Warna senja mulai memudar. Harry Bright bergegas menutup semua pintu dan ventilasi rumahnya. Sementara istrinya—Elena tengah memandikan putri ke dua mereka yang seharian tadi bermain di sungai dekat rumah. Di ruang tamu yang hanya beralas tikar rotan, duduk putri pertama mereka. Dialah Ellyora Bright yang baru saja selesai menghidupkan asbak penerangan.
Keluarga Bright tinggal di rumah panggung yang tersusun dari kayu-kayu, kecuali bagian dapur yang masih lantai tanah karena mereka memasak menggunakan tungku. Rumah mereka sederhana, tentu saja. Keluarga Bright merupakan salah satu suku Albara yang tinggalnya jauh di pedalaman pegunungan hutan Camden.
Nenek moyang Albara adalah bangsa kesatria, yang meninggalkan aturan agar keturunannya selalu hidup sederhana meski memiliki uang yang cukup untuk membeli apa pun. Semakin sederhana, maka kelak hidup seorang Albara akan semakin bahagia. Begitulah aturan yang selalu dipegang teguh oleh seluruh suku Albara, termasuk keluarga Bright.
Selesai mandi, Shira berlari kecil dari pancuran belakang rumah. Elena membuntuti di belakang putri ke duanya itu, lalu memakaikannya dress sepanjang lutut, berlengan pendek, dan berwarna coklat polos. Permukaan kainnya berserat kasar dan tidak tampak hiasan atau bordiran apa pun di sana. Bukan karena usia kainnya yang sudah terlalu lama. Bahkan sebenarnya kain coklat itu baru saja dibeli oleh Harry satu bulan lalu di pusat pasar Eden dari hasil penjualan domba. Yah, sebagai suku Albara yang masih menjunjung tinggi prinsip kesederhanaan, keluarga Bright memang tidak biasa memakai kain yang lebih mewah dari itu.
Di ruang tamu, Ellyora menyisir rambut panjang Shira yang berwarna coklat tua. Seperti milik Shira, rambut panjang Ellyora pun begitu lembut ketika disentuh. Itu karena wanita suku Albara memiliki kebiasaan merawat rambut dengan minyak zaitun. Begitu pula untuk menjaga kehalusan kulit mereka. Selain minyak zaitun, mereka juga biasa membuat ramuan dari madu, s**u domba, dan bahan alami lainnya sehingga tak heran kecantikan wanita suku Albara bagai mutiara yang tersembunyi.
Tadi sore Elena baru saja membuatkan Shira boneka baru dari kain perca. Maka setelah rambutnya selesai disisir, Shira buru-buru bangkit.untuk menuju kamar dan bermain lagi bersama boneka barunya. Saking buru-burunya, pergerakannya jadi kurang hati-hati. Gadis bertubuh mungil itu menyenggol asbak sehingga wadah berisi minyak kelapa dan sumbu yang menerangi rumah mereka pun tumpah. Ruangan menjadi gelap tanpa cahaya apa pun kecuali sedikit cahaya langit sisa-sisa senja.
Dengan sigap, Elena segera mendekat. Wanita berparas lembut itu meraba-raba tangan putrinya. "Kau tidak apa-apa, Nak?"
"Ya, Ibu. Maafkan aku," ucap Shira lirih.
"Tidak apa-apa, Sayang. Yang penting kau tidak terluka. Lain kali lebih berhati-hati, ya?" pesan Elena.
Shira mengangguk pelan. Dalam hati ia merasa bersyukur memiliki seorang Ibu yang begitu lembut.
Elena mengusap lengan Shira. Kemudian mengambil wadah yang tertelungkup di lantai dan menuju dapur untuk mengisinya lagi dengan minyak kelapa. Namun, beberapa saat kemudian ia kembali dengan wadah kosong.
Harry yang melihat hal itu lantas bertanya. "Ada masalah apa?"
"Minyak kelapa di dapur habis. Apa persediaan di gudang masih ada?"
"Sepertinya kita masih punya beberapa liter. Tunggu sebentar. Aku akan memeriksanya."
"Kalau begitu akan kutemani."
Harry menggeleng pada Elena. "Kau di sini saja menjaga anak-anak."
