Keputusan Yurza

1732 Words
Beratus-ratus tahun kemudian .... Langit tak berawan terlukis pada beningnya laut Ambert yang bagaikan kaca. Melayang di atasnya adalah sebuah daratan luas yang dikenal sebagai Pulau Tannin. Itulah tempat tinggal keluarga Kinsey selaku penguasa kekuatan sihir hitam di seluruh kerajaan barat. Waktu berlalu telah membuat para penyihir mampu menciptakan pulau-pulau melayang di kerajaan barat, dan Pulau Tannin sebagai sentralnya.  Pulau melayang diciptakan demi mempersulit serangan balik dari kerajaan timur, khususnya bangsa kesatria. Maka sebelum mencapai daratan manapun di kerajaan barat, kebanyakan penyerangan hanya akan berakhir di lautan, dengan banyak tubuh menjadi santapan para monster, baik monster purba bernama Kraken yang bersemayam di kedalaman lautan atau pun monster lainnya yang merupakan hasil rekayasa sihir. Kekuatan sihir hitam telah membuat semua monster itu bertekuk lutut dan tunduk hanya di bawah titah keluarga Kinsey.  Tidak seperti hari biasanya yang cenderung santai, pagi ini aktivitas udara di sekitar Pulau Tannin tampak lebih sibuk. Para monster naga berbagai macam warna dan ukuran gencar mengepak-ngepakkan sayapnya, berusaha menambah kecepatan terbang agar Tuan mereka tidak terlambat menghadiri sebuah pesta besar Yurza yang akan dimulai hanya tinggal beberapa menit lagi. Laju para naga itu melambat dan bersiap mendarat ketika pilar-pilar besar dan tinggi, serta atap kerucut yang menjulang dilengkapi panji-panji berwarna hitam bergambarkan lingkaran matahari emas sudah terlihat di balik awan. Kemudian segera terlihat barisan manusia bersetelan hitam sedang mengantre di depan pintu gerbang. Sebelum memasuki bangunan mansion Uruthama, mereka harus melakukan perurusan ijin dengan menunjukkan gulungan kertas undangan mereka masing-masing kepada monster penjaga. Hanya perlu beberapa menit, beribu-ribu kursi yang ada di ruang altar mansion Uruthama telah sempurna dipenuhi oleh tamu undangan. Seluruhnya bersetelan hitam, dan mereka duduk mengelompok sesuai tingkatan yang berlaku di Yurza.  Ratusan kursi emas berderet di singgasana ujung ruang. Kursi-kursi itu diduduki oleh Yurza tingkat pertama. Siapa lagi jika bukan para keluarga Kinsey. Hanya mereka penyihir di kerajaan barat yang berhak menggunakan apa pun yang berbahan emas, karena mereka lah sang penguasa sihir tingkat atas. Membentuk setengah lingkaran di sekitar singgasana, adalah beribu-ribu kursi yang diduduki Yurza tingkat dua, seperti keluarga kerajaan beserta perangkatnya, orang-orang elit, peramal, teknisi sihir, para sosok terkenal, dan beberapa pesuruh. Kemampuan sihir mereka beragam. Mulai dari sangat rendah hingga sedang, tergantung kemampuan mereka dalam mempelajari mantra sihir. Berbeda dengan keluarga Kinsey yang mampu melancarkan sihir hanya dengan tangannya, Yurza tingkat dua selalu membutuhkan tongkat sihir. Kelompok Yurza terakhir adalah yang tidak berhak ikut dalam pesta-pesta semacam ini. Mereka merupakan para bud4k, serta pelayan yang tidak memiliki kemampuan sihir sama sekali. Para tamu tampak sibuk membaur, mengobrol dengan topik pembicaraan sama: nama siapa yang akan muncul menjadi calon pemimpin Yurza generasi ke sebelas. Tawa mereka memenuhi udara, saling melempar selorohan atau pun obrolan basa-basi di bawah sorotan cahaya gemerlap, tanpa perlu repot-repot memikirkan urusan pencahayaan ruang, atau alunan musik klasik yang sedang berirama. Sebab semua hal merepotkan itu telah dikerjakan dengan baik oleh para teknisi sihir dari hasil manipulasi tongkat dan kekuatan pikiran mereka. Begitulah kecanggihan sihir telekinesis, di mana seseorang mampu menggerakkan benda-benda dengan kekuatan pikirannya. Roland Kinsey, selaku pemimpin Yurza generasi ke sepuluh naik ke panggung podium di ujung ruang. Ia mengenakan jubah kebesarannya yang berwarna hitam lengkap dengan mahkota hitamnya yang tinggi. Terlihat simbol lingkaran matahari berwarna emas di bagian dàda jubah itu, serta di tengah mahkotanya. Wajah setengah abad Roland jarang tersenyum, memberi kesan bahwa ia adalah orang yang tak bisa sembarang diajak bicara. Melihat sang pemimpin sudah berdiri di sana, semua tamu undangan