Pak Hansel: Amel, kau dimana? Saya sudah sampai di hotel. Dan kamu bisa langsung ke restoran yang ada di hotel ini. Dan bilang saja pada pelayan, atas nama Hansel Locanno.
Amel menatap pada pesan yang dikirim oleh bosnya. Amel tampak ragu untuk masuk ke dalam Hotel Emeres. Yang terkenal dengan kemewahan. Semua yang datang ke sini adalah kalangan parlente yang memiliki uang tidak akan pernah habis sampai ratusan tahun. Lebay memang. Tapi begitulah kenyataannya. Berbeda dengan Amel, kalau memiliki uang maka dia akan langsung menabungnya.
Itupun uang tabungannya sering diambil oleh Amel, tidak pernah bertahan lama di dalam rekeningnya.
“Nona, anda masih mau berdiam di sini? Saya mau pergi.”
Amel tersadarkan dengan pertanyaan dari supir taksi. Lalu Amel membayar biaya taksi yang hampir tiga ratus ribu! Hanya karena Amel yang berdiam di dalam taksi tidak berniat untuk keluar selama dua puluh menit. Rasanya ia mau menangis membayangkan uang itu bisa untuk ongkos pulang lagi.
Amel memberanikan diri untuk masuk ke dalam hotel dengan langkah tegasnya, mengabaikan beberapa pria yang mencoba untuk merayu dirinya dan menatap Amel dengan tatapan kurang ajar dari para pria itu,
Memang kurang ajar pria kaya raya yang ditemui oleh Amel sepanjang jalan menuju restoran di dalam hotel ini. Matanya menatap pada pelayan, lalu Amel berdiri di depan pelayan yang menunduk sopan pada Amel.
“Maaf, meja Mr. Hansel Locanno berada dimana?” tanya Amel, langsung diangguki oleh pelayan yang berjalan lebih dulu. Amel mengikuti dari belakang. Kening Amel mengerut melihat ruangan VVIP.
“Apakah tidak salah ruangan?” tanya Amel, sungguh sangat disayangkan sekali. Orang kaya memang suka membuang uang. Sedangkan Amel harus merasakan demam dan banting tulang mendapatkan uang agar dia bisa menghidupi keluarganya dan biaya berobat ayahnya.
“Tidak Nona. Silakan masuk. Mr. Locanno sudah menunggu anda di dalam,” ucap pelayan langsung pergi dari hadapan Amel. Amel mengangguk, lalu masuk ke dalam ruangan VVIP. Mata Amel bertemu dengan Hansel, pria itu selalu saja tampak sangat tampan dimanapun dia berada.
Menarik perhatian para wanita untuk menatap pada dirinya.
“Duduk Amel.” Hansel berucap dengan nada datarnya.
Amel menelan salivanya kasar, lalu duduk di depan Hansel. Semua makanan sudah tersedia di atas meja. Mubazir sekali hanya dimakan oleh dua orang. Kembali lagi, orang kaya memang suka sekali membuang uangnya untuk hal seperti ini.
“Kita makan dulu Amel, baru nanti saya akan membahas kenapa saya membawa kamu makan malam. Jangan tegang seperti itu, kita sedang di luar,” ucap Hansel tanpa tertawa. Pria itu mengambil makanan untuk dimakan olehnya. Lalu memakannya.
Amel ikut memakan makanan yang ada di depannya. Hem … makanan orang kaya memang sangat enak sekali. Amel yang biasa memakan makanan yang murah saja. Saat makan makanan ini dia seolah ingin makan terus, tapi tahu kalau dia harus jaga imagenya di depan atasannya sendiri.
“Sudah kenyang Amel?” tanya Hansel, menatap pada Amel yang mengangguk.
“Sudah Pak. Jadi, Bapak kenapa bawa saya makan malam?” tanya Amel balik, menunggu apa yang dikatakan oleh atasannya ini.