"Ayah?" Ellyora tiba-tiba menyahut. Sama dengan Ibunya, gadis pemilik bibir merah cherry itu juga memiliki suara yang lembut. "Ayah tidak perlu khawatir. Percayalah, aku bisa menjaga diri dan Shira."
"Kau yakin, Ell?" tanya Harry.
Ellyora mengangguk mantap.
"Baiklah. Kalau begitu tunggu kami sebentar," pesan Harry kepada kedua putrinya. Ia mengambil pedang katana, membuka pintu, kemudian menuju bangunan gudang yang terpisah di belakang rumah diikuti Elena.
Bisa memainkan pedang adalah ajaran turun-temurun suku Albara sebagai keturunan bangsa kesatria. Mereka dituntut bisa melindungi diri apabila sewaktu-waktu ada bahaya yang mengancam. Apa pun ancaman itu. Baik hewan liar, atau manusia keji seperti Yurza. Yah, walaupun ada kemungkinan sabetan pedang akan kalah cepat dibandingkan sihir yang dimiliki Yurza. Setidaknya mereka tidak mati sia-sia karena tanpa perlawanan.
Berbeda dengan kakaknya, Shira adalah gadis yang takut kegelapan. Gadis kecil itu mendekatkan kepalanya ke pundak Ellyora. Mengetahui wajah Shira berubah cemas, Ellyora mengusap kepala gadis itu dengan lembut.
Namun, Shira justru menangis. "Ell? Sepertinya aku melihat bayangan seseorang di luar pintu."
Ellyora menengok pintu rumah mereka yang sedikit terbuka. "Benarkah?"
"Aku tidak berbohong." Shira menerangkan.
Karena adiknya telah mengaku tidak berbohong, maka Ellyora harus mempercayainya. Begitulah aturan bangsa kesatria yang menghormati kejujuran. Ellyora pun mengambil pedang katana yang digantungkan di dinding kayu rumahnya. Pedang itu memiliki sisi bilah yang tajam. Cukup mampu membuat koyakan menyakitkan jika disabetkan ke tubuh lawan dengan sekali tebas.
Ellyora membuka sarung pedangnya lalu menatap wajah adiknya samar dalam kegelapan. "Shira, aku akan memeriksanya sebentar. Tunggu di sini."
Shira menggeleng. "Aku tidak mau sendirian."
"Hanya sebentar." Ellyora meyakinkan. Namun, Shira tetap menggeleng.
Ellyora mendesah. Bukan ia tega meninggalkan adiknya sendirian. Ellyora sadar kalau ia belum begitu mahir memainkan pedang. Bagaimana jika tiba-tiba ada ancaman menyerang dan ia tidak bisa melindungi adiknya? Ellyora khawatir hal itu terjadi. Tetapi karena Shira memaksa, alhasil ia ijinkan gadis itu mengekor di belakangnya.
Tangan Shira memegang erat baju di pinggang Ellyora. Tarikan kain itu menampakkan perut Ellyora yang langsing di antara dàda dan pinggulnya yang berisi. Mereka berjalan mengendap-endap. Sangat pelan. Berusaha sebisa mungkin agar pijakan mereka pada lantai kayu tidak menimbulkan suara.
"Aku tidak berani melihatnya," bisik Shira sambil mengintip ke arah pintu.
"Kalau begitu tidak usah mengintip. Tutup saja matamu," saran Ellyora lalu dengan segera Shira menutup kedua matanya.
Sangat pelan, Ellyora membuka pintu lebih lebar. Sebilah pedang sudah siap mengayun di tangannya.
Usai membuka pintu dan menelusuri situasi di depan rumahnya, mata Ellyora yang beriris coklat terang seketika melebar. Dua sosok asing terlihat sedang mengintip dari balik pohon pinus di kejauhan sana. Ukuran pohon itu tidak terlalu besar, sehingga Ellyora masih bisa melihat seperti apa bentuk dua sosok yang bersembunyi di belakang pohon pinus itu.
Meski begitu, keadaan hutan yang gelap cukup menyulitkan Ellyora melihat wajah dua sosok yang mengintipnya. Yang jelas, dari siluetnya Ellyora yakin dua sosok itu bukan binatang buas, melainkan manusia. Yang satu pakaiannya serba hitam. Sementara satunya, lebih mirip kue yang biasa Elena buat ... penuh warna.
