DY 01 - Kalau Nggak Stres Ya Gila
Episode 1
“Kalau nggak stress ya gila.”
Tiana tertawa halus. Ia meletakkan ponsel di atas meja, lalu mulai mempersiapkan bahan-bahan untuknya memasak. Ia akan membuat masakan paling simpel hari ini. Tiana beruntung karena bumbu instan yang ia beli sudah sampai. Tenang saja, ini bumbu instan sehat. Sebagai mahasiswa kedokteran, Tiana memang bukan tipe orang yang begitu gila akan hidup sehat. Tapi ia juga tidak secuek itu terhadap kelangsungan hidupnya di masa depan. Jadi tipis-tipis Tiana masih menjaga pola hidupnya.
“Stres sama gila bedanya apa?” tanya gadis itu kemudian. Loudpseaker ponselnya menyala. Di seberang sana teman satu jurusannya, Puput, sedang mengeluh seperti biasa. Sejak setengah jam lalu Puput dilanda gundah-gulana. Ia sudah menangis sebelumnya sebab ia melakukan kesalahan cukup fatal saat ujian blok. Puput tak yakin apa dia berani liburan setelah ini. Padahal biasanya ia bukan tipe orang yang akan melakukan kesalahan sampai separah itu. Tapi kali ini ia benar-benar habis. Tewas.
“Tewas gue, Ti, tewas. Apa gue pindah jurusan aja kali ya? belum telat kan ya?”
Tiana geleng-geleng. Ia masih fokus pada peralahan dan bahan-bahan di tangannya. “Ini udah mau semester 5 dan lo mau pindah. Yakin? Bukannya lo bilang pengen jadi dokter anak paling cantik di rumah sakit?”
Puput menghela napas sangat panjang dan juga berat.
“Udahlah gue nangis aja, Ti..”
“Baru kali ini lo bikin kesalahan fatal, Put. Bukan kayak nggak bisa diperbaiki juga. Kan masih bisa diperbaiki. Udah ayo semarang. Mana nih Puput yang gue kenal menggebu-gebu pengen jadi dokter cantik?”
“Ternyata emang nggak mudah ya untuk mewujudkan impian. Gue pikir dengan gue punya duit dan otak aja udah cukup. Ternyata masih ada tekad, kesabaran, kerja keras. Ya Allah, susah banget hidup ini..”
Puput menghela napas lagi. “Asli sih gue salut sama orang yang bisa konsisten banget hidupnya. Apalagi orang-orang yang berjuang dengan beasiswa. Ti, apa sih resepnya?”
“Resep apa?”
“Biar bisa kayak lo. Dapat beasiswa, pinter, sabar, cantik, anggun..”
“Berlebihan lo.”
“Serius, Ti. Gue aja kadang bingung, kok lo yang sesempurna ini masih jomblo? Padahal gue lihat banyak banget yang ngejar lo. Itu anak HI pindahan dari US, jelas banget ngejar lo. Tapi kok lo lempeng aja? Padahal dia ganteng dan tajir..”
“Put, Put. Gue sama ujian blok aja udah puyeng, nambah lagi mikirin cowok.”
“Ya kan itu penyemangat, Ti. Lo jadi enak juga kan ada yang anter jemput.”
“Lah, jadi cowok fungsinya Cuma buat itu doang?”
“Ya enggak sih. Eh tapi lo emang udah ada yang anter jemput juga ya. Btw Ti, si Ryuu beneran patah hati berat ya?”
“Hah?”
“Sebenarnya gue pernah denger ini waktu kita maba, banyak yang bahas. Tapi gue nggak terlalu peduli. Cuma tadi tuh gue nggak sengaja anak-anak FEB ngomongin si Ryuu, jadi gue keinget lagi.”
“Nggak tau gue.”
“Lah lo kan deket sama dia.”
“Deket bukan berarti gue tau kan?”
“Nggak tau apa nggak mau ngasih tau?”
Tiana diam.
“Iya deh maap. Kenapa gue jadi ikut kepoan ya? Tapi padahal gue lihat si Ryuu tuh baik banget loh. Bisa dibilang sempurna lah. Ya meski dingin banget gitu. Nggak pernah juga gue lihat dia senyum.”
“Ya kali nggak pernah. Lo pikir dia robot?”
“Ya maksud gue tuh yang senyum aja gitu. Dia Cuma senyum kalau lagi sama lo atau si Erian doang.”
“Kenapa tiba-tiba lo perhatian sama Ryuu? Naksir?”
“Ih enggak ya. Gue akui sih dia tuh keren, sempurna. Tapi gue nggak suka cowok dingin begitu. Nyeremin. Gue lebih suka yang modelan kayak Djorka. Ramah, hangat. Beuhhh berasa kayak lagi di musim gugur gitu. Adem.”
Perhatian Tiana tiba-tiba teralih karena bunyi pintu kamarnya.
“Put, ntar gue telfon lagi ya.” Tiana memutuskan sambungan dan beranjak dari tempat duduknya.
…
“Datang juga lo. Gue nyariin dari tadi. Dari mana lo?”