“Kamu butuh uang tiga ratus juta bukan?” tanpa mau basa basi, Hansel langsung membahas pada uang yang diinginkan oleh Amel.
Amel terkejut. “Darimana Bapak tahu?” tanyanya, ia tidak pernah mengatakan pada atasannya ini tentang uang yang dibutuhkan oleh dirinya dalam waktu dekat ini.
“Saya mendengar pembicaraan kamu di telepon. Saya bisa bantu kamu, asalkan dengan satu syarat,” ucap Hansel, menatap pada mata Amel, melihat reaksi gadis itu yang kelihatan bimbang di sana.
“Syarat? Apa syaratnya Pak?” Amel bertanya dengan rasa penasarannya, syarat apa yang akan diberikan oleh atasannya ini pada dirinya.
“Kau harus menjadi istriku. Dan aku akan membayarmu sebanyak lima ratus juta!”
Ucapan dari Hansel barusan mampu membuat jantung Amel berdetak sangat kencang sekali mendengarnya. Menikah? Dengan Hansel? Ia tidak salah mendengar bukan? Atau Amel lupa membersihkan kotoran di telinganya.
“Ma-maksudnya Pak?” Amel bertanya terbata, masih tidak yakin dengan apa yang di dengar oleh dirinya barusan tentang Hansel menawarkan sebuah pernikahan dan uang sebanyak lima ratus juta. Ini maksunya dia menjadi istri bayaran?
“Saya ingin kamu menjadi istri saya. Satu tahun saja Amel. Saya ingin menutupi skandal yang beredar tentang diri saya. Merusak nama baik keluarga saya, maka ayah saya meminta saya untuk menikah dan mencari wanita yang mampu untuk pura-pura bahagia di depan media. Bagaimana? Masih kurang jelas? Atau uangnya kurang. Saya akan bayar sebanyak enam ratus juta kalau begitu. Bisa buat usaha orang tua kamu juga.” Hansel memiringkan kepalanya.
Amel masih belum dapat mencerna semuanya. Menikah? Satu tahun? Enam ratus juta? Pura-pura bahagia?
Amel tidak pernah mau memainkan yang namanya pernikahan. Dia memang bukan hamba Tuhan yang begitu baik dan taat pada sang pencipta. Namun untuk memainkan hubungan sakral yang ditawarkan oleh atasannya sekarang, tidak pernah terpintas di pikiran Amel.
“Pak, kenapa harus saya?” tanya Amel, ada nada penolakan di dengar oleh Hansel.
Hansel meletakkan tangannya di atas meja. Mata tajamnya menatap pada mata Amel. “Kenapa harus kamu? Saya percaya sama kamu Amel. Kamu tidak akan membocorkan ini pada orang luar. Tidak akan jatuh cinta pada saya. Tidak akan—hamil. Kamu tetap menjadi istri saya bukan? Maka saya tetap mau meminta kamu melayani saya.”
Jawaban di dengar oleh Amel. Membuat tangan Amel terpilin. Tidak boleh hamil dan jatuh cinta. Tapi keduanya harus saling berbagi sentuhan satu sama lain di atas ranjang. Menyebutkan nama satu sama lain.
Apakah Amel masih tetap tidak bisa jatuh cinta?
Amel ragu akan satu hal itu.
“Kamu juga membutuhkan uang yang sangat banyak Amel. Pikirkan lagi tawaran saya, kalau kamu menerima tawaran saya. Maka kamu bisa menghubungi saya. Dan minggu depan, kamu akan saya bawa ke rumah orang tua saya.” Hansel berdiri dari tempat duduknya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang di dalam dompetnya.
“Untuk ongkos kamu pulang. Pikirkan lagi Amel, ayahmu membutuhkan uang itu secepat mungkin.” Hansel menyeringai setelahnya keluar dari dalam ruangan VVIP meninggalkan Amel sendirian dalam pikiran kalutnya.
Mata Amel menatap pada uang di depannya. Apa yang harus Amel lakukan?
Menolak atau menerima tawaran tersebut?