Sudah terhitung dering ke tiga, ponsel canggih nan mahal itu tak henti mengeluarkan dering nyaring di ruangan hening itu.
Iris gelap si lelaki sekali lagi menatap lelah ponselnya, meski jika dilihat dari luar, tatapan itu tak ada ubahnya dengan tatapan malaikat pencabut nyawa yang sedang mengincar nyawa manusia. Tajam.
Ditaruh sedikit kasar berkas yang dia baca, kemudian tangannya beralih mengambil ponsel tersebut.
Mom
Satu kata itu yang tertulis sebagai tanda pengenal si penelpon.
Menggeser ikon berwarna hijau, lalu menempelnya pada telinga.
"ARZA MONELIO DARATA!"
Sedikit ditarik ponsel itu agak jauh dari telinganya. Matanya terpejam sesaat sebelum kembali pada semula.
"Salam, Mom," peringat Arza pada ibunya.
Iya, Arza itu tidak semuanya bersifat jelek kok, masih ada sisi baik di dirinya. Seperti sikapnya pada ibunya ini. Dia akan berlaku selembut mungkin pada wanita yang telah bertaruh nyawa untuk melahirkannya ini.
Sejenak si mama terdiam, membuat Arza harus melihat telepon masih tersambung atau tidak.
"Assalamualaikum, anak Mama ...," suara lembut itu mengalun setelahnya.
Percayalah, mood mama memang mudah berubah jika orang berbicara lembut padanya. Dan itulah cara ampuh bagi Arza jika mama sedang mengamuk.
"Waalaikumsalam," jawabnya singkat.
"Kenapa kamu baru angkat sekarang telfonnya! Dari tadi Mama telfonin, heran punya anak kenapa begini amat!"
Tapi, mungkin tidak untuk sekarang. Mamanya benar-benar berada dalam mode galak tingkat khatulistiwa.
"Kerja, Mom," jawabnya lagi.
"Halah!" Nada kesal, siap menyanggah jawaban Arza barusan "Kerja aja terus sampai kamu mampus sekalian!" Sembur mama kejam.
"Kamu itu kerja gak tau waktu, biar apa sih? Kaya? Keturunan kamu yang ke seratus juga bakal hidup enak dengan harta kamu yang sekarang! Kamu itu kok di bilangin ngeyel banget!"
Arza memijit pangkal hidungnya yang berdenyut kuat. Teriakan mamanya memang bukan main nyaringnya. Sel-sel di dalam telinga rasanya ingin putus saat menerima serangan itu.
"To the point, Mom," pinta Arza masih dengan suara lembut yang tersirat lelah di sana.
Wajah garang mama tiba-tiba berganti sendu. Bahunya merosot kala mendengar ucapan itu.
"Mama kesepian di rumah, Arza ...," lirihnya.
Arza terdiam sejenak. Ini bukan pertama kali mama mengeluh soal ini padanya. Sudah berkali-kali yang hanya dibalas dengan kata 'Nanti, Mom.' oleh dirinya.
Nasib menjadi anak tunggal di keluarga yang sangat berada, tentu membuat ucapan itu dengan sering keluar dari mulut mamanya. Apalagi di usianya yang sudah matang ini, mama semakin sering menuntut seorang menantu padanya.
"Kamu kapan mau bawa menantu buat Mama? Mama juga mau kayak temen-temen Mama, Za. Punya temen masak, temen ngobrol, belanja, temen santai. Mama mau punya menantu, Arza ...,"
Helaan nafas lelah kembali keluar dari mulut si CEO berwatak dingin itu. Siapapun yang melihat raut frustasinya saat ini pasti akan dengan senang hati mengabadikan momentnya dengan beberapa bidikan foto.
"Saya belum ada calon," ungkapnya menimbulkan decak kesal dari si mama.
"Kalau gitu, Mama yang cariin calon buat kamu. Mama pilihin sesuai kriteria kamu yang pastinya juga masuk kriteria Mama, gimana? Mau 'kan?"
Pertanyaan itu terdengar sedikit memaksa dirinya untuk menjawab iya. Mama memang pandai dalam hal menjebak lewat kata-katanya.
"Mom, come on ...."
"No! Mama gak terima bantahan apa-apa lagi. Mama udah sabar ya dengerin jawaban kamu yang itu-itu aja. Sekarang biar Mama yang bertindak. Kamu tinggal diem aja dan terima, oke?" Itu ultimatum dari ibu negara.
