"Permisi, paket!"
Fokus Dilara yang sedang menyiapkan sarapan pun terbagi, ia buru-buru keluar membuka pintu dan melihat seorang pria paruh baya menyodorkan sebuah amplop putih padanya.
"Paket buat siapa, Pak?" tanya Dilara.
"Di sini sih atas nama Bapak Izzaz El-Fatih. Benar kan ini rumahnya? Soalnya kata sekuriti di pos ini alamat yang tertera di surat," ucap kurir yang mengantarkan.
Dilara menganggu seraya menerima surat yang disodorkan kepadanya. "Iya, Pak. Benar ini rumahnya dan kebetulan saya istrinya," ucap Dilara.
"Baik, boleh tanda tangan di sini dulu sebagai bukti terima, Mbak." Kurir memberikan sebuah kertas tanda terima dan bolpoin pada Dilara, setelah mendapatkan tanda terima dari Dilara, ia pun berpamitan dan kembali menyalakan motornya yang membawa kantongan besar kain berwarna hitam.
Dilara langsung kembali masuk ke dalam rumah setelah kurir paket yang mengantarkan surat tadi menghilang di antara tikungan. Ia membolak-balikkan sejenak amplop yang dipegangnya, ada kop dengan logo salah satu organisasi internasional di sana.
"Siapa, Ra? Ada tamu?" tanya Izzaz yang baru saja selesai mandi.
Setelah satu minggu pernikahan mereka, Izzaz langsung memboyong istrinya ke rumah yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari sebelum menikah. Ia bukannya mau menjauhkan Dilara dari orang tuanya, tetapi ia hanya ingin menjalani rumah tangannya tanpa campur tangan orang tua.
Dan Dilara beserta orang tuanya juga setuju dengan keinginan Izzaz. Ini pernikahan mereka dan biar mereka saja yang mengatur, kata papa Dilara.
"Ini ada surat buat Mas," ucap Dilara seraya menyodorkan amplop yang dipegangnya pada sang suami.
Izzaz menerima surat tersebut dengan kening yang mengernyit halus, terlihat juga matanya membulat terkejut sejenak kala melihat logo yang tertera di amplop.
"Kalau begitu aku lanjut buat sarapan dulu, ya, Mas," ucap Dilara. Ia sengaja enggan bertanya padahal dalam hati sudah penasaran setengah mati, jika itu penting pastilah Izzaz akan memberitahunya dengan sendiri nanti.
Ia kembali menyibukkan diri dengan kegiatan dapur, menyiapkan sandwich yang menjadi menu sarapan pagi dan teh chamomile kesukaan Izzaz. Tak lupa juga buah-buahan segar yang telah dipotong dadu dan disatukan dalam mangkok, yang ini adalah kesukaannya.
Setelah semuanya selesai, Dilara menyusun satu persatu menu sarapan buatannya di meja makan. Tampak sudah ada Izzaz yang menunggu dan duduk di sana. Suaminya itu terus saja memperhatikan Dilara dengan senyuman kecil, dalam hati Izzaz tak henti-hentinya mengucapkan syukur.
"Mas masih kurang sesuatu? Atau mau sarapan yang lain?" tanya Dilara.
Izzaz menggeleng, ia memegang tangan istrinya dan mendudukkan Dilara di kursi sebelah kanannya. "Nggak, Ra. Apapun yang kamu hidangkan dan kamu masak, pasti Mas bakal makan dan nikmati," ucap Izzaz.
Hati wanita mana yang tak menghangat jika mendengar kalimat barusan dari mulut suaminya? Dilara merasa sangat beruntung mendapatkan Izzaz.
"Yuk makan dulu, setelah makan ada yang mau Mas bicarakan dan diskusikan dengan kamu," ucap Izzaz yang dibalas anggukan oleh Dilara.
Keduanya sama-sama menikmati sarapan itu dalam diam, sebagaimana adab ketika makan untuk tidak berbicara. Hanya mata mereka yang sesekali saling bertemu pandang malu-malu, maklum pengantin baru.
"Kamu kenapa makan buah mulu tiap pagi? Gak ikut makan sandwich atau menu sarapan yang sama kayak Mas?" tanya Izzaz setelah menyesap teh chamomile buatan Dilara sebagai penutup.
Teh berasa dan beraroma favorit yang dibuat oleh istri tersayang, rasanya dua kali lipat lebih nikmat dari teh-teh chamomile di kafe.
"Aku kurang suka makan yang lain kalau sarapan, Mas. Biasanya sebelum menikah juga suka makan buah potong doang kalau sarapan, lebih segar," ucap Dilara menjelaskan.
Izzaz mengangguk-angguk kecil mengerti, sebagai pasangan baru yang menikah karena dijodohkan memang banyak hal perlu dipelajari kembali. Wajar jika mereka kurang tau apa kesukaan masing-masing atau bagaimana karakter masing-masing.
