"Ya ampun, Bang. Masa enggak percaya sama Feli sih? Demi Tuhan, Bang, bukan Feli yang nge-prank Abang." Hampir kelima kalinya Feli menegaskan, tetapi tuduhan itu masih tersirat dalam pancaran mata Ferdy.
Ferdy menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tanya-jawab serius yang memakan waktu beberapa menit dengan adik kesayangannya menimbulkan kecurigaan adik iparnya, Rustam. Rustam mendekati istri dan kakak iparnya. Ia ikut bergabung dalam obrolan mereka.
"Ada apa sih, Fer? Kelihatannya serius banget," tanya Rustam.
"Begini, Mas. Saya pikir Feli nge-prank saya, tapi dia enggak ngaku," jawab Ferdy yang sengaja memanggil adik iparnya dengan panggilan “Mas” lantaran usia Rustam terpaut sepuluh tahun lebih tua dari Ferdy.
"Lha, emang bukan Feli kok yang nge-prank Abang," sanggah Feli.
"Emang nge-prank apaan sih sampai sebegitu hebohnya?" tanya Rustam lagi.
"Prank cewek kali, Mas Rustam," celetuk Angel, salah satu sahabat Feli yang sedari tadi menjadi pendengar setia.
Ahaaa! Opini baru pun terbentuk. Ferdy langsung mengalihkan tatapan membunuhnya ke arah Angel dan Ryana. "Elo berdua ya yang nge-prank gue?"
Ryana mengerucutkan bibirnya. Sebal. "Yeh, Abang! Mana berani kita nge-prank Abang. Abang kan cowok paling jutek dan paling galak se-universe. Macan aja kalah galaknya sama Abang."
"Enggak segitunya juga kali, Yan." Ferdy memberengut.
"Coba ceritakan dari awal," saran Rustam, "enaknya sih sambil duduk."
"Oke," sahut Ferdy sambil berjalan menuju sofa.
Ferdy mengambil posisi duduk di sofa single, sedangkan Feli dan Rustam duduk di sofa panjang di seberang meja. Sementara itu, Angel dan Ryana duduk di otoman yang terletak di samping kanan dan kiri sofa panjang. Mereka semua sudah memasang telinga untuk mendengar penjelasan pengganti Baim Wong sebagai Presiden Jomblo.
Ferdy menceritakan kronologi peristiwa yang ia anggap sebagai prank dari A sampai Z dengan detail. Tidak terlewat satu adegan pun.
"Seserius itu, Bang? Sampe manggil pengacara bonafide juga?" Feli membelalak terkejut mendengar pemaparan Ferdy.
"Yep! Abang juga bingung. Itu prank atau ...." Ucapan Ferdy terjeda oleh pemikiran yang tiba-tiba melintas di benaknya. "Atau beneran, ya? Kalau beneran, kapan gue nikah?"
Rustam mengembus napas panjang lalu memberi Ferdy saran. "Begini Fer, coba deh kamu ingat-ingat dulu kejadian-kejadian yang lalu. Waktu kamu masih tinggal di Oklahoma atau waktu kamu masih kuliah di Massachusetts. Barangkali kamu ada kekhilafan atau ... ya, gitu deh."
Ferdy menempelkan jari telujuk di pelipisnya. Ia mencoba memutar ulang perjalanan hidupnya di benua merah seperti rekaman VCD player jadul. Ia kemudian menghela napas dalam-dalam sebelum berucap. "Saya tetap merasa belum menikah kok, Mas. Saya juga nggak merasa kenal sama perempuan yang bernama Bianca itu. Selama di sana pun, saya jalan lurus-lurus aja. Ya, pernah sih saya minum-minum di kelab malam bersama teman-teman saya, tapi saya selalu bisa menjaga kesadaran saya agar tidak mabuk dan blackout. Saya masih inget banget siapa cewek-cewek yang pernah mengisi hati dan tidur di ranjang saya, tapi saya tidak ingat siapa si Bianca ini."
“Sekarang masih suka ”minum" juga, Bang?" sela Angel.
Ferdy memberengut tidak suka. Ia kemudian melontarkan penyangkalannya. "Ya, nggaklah. Gue udah insyaf, Njel. Makin hari usia makin banyak. Tua. Gue sebisa mungkin kepengen jadi orang bener."
"Bang, kata tuh cewek, Abang bakalan nggak bisa ketemu anak Abang lagi. Berarti Abang punya anak dong. Abang yakin enggak pernah ena-ena sama cewek itu?" Feli semakin penasaran.
"Fel, biar kata Abang elo ini salah satu anggota BPJS alias Barisan Para Jomblo Sukses, Abang tetep berusaha menjaga iman. Bersenang-senang gaya Abang, bukan begitu caranya. Hal begituan enggak masuk dalam kamus hidup Abang. Apalagi, sampe ngacak-ngacak anak perawan orang. Dosa besar. Jangan samain Abang dengan playboy pensiun di depan Abang ini dong," tutur Ferdy sambil menunjuk Rustam dengan dagunya.
"Lha, kok jadi bawa-bawa saya sih, Fer?" Rustam spontan cemberut Ferdy mengusik masa lalunya.