mendadak diam. Ribuan pasang mata itu terfokus pada sosok tinggi besar yang kemudian mulai menggemakan suara berat dan sedikit paraunya pada pengeras suara. Semua tamu undangan berharap, siapa pun keluarga Kinsey yang nantinya terpilih sebagai calon penguasa sihir hitam tertinggi di seluruh kerajaan bagian barat, ia haruslah mampu seperti Roland—yang berani menyingkirkan siapa pun penghalangnya, bahkan dengan kekuatan sihir di tangannya. Roland tidak suka banyak bicara. Begitu selesai memberi sambutan, ia langsung memanggil seorang wanita paruh baya yang mengenakan dress hitam polos serta selendang merah darah di kepalanya. Wanita itu adalah Cassandra, peramal tersohor di Yurza yang mewarisi bola kristal keramat. Sorot yang tajam ditambah pengaplikasian eyeliner  tebal membuat siapa pun tak betah menatap matanya berlama-lama. Para tamu undangan duduk seraya mencondongkan badan. Tak sabar mendengar nama yang akan dinobatkan menjadi pemimpin mereka, sang Raja Penyihir Hitam generasi ke sebelas. Cassandra mendekatkan bibir tebal merahnya ke pengeras suara. Kemudian mulai menyampaikan hasil meditasinya selama satu bulan bersama bola kristal. "Dan nama itu adalah Edbert Kinsey!" Seruan Cassandra disambut meriah oleh  para tamu undangan. Sebagian merasa senang karena menang taruhan, sebagiannya lagi kecewa karena tak setuju putra pertama Roland Kinsey yang usianya masih terbilang muda itu, yang ternyata akan meneruskan Ayahnya. Alih-alih senang, si pemilik nama justru berusaha menolak dengan hatinya. Laki-laki berusia 21 tahun itu menunduk lesu. Rambut bergaya mullet menutupi alis tebal dan iris mata birunya yang dingin menusuk. Kulit wajahnya yang putih seketika merah padam. Udara yang masuk melalui hidungnya yang mancung mendadak terasa sesak. Ia mendengar bisik-bisik dari segala penjuru.  Semuanya kini sedang menatapnya, hingga ia merasa tatapan itu seperti duri yang menusuk wajahnya. Tentu saja ia yang selama ini tidak suka sorotan ingin berdiri dan melarikan diri, tetapi ternyata ia tidak bisa bergerak sedikit pun. Pemuda bernama Edbert Kinsey yang masih tertunduk itu lantas bergumam, "Sial! Ini akan membawaku pada nasib buruk!"  *** Roland bertopang dagu. Di balai pertemuan mansionnya, ia tengah dibuat bingung lantaran Cassandra kembali menemuinya untuk menyampaikan hasil ramalan berikutnya. "Apa kau yakin?" tanya Roland. Ia duduk di kursi singgasana dan menatap tegas pada Cassandra yang bersimpuh di hadapannya. "Iya, Yang Mulia. Begitulah yang disampaikan Raja Iblis melalui bola kristal," jawab Cassandra dengan tenang. Cassandra, si peramal tersohor yang selama ini hasil ramalannya sudah terbukti akurat itu mengulang hasil meditasinya. "Sesuai yang disarankan bola kristal, Tuan Muda harus menikahi gadis suku Albara yang tinggal di dekat air terjun hutan Camden sebelum usianya menginjak 22 tahun." "Itu artinya beberapa bulan lagi," komentar Roland. "Apa tidak ada cara lain?" Cassandra yang duduk bersimpuh di lantai menunduk. "Saya menyampaikan apa adanya, Yang Mulia. Jika pernikahan itu terjadi, maka kepemimpinan Tuan Muda akan lebih kuat. Bahkan, kekuasaan Yurza bisa meluas sampai di kerajaan bagian timur." Mendengar prediksi masa depan itu, tentu saja hati Roland mengembang. Sangat menggiurkan. Tetapi memiliki menantu gadis Albara? Itu sungguh di luar harapannya. Terlebih selama ini Yurza juga memberlakukan larangan pernikahan kaumnya dengan suku Albara. Situasi ini membuat Roland berpikir keras. Sementara itu, Edbert yang sedari tadi duduk di samping Roland dan menyimak dengan tenang kini mulai gusar. Bagaimana tidak? Dalam waktu dekat ia harus menikahi gadis yang sama sekali tidak dikenalnya.  "Aku tidak mau melakukan pernikahan itu," terang si pemilik suara husky, Edbert Kinsey. Nada suara yang berat dan seksi itu sarat kekesalan, sehingga menarik Cassandra untuk melirik ke arah Edbert dari balik selendang merahnya, lalu kembali menunduk dan memilih diam. Edbert tak kuasa membuang wajah. Kesialan seakan menimpanya bertubi-tubi. Belum genap sebulan ia dikagetkan dengan namanya yang keluar di bola kristal, kini ia harus menikahi gadis Albara. Kuno, primitif, kaku. Bagi Edbert, tidak ada lagi yang spesial pada suku Albara selain darahnya.  