Denyutan di pangkal hidungnya kini menjalar cepat ke kepala, membuat pikirannya buntu seketika.
"Up to you, Mom," pasrah Arza.
Senyum mengembang di bibir mama. Puas dengan jawaban putranya itu.
"Oke. Mama tutup ya. Kamu kerja yang bener. Jangan pulang larut, malam ini. Assalamualaikum ...," ucapnya cepat dalam satu tarikan nafas
"Waalaikumsalam."
Ditaruh agak kasar ponsel tersebut pada mejanya, kemudian di hempas punggungnya yang terasa sangat pegal pada sandaran kursi yang empuk.
"Menantu lagi ...," gumamnya.
°
°
Hal apa lagi yang paling mengejutkan bagi Areta kala kakinya menginjak lantai di ruang tamu, selain ketika dia disuruh duduk, ditatap serius oleh ke dua orangtuanya, dan dengan gamblang mama berkata, "Kamu mau ya, dijodohkan?"
Otak Areta seketika buntu. Ada dengung panjang di telinganya sesaat setelah ibunya berucap seperti itu, seolah kepalanya mengistirahatkan organ lain untuk sementara si otak mencerna dengan baik ucapan ibunya.
Jodoh? Perjodohan? Dijodohkan? Siapa? Areta? Yang benar saja! Areta menolak! Titik.
Sekian detik dia berpikir, dan di perkian detiknya dia geser duduknya sedikit menjauh, tangan yang tadinya digenggam mamanya dia tarik lagi, tak lupa alisnya yang menukik tajam tanda tak terima.
"Apaan Ma? Nggak! Nggak!" Areta menggeleng ribut, juga tangannya di buat gaya menyilang di da*danya.
Dirinya masih muda, dan wajahnya terbilang cantik, memasuki sempurna malah. Lalu akan dikemanakan kecantikannya kalau ternyata dia menikah karena hasil perjodohan? Seperti dirinya tidak bisa mendapatkan lelaki saja kalau begini.
"Emangnya kenapa enggak?" Giliran si ayah yang angkat bicara.
Alis Areta makin menukik, "Kok nanya kenapa sih, Yah. Ya jelas Reta nggak mau. Zaman milenial sekarang mana ada jodoh-jodohan Yah, jangan kuno gitu deh," protesnya telak.
"Lagian, Reta masih 26 tahun. Reta bisa kok cari laki-laki yang tepat buat Reta. Dan yang pasti, laki-laki yang Reta cinta," lanjutnya seperti membuat suatu keputusan, menajamkan kata cinta pada kalimat barusan.
"Ya emang apa salahnya kalau dijodohin? 'Kan ujung-ujungnya nikah juga, tinggal bareng juga. Ntar juga cinta, juga sayang," sanggah mama tidak setuju dengan alasan Areta.
"Tetap aja nggak, Ma. Reta nggak mau dijodohin pokoknya! Emangnya Mama sama Ayah tega, liat Reta nggak bahagia? Iya? Jahat banget kalau gitu," sarkasnya keras.
Meskipun Areta mempunyai seorang adik yang lebih muda beberapa tahun di bawahnya, tetap saja Areta yang berperan sebagai anak kecil di keluarga ini. Berbeda sangat jauh, kala dirinya berada di sekitar universitas tempatnya mengajar.
"Bukan gitu, Sayang--"
"Jangan-jangan perusahaan Ayah bangkrut, trus Ayah jodohin Reta buat bikin perusahaan Ayah maju lagi? Iya, Yah?"
Plak!
Gadis itu berjengit kaget kala rasa panas menjalar di sekitar lengan atasnya. Mamanya ini memang tidak pernah main-main dengan tamparannya.
"Belum pernah Mama jejelin kulit durian ya mulut kamu? Sembarang kalau ngomong!" kesal mamanya bersiap melempar sendal rumah yang dia pakai pada Areta kalau saja sang suami tidak menahan tangannya.
Sedangkan Areta, gadis itu hanya merenggut kesal.
"Lagian, Mama sama Ayah kenapa bilangnya mendadak gini? Reta 'kan kaget," jawabnya masih memberi pembelaan untuk dirinya sendiri.
"Reta ...,"
Tidak, tidak. Itu terlewat lembut. Ayahnya yang tertawa lepas saat melihat dirinya tersandung kaki sendiri, tiba-tiba jadi lembut begini? Huh! Jangan harap Areta akan terbujuk.