"Sorry, Mas. Esmosi saya, Mas." Ferdy bangkit berdiri. Ia lelah tidak menemukan solusi. Yang ada, justru beban pikirannya bertambah dengan obrolan yang seolah menghakiminya ini. Namun, setidaknya ia tahu jika kejadian kemarin dan kedatangan pengacara tadi siang ke kantornya bukanlah sebuah lelucon yang sengaja dibuat.
"Mau ke mana lu, Bang?" tanya Feli melihat gelagat Ferdy yang hendak melarikan diri dari obrolan.
"Mau menyimpan tas gue dulu sekalian mau mencari sisa-sisa kenangan masa lalu yang mungkin sudah gue lupain.”
"Ya, udah. Jangan lama-lama.Kita makan tengah malam dulu. Tuh, Feli udah bawa banyak makanan.” Feli menunjuk tumpukan kotak makanan di atas meja makan di seberang sofa yang mereka duduki.
"Elo, Fel. Makan melulu. Ntar bulet lo. By the way, thanks for the surprise." Ferdy kemudian bergegas ke kamarnya.
***
"Pak Bos." Hendro mengguncang lengan Ferdy yang tengah tertidur berbantalkan tumpukan tangannya di atas meja kerja.
"Pak Bos." Hendro mengguncang lengan Ferdy sekali lagi.
Ferdy menggeliat. Ia merentangkan tangan yang hampir mengenai wajah Hendro hingga asisten itu meliukkan tubuh kurusnya seperti penari ular.
"Duh, Pak Bos! Sadar, Pak Bos," ucap Hendro.
Aktivitas menggeliat Ferdy terhenti. Pria itu menangkup wajah lalu menyugar rambutnya. "Ada apa sih, Ndro?"
"Pak Bos yang ganteng. Eh, ...." Hendro mengamati wajah Ferdy. Wajah sang bos tampak muram. Lingkaran hitam di mata Ferdy membuatnya tampak seperti mata hantu sundel bolong legendaris yang diperankan oleh aktris horor favorit sepanjang masa, Suzana. Tentunya, sundel bolong versi cowok. Emang ada ya? tanya Hendro dalam hati. Bodo amatlah.
Nggak jadi ganteng. Hendro meralat ucapannya dalam hati. "Muka Bapak kusut banget."
"Memang. Semalam saya tidak bisa tidur, Ndro. Kepikiran perempuan itu terus. Siapa sih dia?"
Hendro menyatukan tangan di atas perut. Raut wajahnya kini tampak gugup. "Begini, Pak Bos. Mm, perempuan yang Pak Bos maksud ada di luar."
"Apa?!!!" Ferdy auto kaget lalu menggebrak meja sekuat tenaga.
Hendro yang berdiri di depan meja kerja Ferdy hampir melompat. Jantungnya langsung berdentam hebat. Masalah besar mulai merapat, pikirnya.
"Gimana, Pak Bos?" tanya Hendro gugup.
"Gimana apanya?" Ferdy masih berusaha mengatur napas.
"Ya, itu. Perempuan itu. Dia bawa anak kecil juga," jelas Hendro setengah berbisik dan masih dalam posisi siaga, siapa tahu nanti Ferdy bakal menggebrak meja atau membanting kursi.
Mulut Ferdy membentuk huruf O. Ia mengelus d**a berusaha menenangkan diri.
"Pak Bos, dia mengancam akan lapor ke Pak Bob kalau Bapak tidak mau menerimanya," jelas Hendro lagi.
Mampus gue! "Suruh dia masuk." Ferdy mengalah. Ia tidak akan membiarkan papanya mati berdiri lantaran mendengar kabar tiba-tiba ini.
"Siap, Pak Bos."
Hendro segera keluar dari ruang kerja Ferdy dan kembali beberapa saat kemudian bersama seorang perempuan cantik dan anak perempuan berusia sekitar lima tahunan.
Ferdy tak bisa berhenti menatap wajah anak perempuan yang berambut cokelat chessnut seperti rambutnya. Pun, dengan warna mata anak itu yang semakin dekat semakin terlihat seperti warna matanya. Abu-abu hiu. Maklum, Ferdy dan Feli mewarisi kegantengan dan kecantikan yang diturunkan dari almarhumah ibunya yang berkebangsaan Belanda. So, jika penampakan Ferdy dan Feli yang sedikit berbeda dengan penduduk lokal, itu wajar saja.
Apa bener dia anak gue? batinnya.
"Daddy!" Anak itu berlari ke arah Ferdy. Ia memeluk paha Ferdy yang terbalut kain katun berwarna abu-abu.
Ferdy mengangkat tangan seperti tanda menyerah, tapi beberapa detik kemudian ia menurunkan tangannya dan menyentuh puncak kepala anak itu dengan lembut lalu menunduk. Anak itu mengingatkannya pada Valenino, keponakannya yang kedua. Hanya berbeda jenis kelamin.
Anak perempuan berpipi tembam itu mengangkat wajahnya. Ia menatap Ferdy sambil memasang muka memelas. "Daddy kok enggak pulang-pulang sih? Ara kangen sama Daddy."
Sekali lagi shock therapy menyengat Ferdy. Ferdy tercengang mendengar pernyataan gadis kecil yang imut itu.
Gila, di hari kelahiran gue. Gue mendadak menjadi duda sekaligus menjadi daddy.