibir pria dingin di sampingnya. Alisnya terlihat menukik dalam, mencoba mempercayai kata sakral yang mustahil bisa meluncur dengan bebas dari bibir pria kasar yang sayangnya ia akui sangat tampan itu.
"Mari kita berteman!" Galih berpindah posisi, menatap wajah Hasna yang masih tersirat rasa ragu. Ia ulurkan tangan kanannya pada Hasna yang seketika membuat gadis itu berpindah posisi menjadi menatap Galih.
"Teman!" Balas Hasna seraya mengangkat tangannya, menyambut uluran tangan Galih. Bola mata cantik dengan iris hitam legam itu menatap ke dalam manik tajam Galih. Mencari ketulusan di sana.
"Jangan meragukan kepribadianku!" Protes Galih saat menerima tatapan tak percaya dari gadis berlesung pipi tersebut.
"Ok, Nana anggap deal!" Balas Hasna lalu dengan perlahan kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman lebar. Galih terpana sesaat kala senyuman manis Hasna terlihat berbeda. Tulus, tanpa paksaan ataupun godaan yang selalu gadis itu sungging kan sejak kali pertama mereka bertemu.
"Klo gitu kamu mandi gih!" Titah Galih sembari tanpa sadar mengacak puncak rambut Hasna seperti yang biasa ia lakukan pada Nadya, adiknya. Blus... Pipi Hasna bersemu merah dengan wajah terasa panas. Tak mau kalah, jantung Hasna pun ikut bereforia menyambut perlakuan manis Galih.
"Nana sadar wow! Sadar! Galih hanya menawarkan pertemanan bukan menjanjikan pernikahan yang seperti loe impikan!" Alarm hati Hasna berdering keras memperingatkan diri. Ia harus selalu sadar dan menjaga kewarasannya. Ia hidup pada dunia nyata bukan seperti cerita-cerita perjodohan yang selalu berakhir indah dalam n****+ yang telah ia baca. Kenyataan tak seindah itu. Dan hidup tak semudah membalikkan telapak tangan.
"Tentu!" Jawab Hasna singkat lalu bergegas masuk ke dalam kamar.
Galih kembali mencumbu keindahan senja yang seolah menjadi penawar dari kegundahan hatinya saat ini. Alur kehidupan cintanya terasa begitu rumit. Berulang kali putus hubungan dengan kekasihnya hanya karena segudang kesibukannya di rumah sakit. Lalu harus merasakan patah hati disaat ia menemukan cinta sejatinya. Dan kini takdir seolah masih mempermainkan dirinya dalam pernikahan semu tanpa cinta.
"Ya Allah bukannya hamba mengeluh tapi tolong tetapkan hati hamba agar tak ada keraguan lagi di hati hamba untuk menjalani suratan takdir yang telah Engkau gariskan. Belum tentu apa yang buruk di mata hamba adalah buruk di mata Engkau. Justru mungkin inilah yang terbaik untuk hamba. Maka titahkanlah benih-benih cinta di antara kami sebagai alasan kami menuju jannah-Mu." Galih menghela napas panjang. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-parunya yang mendadak terasa sesak. Ia sadar bahwa tidak ada satupun makhluk hidup yang bisa menyangsikan garis takdir yang telah Allah tuliskan. Jadi untuk apa lagi ia harus ragu hanya karena masalah cinta. Bukankah ia sadar siapa sesungguhnya pemilik cinta sejati.
Ia berjanji akan mencoba menjalin hubungan baik dengan Hasna. Akan memperlakukannya layaknya suami pada sang istri. Kecuali satu, ia tidak akan memberikan nafkah batin sebelum benih cinta hadir di antara mereka.
__________________&&&_________________
Judul Buku : Night With(out) You
Author : Farasha