"Ayah, Reta capek banget. Mau mandi, makan habis itu tidur, okay?" Potongnya cepat saat ayahnya baru saja mengambil nafas untuk melanjutkan ucapannya.
Setelahnya, Areta dengan santai melenggang pergi dari sana menuju kamarnya di lantai atas.
Tidak sopan memang, tapi mau bagaimana lagi, hanya itu jalan yang Areta pikirkan untuk bisa terlepas dari pembicaraan orangtuanya.
"Sopan banget, belajar sama kamu ya?" tanya ayah mendapat delikan tajam dari sang istri.
°
°
Baru enam jam yang lalu, mamanya mengatakan akan menjodohkannya. Ah ralat, mencarikan jodoh untuknya. Tapi saat dirinya sampai di ruang keluarga, si mama sudah merecokinya dengan kata tersebut dan mengatakan bahwa sudah mendapatkan seorang gadis untuk dijodohkan dengannya.
Dirinya curiga kalau sebenarnya mama sudah dari lama menjodohkannya.
Awalnya dirinya ingin menolak, tentu saja. Kepala sudah terasa pecah karena tumpukan dokumen kantor yang tidak main-main menumpuknya, sekalinya pulang malah di suguhi pernyataan seperti itu oleh mamanya.
Namun ingat, itu awalnya. Karena pada akhirnya dia menerima dengan senang hati perjodohan ini, membuat mama tentunya sangat senang.
"Siapa namanya?" tanya Arza dengan raut lelah yang kentara di wajahnya.
Kening mama tampak berkerut. Mengingat-ingat nama gadis__calon menantu__yang akan dijodohkan dengan anaknya. Mama bilang gadis ini anak dari sahabat lamanya, baru beberapa minggu terakhir mereka kembali bertemu, dan si mama sudah nekat menjodohkan anaknya dengan anak si sahabat.
"Aduh ... kok Mama jadi lupa gini sih!" kesalnya di sertai decakan pelan.
Arza yang melihat itu lantas menoleh pada papa yang juga ada di sana, duduk di sofa single. Arza memasang raut bertanya, disambut kedikan bahu dan gelengan acuh dari papa.
"Dia manggil dirinya itu Reta, tapi mama lupa nama lengkapnya siapa," ucap mama setelah lebih dari 15 menit berpikir.
Reta? Nama itu Arza ulang beberapa kali dalam hatinya. Bertanya, Reta yang mana? Dia mengenal beberapa orang bernama Reta di hidupnya.
"Anak keluarga Praja. Inget 'kan? Tetangga kita pas kamu masih SMP dulu," imbuh papa memberi informasi.
Sedikit banyaknya, Arza tersentak kaget mendengarnya. Jantungnya berdegup makin kencang kala tau siapa gadis yang dimaksud orangtuanya.
"Areta Zians Praja?" tanya Arza memastikan pada mama.
"Nah!" seru mama antusias.
Namun sedetik kemudian, raut wajahnya berubah bingung, "Kok kamu tau?" tanyanya pada putra tunggalnya itu.
Tak menjawab, Arza malah tersenyum penuh arti pada mama.
"Saya terima," ucapnya gamblang melupakan ekspresi mamanya yang semula blank menjadi tersenyum lebar karena dua kata itu.
"Beneran?!" Terlewat antusias dengan binar cerah di mata mama sambil kedua tangannya menggenggam kedua tangan Arza.
Arza mengangguk sekali membuat mama kembali berteriak senang, kali ini sambil memeluk putranya.
Dan di sinilah dia. Menumpukan kedua siku di pembatas balkon. Terlihat sangat tampan dengan senyum di bibirnya, rambutnya yang terlihat masih basah dan acak, tak mempedulikan dinginnya angin malam yang menusuk permukaan kulitnya yang tanpa atasan itu dari berbagai sisi.
"Hah ...." Helaan nafas panjang keluar dari mulutnya, seiring dengan bergantinya senyum itu dengan seringai tajam di bibir.
"Takdir lebih berpihak padaku," gumamnya pelan.
Menyeringai sekali lagi, bedanya dengan ekspresi yang kelewat datar kali ini. Bahkan aura dinginnya dapat mengalahkan dinginnya angin malam ini.
"Selamat datang di duniaku, lagi."
°
°