Hari sudah semakin sore, matahari bahkan sudah menampakkan bias orange nan menawan miliknya. Biasanya jika sore, Areta akan habiskan waktunya dengan latihan music bersama para muridnya, bercanda dan tertawa. Benar-benar definisi sore yang indah. Namun berbeda hari ini. Jangankan sorenya, paginya pun sudah hancur dan runyam. Wajah murungnya tak lepas sejak awal dirinya membuka mata. Yaa, sempat cerah tadi pagi sebelum pernyataan kedua orang tuanya menghacurkan segalanya.
Dan sekarang, waktunya semakn dekat. Hanya menunggu Shalat Maghrib berjamaah, lalu meja makan akan penuh oleh bebrapa orang asing yang nanti akan dia sebut sebagai keluarga.
Huaaa …! Areta benar-benar belum siap akan hal itu!
Membenamkan lagi kepalanya di bawah bantal lalu berteriak dengan suara yang teredam. Dirinya frustasi. Kenapa hal ini bisa terjadi padanya? Dan juga kenapa harus dalam kurun waktu yang secepat ini? Dia bisa gila dalam beberapa jam lagi!
Dan yang sabar mengamatinya sedari tadi hanyalah Anze yang sudah rapi dengan kain sarung dan baju koko, lengkap dengan peci berwarna hitam yang menutupi rambutnya.
Sungguh pemandangan yang Maa Syaa Allah.
Berjalan mendekat, Anze semakin dibuat geleng-geleng kepala melihat sang kakak yang bahkan belum mandi. Apakah akan menjadi berita heboh jika satu kampus tau kalau dosen muda yang cantik ini sangat malas dalam urusan mandi?
Mendudukkan diri di atas tempat tidur, tepat di samping kepala si kakak yang tengah terbenam pada bantal. Yaa, setidaknya kakaknya ini masih sadar akan kedatangannya. Terbukti dengan pergerakan Areta yang berhenti dan perlahan membuka bantal yang menutupi kepalanya.
Anze memberi senyum, lebih tepatnya kekehan mengejek akibat kondisi Areta saat ini. Dan Areta memilih kembali benamkan wajah pada kasur, mengerang kesal.
“Udah mau Maghrib, Ay. Lo nggak mau mandi gitu? Masih aja betah di sini,” ucapnya memainkan pelan rambut panjang gadis yang dia panggil dengan sebutan Ay itu.
Areta akhirnya mengangkat kepala. Menampakkan matanya yang telah mengeluarkan air mata. Beginilah Areta. Meski Nia adalah tempat tumpah semua keluh kesah dan ceritanya, tapi tetap, emosinya akan tumpah hanya pada Anze. Si adik jahil yang sangat dia butuhkan di kala dia berada dalam situasi yang seperti ini.
Dan Anze sudah lebih dari mengerti bagaimana kakaknya yang satu ini. Anze bahkan pernah menuduh ibunya kalau sebenarnya ibunya memalsukan kelahiran mereka berdua. Dia yakin kalau sebenarnya yang paling tua adalah dirinya dan Areta adalah adiknya. Yang mana pertanyaan nyeleneh itu berakhir dengan amukan mama padanya.
Menarik pelan lengan Areta untuk dia bawa duduk di sampingnya. “Gue ‘kan nggak mau, Je … kenapa Mama sama Ayah jadi nggak ngerti gini? Dulu janjinya nggak bakal ngatur gue soal hati, tapi sekarang malah gini …,” adunya pada sang adik.
Anze menghela nafas, mendekatkan diri pada sang kakak untuk kedua tangannya dapat menjangkaunya agar masuk ke dalam pelukan.
Jika dipaksa untuk jujur Anze juga tidak pernah menginginkan ini terjadi pada kakaknya. Dirinya tidak pernah setuju atas rencana kedua orang tuanya ini. Bahkan tanpa Areta tau, dirinya sudah lebih dulu menentang ini kala tak sengaja mendengar pembicaraan mama dan ayahnya.