Ingin sekali Edbert berkata bahwa dirinya sama sekali tidak berminat pada posisi calon pemimpin Yurza ini. Kenapa Raja Iblis mengeluarkan namanya di bola kristal? Ia yakin dirinya bukan orang yang tepat. Jangankan membayangkan menjadi pemimpin Yurza, memikirkan kekuasaan saja Edbert tidak berminat. Ia lebih senang rebahan saja di kamar daripada pusing-pusing menyusun rencana invasi ke kerajaan timur atau semacamnya. "Apa kau tak punya hasil ramalan lain, Cassandra?" protes Edbert. "Ada, Tuan." Menyimak, Edbert menunggu Cassandra melanjutkan penjelasannya. "Maaf," ucap Cassandra hati-hati. "Saya dengar ada beberapa pihak Yurza yang meragukan keseriusan Anda. Oleh karena itu saya juga bermeditasi untuk mendapatkan solusinya dari Raja Iblis." "Apa itu?"  "Seluruh Yurza akan mengakui keseriusan Anda kalau Tuan Muda berhasil menjemput sendiri gadis Albara itu dengan tangan Anda." Edbert mengangkat kelopak matanya, mulutnya hampir saja menganga. "Apa? Menikahi gadis Albara saja sudah terdengar omong kosong, lalu sekarang aku sendiri yang harus menjemput gadis itu? Sekali lagi, aku tidak akan melakukan ramalan bodohmu!" tegas Edbert seraya melipat kedua tangannya ke dàda lalu membuang pandang pada guci-guci kristal koleksi Roland yang menghiasi sisi ruangan. Di samping Edbert, Roland masih bergeming dengan banyak pertimbangan di kepalanya. Sejujurnya dari awal ia tidak pernah berekspektasi putra pertamanya yang akan menjadi pemimpin Yurza selanjutnya. Sejak istrinya tiada, Roland hanya membesarkan dua putranya dengan kekayaan berlimpah. Sama sekali tidak mengajarkan mereka caranya berambisi pada kekuasaan. Sekarang, setelah ramalan ini ada, ia jadi sedikit menyesal. "Dan kau tahu? Aku masih ingin menikmati masa mudaku. Aku tidak ingin buru-buru menikah!" tambah Edbert, masih dengan mata berapi-api. "Tuan Muda, maafkan atas kelancangan saya. Tapi di sini saya hanya menyampaikan sesuai petunjuk yang muncul di bola kristal." Cassandra tak bosan menginformasikan. Edbert hanya membuang wajahnya sebagai respon tidak peduli. Ruang pertemuan megah itu tak lagi nyaman untuknya. Ia ingin secepatnya kabur. Kalau bisa tidak ingin terlibat dalam pembicaraan yang hanya merugikan dirinya ini. Mendengar keluhan-keluhan putranya, Roland mulai bereaksi. Ia pun berdeham sehingga Edbert yang duduk di kursi sebelahnya melirik segan dan tersadar mungkin sebentar lagi Ayahnya akan murka. Hening merayapi, hingga tak lama kemudian Roland membuka mulutnya. "Sudahi keluhanmu, Edbert Kinsey. Jangan lupa bahwa kita adalah Yurza. Leluhur kita mengajarkan untuk selalu menghormati hasil ramalan," kata Roland pada Edbert, lalu beralih pada Cassandra. "Kau yakin dengan hasil ramalanmu, Cassandra?" "Saya Cassandra, peramal tersohor Yurza menyampaikan hasil ramalan saya dengan penuh keyakinan, Yang Mulia." "Kau tidak lupa apa yang akan terjadi padamu jika ramalan itu tidak terbukti benar?" "Saya siap dengan konsekuensinya, Yang Mulia." Roland mengangguk-angguk. Selama beberapa saat suasana kembali hening, hingga Edbert dapat mendengar sendiri tarikan napasnya yang memberat. "Kalau begitu," kata Roland, "sudah kuputuskan putra pertamaku akan melaksanakan ramalan itu." Edbert menoleh tidak percaya. "Ayah? Aku tidak ingin menikahi gadis yang tidak kucintai. Apalagi gadis itu suku Albara yang seharusnya kubencil!" "Singkirkan cinta. Ketika kau menjadi calon pemimpin Yurza, maka pernikahan hanyalah formalitas," sergah Roland. "Kau tidak membutuhkan cinta untuk melakukannya." Mendengar perkataan Ayahnya, tangan Edbert mengepal penuh kekecewaan. Hatinya berkecamuk. Ia tak lagi bisa menyembunyikan amarah di wajah tampannya. Keputusan Ayahnya seperti hantaman ombak yang keras. Sangat keras. Berbagai macam pembelaan ada di kepala Edbert, tapi tak bisa ia utarakan. Sebab, Roland tak suka jika putranya membangkang. Jika menolak, Roland bisa saja menghukumnya dengan sesuatu yang lebih buruk. Kenyataannya Tuan Muda memanglah tidak sekuat harapan Roland. Ia berbeda. Sebab di dalam relung hatinya yang jarang tersentuh, diam-diam ia masih membutuhkan cinta. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD