Ferdy membuka pintu unit apartemennya. Lampu di ruang tamu otomatis menyala menyambut pergerakan Ferdy dan dua calon penghuni sementara. Meskipun kesal, Ferdy tetap bersikap seperti pria sejati yang tidak membiarkan seorang perempuan bersusah payah menarik dan membopong koper sendirian. Ferdy meletakkan koper milik Bee di samping meja kopi, lalu berjalan ke area ruang makan yang didesain tanpa sekat dengan ruang tamu dan hanya dibedakan oleh warna dan jenis karpet yang menyelimuti lantainya.
"Di sini ada dua kamar. Kamar saya di sana." Ferdy menunjuk ke kamar utama yang terletak di samping ruang tamu, lalu ia menunjuk kamar lain di samping dapur yang terekspos langsung dari ruang makan. "Satu lagi di sana. Kalian bisa menggunakan kamar itu."
"Oke." Bee tidak punya pilihan, selain menerima usulan Ferdy.
"Perlu kamu ingat. Itu pun jika kamu masih ingat tentang saya." Ferdy menguji Bee dengan pernyataan selanjutnya. Kali ini, ia bicara tidak seformal tadi saat mereka berada di kantornya. "Saya tidak suka tempat tinggal saya kotor dan berantakan."
"Oh, iya?" Bee mengangkat sebelah alisnya.
"Jika hal kecil tentangku saja kamu tidak tahu, berarti kamu salah orang." Ferdy mulai serius. Beneran serius.
Bee memberengut. Perempuan itu melayangkan tatapan tajamnya pada Ferdy seolah menantang pria itu.
"Saya tahu semua tentang kamu. Kebiasaan kamu menggemeretakkan gigi saat tidur, minum kopi tanpa gula setiap pagi, merek favorit celana dalam kamu; Armani size L, dan serial Goosebumps yang jadi bacaan kamu kalau kamu lagi bete," jelas Bee, "oh, iya. Kamu juga suka bolak-balik me-restart game Among Us saat kamu terpilih jadi Impostor, saya tahu semuanya termasuk chat aneh kamu ketika nekat jadi Impostor dan dituduh oleh pemain lainnya."
Sial, dia tahu semuanya. Ferdy tercengang selama beberapa saat. Bee tahu kebiasaan buruknya ketika ia memainkan sebuah game PC dan seluler multi pemain yang sejatinya hanya untuk dimainkan oleh orang dewasa. Namun, tidak jarang anak-anak di bawah umur memainkan permainan itu. Miris. Belum menyerah, Ferdy menguji Bee lagi dan berharap perempuan itu tidak mematahkan prasangkanya kali ini. "Memangnya saya nge-chat apa?"
Bee mengembus napas pendek. Ia terlihat tenang, meskipun matanya memancarkan kilat aneh yang sulit didefinisikan.
"Gue Impostor, tapi gue takut nge-kill. Nge-kill itu kan dosa. Gimana dong?" Tawa Bee akhirnya meledak juga setelah mengulang isi percakapan Ferdy dalam permainan Among Us dengan gayanya sendiri. "Ferdy ... Ferdy. Di mana-mana yang jadi Impostor itu harus ngumpet, menyamar, dan menipu biar pemain lain terkecoh. Bukannya terang-terangan ngaku," imbuh Bee sambil menahan tawa.
Ferdy menarik kedua ujung bibirnya membentuk evil smirk. Ia kehabisan akal memancing satu saja kesalahan Bee yang bisa membuktikan bahwa dirinya memang tidak pernah terlibat hubungan apa pun dengan perempuan itu.
"Terserah kamu sajalah. Saya mau balik lagi ke kantor. Ingat! Tidak ada kotor dan berantakan." Ferdy memperingatkan dengan tegas.
Ferdy berbalik. Sebelum ia sempat melangkah, suara bening Ara menahannya di sana.
"Daddy mau kembali lagi ke kantor? Kok, Daddy enggak ngesun Ara dulu," tutur Ara dengan nada memelas.
Ferdy berbalik lagi memandang Ara. Ia yakin gadis kecil itu tidak ada hubungannya dengan kebohongan yang dilakukan ibunya. Ia dan Ara sama-sama menjadi korban, pikirnya.
"Sini." Ferdy sedikit merentangkan tangannya untuk menyambut hamburan Ara.
Wajah Ara tampak semringah. Ia berjalan cepat ke arah Ferdy lalu menghambur ke pelukan pria itu.
"Jangan nakal ya. Kalau mau makan, Ara bisa pesan ke resto di bawah. Nomer teleponnya ada di buku telepon di sana." Ferdy menunjuk buku telepon berkover hitam yang tergeletak di atas meja di samping sofa ruang tamu. Ia lalu mengecup kening Ara.
"Hati-hati di jalan ya, Daddy!" Ara melambaikan tangannya.
"Terima kasih." Ferdy berbalik lalu meninggalkan apartemennya.
***
Perut Ferdy mulai protes dengan keadaan. Sejak semalam ia belum makan apa pun. Hanya bergelas-gelas air putih yang melewati tenggorokan dan membuat kembung perutnya. Tidak ingin mengambil risiko asam lambungnya kambuh, Ferdy membelokkan laju kendaraannya ke rumah makan Padang sederhana yang biasa menjadi tempat nongkrongnya bersama Hendro saat makan siang dan makan malam. Rumah makan favorit Ferdy yang terletak sekitar dua puluh meter dari Cakrawala Nusantara. Menurut Ferdy, makanan di rumah makan tersebut rasanya endes banget, enggak ada yang ngalahin. Nomer wahid pokoknya. Makanan khas Minang yang ada di restoran bintang lima pun lewat.