Kakaknya adalah segalanya baginya, kalau bisa, Anze akan menukar posisi ini agar sang kakak tidak merasa terbebani seperti ini. Bukannya ingin menghakimi kedua orang tua, mereka berdua tau, keputusan orang tua adalah yang terbaik untuk anaknya, tapi tidak dengan cara yang seperti ini juga. Mereka berdua jadi tidak paham ke mana arah yang kedua orang tuanya inginkan.
“Semuanya pasti udah ada yang ngatur, Ay. Gimanapun rencana lo, kalau nyatanya ada rencana yang lebih baik daripada itu, kenapa enggak? Cuma untuk sekarang, kita belum ngerti ke mana alurnya. Kita belum bisa ambil sisi positifnya kalau belum dijalani, jadi ….” Anze mengurai pelukannya, menghapus jejak air mata yang jatuh di pipi mulus kakaknya lalu tersenyum. “Jalani aja dulu, ya? Jangan nyerah dulu, jangan berpasrah dulu, jangan seolah-olah lo nggak punya pegangan hidup,” lanjutnya seiring dengan usapan lembut pada rambut Areta.
Kalau saja orang di luaran sana melihat mereka begini, Areta akan sangat maklum jika orang-orang menganggap Anze adalah kakaknya.
Dengan hidung dan mata yang memerah, Areta paksakan sedikit senyum lalu mengangguk ringan. Setidaknya banyaknya beban yang rencananya ingin dia tanggung sendiri, kini hilang berkat kata penenang dari adiknya.
“Ya udah, sekarang lo mandi,” katanya menjeda kalimatnya untuk menoleh pada jam yang tertempel pada dinding kamar Areta. “Bentar lagi Adzan, kita Shalat berjama’ah,” ucapnya dan lagi-lagi Areta hanya mengangguk sebagai balasan sebelum turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi.
Jika biasanya Anze akan menjahili Areta ketika gadis itu ingin mandi sekalipun, maka sekarang bukan waktunya. Tak ada yang tau termasuk dirinya sendiri, tentang apa yang kakak cantiknya itu pikirkan saat ini.
***
Waktu bergulir begitu cepat, kini tiba waktunya untuk Areta bertemu dengan sang calon yang belum pernah dia liat rupanya seperti apa. Gadis itu sendiri sudah cantik dengan midi dress berwarna peach, perpaduan satin yang menjuntai begitu pas hingga pergelangan kaki, menampakkan anklet perak berbandul sayap kupu-kupu, dengan brokat yang menutupi bagian bahu hingga pinggangnya.
Gadis yang selama ini cukup dengan pakaian casual miliknya kini berubah layaknya putri kerajaan yang baru saja membuka identitas. Begitu menawan. Anze bahkan berpikir bahwa, apakah ini benar-benar Areta? Atau gadis itu menyewa orang lain untuk acara ini, agar gadis itu bisa kabur?
Hah … untung Anze hanya mengatakan itu di dalam hatinya, jika saja nyonya besar tau, sudah pasti Anze akan diusir dari rumah.
“Anak Mama …!”
Anze alihkan pandangan pada sang mama yang kini berjalan cepat menghampiri kakaknya sambil merentangkan tangan. Anze tersenyum, pemandangan hangat yang sangat sejuk di matanya.
“Kok kamu bisa cantik banget sih?” Dan pertanyaan itu menimbulkan protesan berupa rengekan dari si sulung, membuat mereka tertawa.
“Udah mau jadi istri orang loh, masa masih ngerengek gitu? Masih kayak bayi,” cibir mama membuat bibir berpoles warna peach itu mengerucut sedemikian rupa.
“Apa sih, Ma. Baru juga mau dikenalin,” protesnya.
“Ei! Jodoh siapa yang tau. Mungkin aja nanti kalian merasa langsung cocok trus mau langsung nikah dalam waktu dekat, kan kita nggak tau,” ucapnya enteng membuat Areta lagi-lagi mendengus.
Memikirkan ini saja sudah tidak cocok menurutnya, bagaimana bisa mamanya berpikir bahwa dia akan semudah itu menerima seseorang dalam hidupnya.
“Belum tentu, Ma ….” Anze mulai bersuara, dengan tatapan yang masih sibuk menarap layar ponsel. Areta yakin, pemuda jahil itu sedang berbalas pesan dengan para dedek gemes-nya.