***
Di sisi lain, Edbert dan Dexter sedang berusaha menyembunyikan tubuh mereka di balik pohon pinus.
"Hei, apa kau menggunakan sihirmu sehingga penerangan mereka padam?" tanya Edbert lirih.
"Aku? Justru kukira kau yang melakukannya!" bantah Dexter tak kalah lirih.
Edbert mendesah. "Mana mungkin."
"Jadi sekarang bagaimana? Ada dua sosok di pintu itu. Sepertinya salah satu dari mereka adalah calon pengantinmu. Sayang sekali gelap, padahal aku penasaran seperti apa wajah calon iparku."
Edbert tak menghiraukan Dexter yang kini justru sedang cekikikan. Tapi entah bagaimana, celetukan iseng Dexter berhasil memengaruhinya sehingga ia pun sedikit penasaran.
"Kenapa diam? Jangan katakan kau belum menyusun rencana?" tanya Dexter lagi. Ia menghela napas panjang sebelum berbicara dengan gaya sok tahu. "Yang kecil itu pasti adiknya. Jadi cepat, kau culik saja yang satunya!"
"Aku tahu! Sebentar lagi aku akan membawa gadis itu dengan teleportasi. Jadi lebih baik kau diam sekarang." Edbert sudah hampir tak tahan lagi ketika ocehan Dexter berulang kali memecah konsentrasinya. Padahal semua ilmu sihir itu butuh konsentrasi sebelum merapalkan mantra agar tepat sasaran.
"Cepat lakukan saja. Aku sudah tidak tahan!" Dexter semakin mendesak karena semut-semut hutan mulai merayapi kakinya.
BRAK! Dexter menghentakkan kakinya menginjak batang pohon pinus kering. "Kak! Semut ini mulai menggigit kakiku! Cepat!"
Sementara itu, dengan kewaspadaan tinggi Ellyora menggenggam gagang pedangnya. "Apa matamu masih terpejam?" tanya Ellyora kepada gadis yang menunduk kaku di belakangnya.
"Tentu. Apakah bayangan itu sudah pergi?" Shira balik tanya.
Belum sampai Ellyora menjawab, sosok itu sudah menghilang.
Dexter dan Edbert berlari menjauh dari rumah keluarga Bright ketika seekor beruang besar tiba-tiba muncul tepat setelah Dexter menginjak batang pohon pinus kering. Beruang itu lalu memilih mengejar Dexter, mungkin lantaran pakaian Dexter yang mencolok.
Seumur hidup, Dexter tidak pernah terancam. Jadi wajar jika saat ini ia sangat ketakutan dan berlari sekencang-kencangnya. Rambut merahnya yang sepanjang telinga berkibar ke mana-mana.
Beruang itu luar biasa besar. Entah karena bulunya yang panjang, lebat, dan acak-acakan atau karena dia memang besar. Yang jelas ukurannya dua kali lebih besar dari tubuh Dexter. Si beruang berlari dengan dua kaki belakangnya, sementara dua kaki depannya yang berkuku panjang mencakar-cakar udara.
Melihat nyawa Dexter terancam, tentu saja Edbert tidak tinggal diam. Ia tetap berusaha ikut mengejar agar tidak kehilangan jejak. Sampai akhirnya Edbert tak menemukan solusi lain kecuali menggunakan sihirnya.
Karena tidak memungkinkan melancarkan sihir yang langsung mengarah kepada si beruang, maka dengan cepat, disahutnya bulu si beruang. Setelah sehelai bulu berhasil didapatkan, tanpa pikir panjang Edbert langsung memantrai bulu itu dengan mantra sihir transformasi. Mulut Edbert merapalkan mantra, sedangkan tangan kanannya mengusap bulu yang lumayan panjang itu. Sebuah cahaya biru tak kasat mata pun berpendar, yang artinya sihir transformasi Edbert berhasil.
Namun, ternyata sihirnya bukan berhasil pada si beruang ... melainkan Dexter. Bagaimana bisa? Jelas-jelas Edbert sudah memantrai bulu beruang itu. Edbert kebingungan ketika melihat adiknya yang hendak ia selamatkan, justru berubah menjadi kucing, sementara si beruang masih baik-baik saja, bahkan kabur dengan santainya.