Ferdy melepas jas abu-abunya dan hanya menyisakan kemeja biru langit yang membalut tubuh atletisnya. Ia menggulung lengan kemejanya hingga ke siku sebelum keluar dari mobil. Pria itu memang tidak suka berpenampilan mencolok di luar kantor. Sebenarnya, Ferdy lebih menyukai penampilan kasual. Lebih enteng.
"Halo, Bang! Tumben baru datang. Bang Hendro baru saja kembali ke kantor. Belum ada lima menit," sapa si pemilik rumah makan dengan hangat dan akrab saat Ferdy berjalan masuk.
"Saya sedang ada urusan, Uda Amir. Baru kelar nih." Ferdy mengambil posisi duduk di pojok agar dirinya tidak terlalu terekspos dari luar. Bukan gengsi, melainkan risih. Jika karyawannya tahu ia makan di sana, mereka akan segera memenuhi rumah makan tersebut dengan berbagai alasan. Ada yang makan, hanya sekadar duduk-duduk sambil minum es teh manis, atau hanya melihatnya lalu keluar lagi. Terutama kaum hawa.
"Biasa, Bang?" Amir menawarkan menu makanan yang biasa Ferdy makan setiap kali ia makan di sana.
"Iya. Jangan pake sambel ya! Perut saya lagi enggak enak."
"Siap, Bang!"
Dalam waktu kurang dari lima menit Amir kembali dengan baki berisi sepiring nasi yang sudah disiram kuah gulai nangka dan sepotong daging rendang yang disajikan terpisah di piring kecil. Pria bertubuh subur yang mengenakan kaus hitam bergambar rumah gadang itu meletakkan pesanan Ferdy di atas meja.
"Minumnya biasa, Bang?" tanya Amir.
"Iya. Pake es ya. Dari semalam panas terus," balas Ferdy sambil mengangkat dan menggoyangkan kerah kemejanya.
"Lagi musimnya kali, Bang. Kemarau telah tiba." Amir tertawa pelan.
Sembari menunggu Amir membawakan es teh manis, Ferdy menyantap makan siangnya. Wait a minute! Amir yang salah memasukkan bumbu atau memang lidahnya yang sedang menolak daging rendang. Makan siang yang seharusnya menggugah selera, justru membuat Ferdy kehilangan nafsu makan.
Ah, semua gara-gara si ratu lebah itu, gerutu Ferdy dalam hati.
Ferdy bersandar sambil bersedekap. Mulut dan hatinya sedang dalam misi menolak. Hatinya menolak memercayai Bee dan mulutnya menolak untuk makan. Padahal, perutnya sangat berharap ada sesuatu yang bisa dicerna oleh ususnya.
"Bang Ferdy!" Suara sopran yang familier di telinga Ferdy mengembalikan kesadaran Ferdy.
Pandangan Ferdy kini tertuju pada seorang perempuan yang mengenakan cardigan cokelat dan rok bermodel A-line hitam.
"Ryan, ngapain lo di sini?" tanya Ferdy.
"Ya, mau makanlah. Masa mau nyalon," cerocos Ryana.
Perempuan cantik berambut hitam sebahu itu menarik kursi di seberang meja Ferdy lalu duduk dengan santai. Ia mengamati piring makan siang Ferdy yang masih utuh.
"Kok, makannya enggak dihabisin, Bang?"
"Lagi nunggu es teh manisnya."
Selang beberapa menit, Amir datang dengan segelas es teh manis. "Ini minumnya, Bang."
"Uda, saya pesan kayak Bang Ferdy ya. Sama es teh manisnya juga," sambar Ryana.
"Oke, Mbak. Segera laksanakan." Amir berlalu dengan cepat dari hadapan mereka tanpa basa-basi lagi.
Beberapa menit kemudian Amir kembali dengan menu yang dipesan Ryana. Ryana, seperti biasanya tanpa rasa canggung dan malu-malu, ia makan dengan lahap setelah Amir menyajikan pesanannya di atas meja.
Sepertinya si dokter anak ini sedang kelaparan, duga Ferdy dalam hati.
"Kenapa ngeliatin Ryan kayak gitu sih, Bang? Nasi Abang juga kok cuma dibiarin aja? Kasihan tuh nasi. Nangis nanti." Ryana mulai salah tingkah memergoki Ferdy tengah memperhatikannya.
"Yan, kita nikah yuk!" tembak Ferdy tanpa tedeng aling-aling.
Ryana hampir menyemburkan sisa nasi yang masih ada di mulutnya. Beruntung, es teh manis menyelamatkannya dari peristiwa yang akan membuatnya malu seumur hidup. Menyemburkan nasi di depan sang idola, uh, enggak banget. Ryana lalu berdeham untuk melegakan tenggorokannya.
"Ehm. Gini, Bang. Ryan emang nge-fans banget sama Abang. Sejak SMA, setiap Ryan cari cowok, Ryan pasti nyari yang tipenya kayak Abang. Tapi kalau jatohnya dilamar dadakan seperti ini, sumpah nggak ada lucu-lucunya." Sahabat adiknya itu blak-blakan menolak.
Ferdy memaki dirinya sendiri lantaran asal bicara. Beruntung, Ryana menolak. Jika Ryana mengiyakan, bakalan kelar kisah perjalanan sang presiden “BPJS” di tangan dua perempuan yang merasa dikhianati. Kasus pertama belum selesai, ia akan menambah kasus baru. Ini sih namanya nyari mati.