“Kenapa?”
“Ini gue minta tolong lo periksa. Anak-anak pada mau makan.”
“Lah belum pada makan?”
“Belum. Lo udah makan?”
“Udah.”
“Yaudah. Tolong ya. Gue sama yang lain mau makan dulu.”
“Iya.”
Orang-orang itu berlalu. Djorka mengambil berkas di atas meja, kemudian membawanya ke kursi yang lebih nyaman untuk ia duduki. Pria itu mulai fokus pada berkas di tangannya. Pandangannya teralih saat seseorang datang.
“Eh Djor, sendirian?”
“Din, iya. Barusan anak-anak baru pergi nyari makan.”
“Oh. Mau gue bantu?” Andini menawari.
“Boleh. Lo udah kelar?”
“Apa? Ujian susulan?”
“Hm..”
“Udah, barusan. Bikin sakit kepala juga ya..” gadis itu tertawa. Ia mengambil beberapa berkas untuk diperiksa.
“Seorang Andini bilang sakit kepala karena ujian? Gue nggak salah dengar?”
“Emang gue sehebat itu?” kembali Andini tertawa.
“Kayaknya 0,1% mahasiswa yang dipuji sama Prof Agun itu adalah lo.”
“Ya bukan berarti gue nggak ngerasa ujian bakal susah juga, Djor. Lagian lo juga kesayangan Prof Agun.”
Djorka hanya tersenyum.
“Tapi kok lo nggak ikut makan bareng yang lain? Tumben..”
Kali ini pun Djorka hanya tersenyum saja. Andini menoleh, memperhatikan Djorka yang tengah fokus memandangi berkas di tangan. Gadis itu hembuskan napas pelan kemudian beralih fokus pada berkasnya juga. Djorka..
…
“Sorry ya gue maksa lo minta temenin keluar. Soalnya gue beneran suntuk banget..”
“Iya santai aja.”
Tiana dan Puput memasuki kafe. Tak lama pelayan datang membawa menu. Puput merasa kelaparan. Sejak siang ia tidak memiliki nafsu makan. Akhirnya selepas maghrib ia memaksa Tiana untuk keluar, menemaninya ke kafe.
“Aglio e olio deh sama strawberry yogurt. Lo apa, Ti?”
“Hm gue carbonara deh. Lagi pengen carbonara.”
“Minumnya?”
“Hm biasa.”
“Iya deh si paling lychee tea.”
Tiana mencibir. Tiana kemudian terlihat sibuk dengan ponsel yang bergetar. Ia sepertinya tengah berkirim pesan dengan seseorang.
“Serius banget lo..”
“Iya, ini Ibu nanyain kapan gue balik.”
“Jadi lo kapan balik?”
“Hm masih belum tau sih. Lihat sikon dulu. Kalau nggak ada masalah lagi paling minggu depan hari rabu atau kamis gue balik.”
“Ohhh.”
Pesanan makanan Tiana dan Puput datang. Puput makan dengan lahap layaknya orang kelaparan. Pada akhirnya Puput menambah pesanan. Tiana sampai geleng-geleng melihat teman baiknya itu.
“Eh itu bukannya Djorka?” tanya Puput tiba-tiba. Tiana akhirnya menoleh ke arah pandang Puput. Terlihat Djorka ada di luar kafe, tengah bicara dengan dua orang temannya. Pria itu tersenyum tipis. Entah mereka sedang membicarakan apa. Tak lama dua orang lainnya datang.
“Eh itu Nusa kan?”
“Hm.”
“Eh Nusa kenal sama Djorka?”
“Sahabat baik.”
“Eh serius? Kok gue nggak tau?”
“Emang lo harus tau semua kehidupannya Djorka?”
“Ya enggak sih. Tapi kan maksud gue..”
Djorka dan teman-temannya memasuki kafe. Djorka sepertinya melihat keberadaan Tiana dan Puput. Pria itu tersenyum dan menyapa, diikuti Nusa yang menyapa dengan cukup ceria. Sepertinya sudah hampir sebulan ia tidak bertemu dengan Tiana karena sibuk dengan ujian dan lain hal.
“Berdua aja?” tanya Nusa.
“Iya.”
“Kita juga mau makan. Mau gabung?” lagi pria itu menawarkan.
“Hah, eh enggak deh,” Puput menolak. Ia akan sangat canggung makan bersama dengan 5 orang laki-laki tampan dari jurusan ekonomi bisnis. Walau pun Puput sangat ingin. Mana tau saja ada salah satu jodohnya di sana, kan? Tapi sepertinya tidak malam ini. Ia sedang tidak dalam kondisi yang prima. Tadi pun ia dandan sekenanya saja.
“Kami ke sana dulu..” kelima anak laki-laki itu pamit.
“Gila ya si Djorka tuh. Walau pun temen-temennya pada ganteng, tapi Djorka emang ada di level yang beda..”
Tiana menghela napas dan melanjutkan makannya. Mendengarkan ocehan Puput bisa menghabiskan sepanjang malam.
***