Kekacauan tak berhenti sampai di situ saja. Usai Dexter berubah menjadi kucing, sosoknya menghilang. Sepertinya terperosok ke dalam jurang dekat sungai, Edbert tak tahu.
Edbert yang kebingungan, lantas berlari menuju bebatuan yang tersorot cahaya dari langit. Diperiksanya bulu yang baru saja ia mantrai dengan berdiri di sana. Ternyata benda yang ada di tangannya bukan bulu si beruang, melainkan rambut Dexter.
"Oh, bodoh!" Keringat Edbert mulai bercucuran. Wajahnya menegang oleh air muka kekecewaan. Bukan. Itu lebih dari kekecewaan, melainkan penyesalan setelah melesatkan sihir salah sasaran.
Edbert melongok ke dasar jurang. Tapi kondisi hutan yang menggelap tentu saja menyulitkannya untuk menemukan sosok Dexter. Selain itu, ia juga telah telanjur menggunakan sihir, yang berarti ada kemungkinan identitasnya sebagai Yurza akan segera diketahui Albara hutan Camden.
***
Ellyora merasakan jantungnya berdebar kencang, kupingnya memanas, dan iris matanya menyala ungu terang. Reaksi yang alami terjadi jika suku Albara merasakan ada seseorang menggunakan sihir di sekitarnya. Mengalami reaksi itu untuk yang pertama kalinya, Ellyora jadi bertanya-tanya. Apa yang baru saja ia lihat itu Yurza?
Mendapati kakaknya yang diam saja, Shira menggoyang-goyangkan baju Ellyora. Gadis Albara seusia Shira yang masih 14 tahun belum bisa merasakan reaksi itu.
"Bagaimana?" sekali lagi Shira bertanya.
"Tidak ada apa-apa, buka saja matamu," tutur Ellyora berusaha menenangkan. Setelah itu, ia bergegas menuntun Shira masuk ke dalam rumah, menggantungkan pedang di tempatnya, dan sudah duduk di posisi semula sebelum Harry dan Elena datang.
"Jika benar, berarti kita harus segera pindah dari sini," kata Harry pada Elena. Ia masuk ke dalam rumah membawa sebotol minyak kelapa.
"Tenanglah, sayang. Bisa jadi tadi hanya perasaan kita saja," ujar Elena yang berjalan di belakang Harry. "Kita kan sudah lama tidak merasakan reaksi itu. Lagi pula usia kita sudah tidak muda lagi, kekuatan kita mengenali sihir sudah memudar."
Selalu begitu. Harry dengan sifatnya yang mudah khawatir, dan Elena yang lembut menenangkan. Kekhawatiran Harry menurun pada Shira, sementara sifat lembut dan menenangkan Elena menurun pada Ellyora. Selain sifat, kedua putri mereka juga sama-sama mewarisi paras rupawan orang tuanya.
"Jika kau ragu, coba tanyakan saja pada Ellyora," lanjut Elena sambil mengunci pintu rumah. "Usianya kan sudah 19 tahun. Kalau benar ada, pasti dia juga merasakannya."
Harry berpikir sejenak. Elena benar, anak gadis mereka sudah memenuhi usia untuk bisa merasakan apabila ada seseorang yang melancarkan sihir di sekitarnya. Tidak seperti dirinya dan Elena yang sudah memasuki usia empat puluh tahun, yang mana kemampuan mendeteksi sihir itu akan melemah.
"Ell, apakah kau merasakannya?" Pertanyaan Harry memang tidak eksplisit, tapi sudah jelas maksudnya.
Ellyora menelan ludah, merasa bingung harus menjawab apa. Ia memang merasakan reaksi itu, tapi di sisi lain ia tidak ingin membuat orang tuanya khawatir. "Ummm... tidak. Aku tidak merasakan apa-apa, Yah."
Dorongan sifat tenangnya membuat Ellyora mengatakan kalimat yang bahkan ia sendiri tercengang mendengarnya. Ia telah berbohong untuk pertama kalinya. Padahal bangsa kesatria sebagai leluhur Albara jelas-jelas melarang kebohongan. Sebab kebohongan dan kepalsuan adalah apa yang sering dilakukan oleh Yurza, kaum yang memburu keberadaan mereka.
Kemudian sekarang ia berbohong demi seorang penyihir? Sungguh, ia menyesal dan merasa konyol.
***