"Mas duluan aja ke depan, aku mau beresin piring-piring bekas sarapan dulu. Habis itu aku nyusul Mas ke depan," ucap Dilara seraya beranjak dari duduknya.
Ia membereskan piring-piring bekas yang isinya sudah habis, juga mangkuk bekas buah potongnya. Untuk teh, Izzaz membawanya serta ruang santai untuk menemani saat mengobrol.
Dilara sendiri buru-buru mencuci piring bekas sarapan tadi, sengaja tak ia simpan dulu. Selain karena jumlahnya yang hanya sedikit, ia tak ingin menumpuk pekerjaan yang berakhir akan melelahkan karena banyak. Tak membutuhkan waktu lama bagi Dilara untuk menyelesaikan cucian piringnya, ia kemudian membilas tangan hingga bersih dan mengeringkannya.
Setelah itu barulah Dilara menyusul suaminya yang kini telah duduk di ruang bersantai, lesehan dialasi karpet berbulu dan bersandar di dinding. Izzaz yang menyadari kedatangan istrinya pun menepuk bagian sebelah yang kosong, Dilara yang paham juga ikut duduk di sebelah Izzaz.
Di tangan Izzaz sudah ada amplop putih yang diterima oleh Dilara tadi, ia membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isinya.
"Kamu tahu gak Mas kerjanya apa?" tanya Izzaz seraya menoleh pada Dilara.
"Dokter, kan? Mas pernah cerita dan Mama juga pernah jelasin pas kenalin Mas ke aku," jawab Dilara.
Ia ingat saat mamanya mengenalkan Izzaz dulu, mamanya mengatakan bahwa Izzaz adalah seorang dokter spesialis bedah. Hal itu juga yang menjadi salah satu bahan pertimbangan kedua orang tuanya dan menyetujui perjodohan ini, karena mereka yakin jika hidupnya akan berkecukupan nanti.
"Iya, Mas memang dokter. Tapi, Mas selama ini tidak bekerja di rumah sakit swasta atau negeri seperti dokter-dokter umum yang kamu tahu," ucap Izzaz.
"Lalu? Mas kerja di mana? Buka praktik sendiri? Buka klinik sendiri? Atau malah punya rumah sakit sendiri kayak di n****+-n****+?" celoteh Dilara mengundang gelak tawa Izzaz.
Hal tersebut membuat Dilara tanpa sadar cemberut dan mencubit pelan lengan suaminya. "Nyebelin! Orang aku nanya beneran malah diketawain."
Gemas.
Izzaz merasa gemas melihat tingkah istrinya yang satu ini, ia mengelus kepala Dilara yang terbungkus hijab langsung berwarna hitam, kemudian menciumi singkat kening istrinya.
"Lucu aja. Mas gak sekaya itu sampai bisa bangun klinik atau rumah sakit sendiri, Ra. Kebanyakan baca n****+ nih istri Mas," ejek Izzaz bernada bercanda.
"Terus kalau bukan itu semua, Mas Izzaz kerja dimana dong?"
Izzaz mengambil ponselnya, kemudian membuka salah satu album yang ia buat terpisah di galeri fotonya. Ada banyak foto Izzaz bersama anak-anak dan beberapa orang dewasa di sana, ia memperlihatkan foto-foto itu pada istrinya.
"Mas selalu ikut sebagai relawan di kegiatan-kegiatan sosial, baik yang diadakan sama yayasan ataupun pemerintah. Mas juga pernah ikut kegiatan di luar negeri, seperti relawan di Afrika, Afghanistan, atau di Palestina," cerita Izzaz.
"Mas lebih suka bekerja bebas seperti itu dan bertemu dengan banyak orang di luar sana, Mas juga mendapat banyak cerita baru setiap harinya. Mas bisa melihat bagaimana orang-orang yang gak seberuntung kita hidup seadanya bahkan bisa dibilang kurang, tapi mereka tetap bisa bersyukur."
Ada getaran di dalam hati Dilara mendengar pengalaman suaminya. Ia merasa terharu mendengar bahwa pria yang menjadi suaminya kini adalah sosok berhati malaikat.
"Mas ... aku gak bisa berkata-kata saking bangganya dengan kamu. Kamu keren dan hebat karena mau mengabdikan jasa kamu ke masyarakat yang kurang mampu. Banyak orang yang bisa menjadi dokter atau orang hebat, tapi gak banyak orang yang mau merelakan waktunya menjadi relawan," ucap Dilara terharu sekaligus bangga.
"Ra, ini juga ada hubungannya dengan surat yang mas terima barusan," ucap Izzaz yang kembali serius.
Dilara mendongak. "Apa, Mas?"
"Mas dulu pernah mengajukan lamaran untuk menjadi volunteer Unicef dan ternyata sekarang mereka baru membalas dan memberikan jawaban. Mas diterima sebagai relawan dan Mas harus ikut dalam projek ke salah satu desa kecil di Indonesia."
***