“Mungkin aja calonnya nanti yang minder gara-gara liat Ay,” celetuknya lagi, yang dengan segera mendapat lemparan berupa boneka yang terletak di meja samping tangga, dari Areta.
Menukik alis kesal. “Bar bar banget sih lo! Tuh, Ma, gimana ada yang mau sama cewek modelan kek gini? Masa tiap harinya di timpuk peralatan ruamah tangga. Apa nggak beristri muda itu lakinya,” tuturnya.
Plak!
Tamparan yang tak terlalu kuat itu Anze dapatkan dari ayah yang baru saja menampar mulutnya. “Doa itu nggak boleh yang jelek, kamu mau Areta ngalamin yang kayak gitu?” tegurnya membuat Anze sejenak terdiam.
“Iya, Maaf, Yah,” ucapnya terlihat menyesal.
Kalau Ayah sudah menegur itu artinya kesalahan fatal, meski masih pada takarannya. Dan Anze sadar akan ucapannya. Kini dia tatap Areta yang masih berdiri di samping mama. “Maafin, Ay,”ucapnya membuat Areta tersenyum.
Inginnya tadi Areta mengejeknya karna mendapat teguran dari ayah, tapi jika pemuda ini sudah memasang tampang bersalah, dia pun jadi tidak tega melihatnya. maka beranjak dari samping mamanya, berjalan perlan menuju tempat Anze duduk. Pemuda yang berstatus ssebagai adikknya itu kini sampai tertunduk karena merasa bersalah.
“Makanya jangan asal bicara, ucapan itu doa loh, tau ‘kan?” ucap Areta mengusak halus rambut belakang Anze.
Anze mendongak, menatap si kakak yang sedang tersenyum padanya. Yaa … tak sepenuhnya Areta yang akan menjadi adiknya, ada kala sisi kakak yang sesungguhnya muncul di diri Areta. Seperti saat ini contohnya. Wanita ini, sungguh, diriya sangat menyesal berbicara seperti tadi, dia tau ucapan adalah sebuah doa dan dia malah berdoa yang tidak-tidak mengenai kakaknya. Ya Allah, Anze hanya tidak sengaja mengucapkannya, tolong jangan jadikan ucapan Anze tadi menjadi kenyataan. Itu doa yang dia rapalkan, sebelum kemudian memeluk pinggang Areta. Sama seperti Areta, pemuda yang dikenal sebagai cassanova kampus ini adalah pemuda yang cukup manja pada sang kakak.
Untuk yang satu itu, diam-diam saja, jangan sampai para gadis yang Anze kencani sampai tau perkara ini. Bisa rusak reputasi Anze sebagai playboy cool dan manly.
“Maaf Tuan besar ….” Seorang asisten rumah tangga, Bi Imah namanya, asisten rumah tangga yang sudah bekerja dengan mereka bahkan sebelum Areta lahir ke dunia.
Semuanya memberi perhatian pada bibi. “Tamunya sudah datang Tuan, ada di depan,” lanjutnya yang hanya di tanggapi anggukan kepala oleh ayah Areta sebelum mengucapkan terima kasih pada bibi.
Mama menatap penuh antusias pada Areta yang kini kembali di dera gelisah. “Ih! Kok Mama yang nggak sabar sih!” si Mama terpekik dengan nada geram dan gemas.
Dan Anze hanya mendengus mendengar ucapan si mama. “Kalau gitu Mama aja yang tunangan sama cowok itu,” celetuknya asal mendapat lemparan tatapan sinis dari sang mama.
“Kamu Mama aduin sama Ayah, habis kamu di marahin,” ucap mama menunjuk sang anak dengan nada kesal, yang hanya di sambut tatapan malas sang putra.
“Nona, Ayo ikut Bibi ke kamar dulu, Tuan nyuruh Nona buat jangan keluar dulu,” ucap Bibi kembali datang ke hadapan mereka, mengintruksi perselisihan ibu dan anak itu.
“Biar Anze aja yang bawa Ay ke kamar Bibi, ya?” ucap Anze bertanya, meminta izin pada bibi.
Dan bibi tentunya tersenyum dan mengangguk menyetujui. Memangnya apa yang jadi masalah? Toh ini adalah rumah si tuan muda.