"Siniin kopernya biar Mas yang bawa."
Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Izzaz langsung mengambil alih koper istrinya dan membawa dua koper menggunakan kedua tangannya. Sama sekali tak merasa berat, ia lebih merasa kasihan jika istrinya yang membawa koper tersebut.
"Aku ambil troli dulu, ya, Mas," ucap Dilara berpamitan.
Ia berjalan menuju barisan troli yang berada tak jauh dari tempat mereka berhenti, kemudian mengambil salah satu troli barang dan membawanya pada Izzaz.
Mereka pun menyusun koper di atas troli tersebut dan Izzaz mengambil alih troli tersebut untuk mendorongnya. Namun, Dilara yang keras kepala tetap saja ikut mendorong troli bersama suaminya.
"Keras kepala ya kamu," ucap Izzaz seraya mencubit hidung istrinya pelan.
"Biarin. Mas juga suka keras kepala kalau aku kasih tau," balas Dilara tak ingin kalah.
Keduanya berjalan bersama menuju tempat yang sudah ditentukan sebagai titik kumpul agar nanti bisa check in bersama-sama dan tidak terpisah.
"Yang itu bukan, Mas?" tanya Dilara seraya mengarahkan pandangannya pada sekumpulan orang, salah satu yang ada di sana memakai kaos berwarna biru muda dan terdapat logo Unicef di bagian depannya.
Izzaz pun ikut mengarahkan pandangannya ke arah yang sama dengan Dilara. Ia mengangguk kecil dan melajukan jalannya ke arah kumpulan tersebut.
Kedatangan mereka disambut dengan pandangan oleh sekitar enam orang lainnya yang sudah menunggu.
"Ah, selamat datang Pak Izzaz dan Ibu Dilara," sambut pria yang memakai kaos Unicef tadi. "Kita sisa nunggu kalian nih."
"Maaf buat kalian nunggu lama," ucap Izzaz seraya mengulurkan tangannya berkenalan. "Perkenalkan saya Izzaz El Fatih dan ini istri saya Dilara Raihana." Ia juga ikut memperkenalkan Dilara.
Dilara sendiri mengulas senyuman dan mengatupkan tangannya di depan d**a, juga bersalaman pada relawan yang perempuan.
"Kenalkan saya Dimas Purnomo yang akan menjadi ketua dalam kegiatan kita selama satu tahun ke depan. Semoga kita bukan hanya bisa bekerja sama dengan baik, tapi kita bisa menjadi keluarga bahkan setelah kegiatan ini selesai."
Dari gaya bicaranya Dimas terlihat sangat ramah dan humoris, tetapi dengan pembawaan yang berwibawa.
"Yaudah kalau begitu kenalannya dilanjut di dalam aja, kita check in sekalian simpan bagasi dulu aja," ucap Dimas mempersilakan.
Mereka berjalan bersama-sama untuk masuk dan mengantre untuk check-in di loket yang tersedia sesuai maskapai mereka.
"Mas Izzaz dan Mbak Dilara udah nikah berapa lama?" tanya seorang pria yang terlihat lebih muda dari mereka berdua. "Ah iya, kenalkan saya Yoga."
"Kami baru aja nikah satu bulan lalu," jawab Izzaz ramah.
"Wah, kalian ini kompak dan cocok banget, ya. Jarang ada pasangan yang dua-duanya punya jiwa sosial," sahut Dimas yang mengantre di belakang Izzaz.
Dilara hanya tersenyum kecil. "Kebetulan aja, Mas. Tapi ini juga mungkin salah satu takdir Allah." Dilara terlihat cantik dengan gamis biru mudanya dan hijab pashmina berwarna putih.
"MasyaAllah, Mas Izzaz dapat istri kayak Mbak Dila ini dimana sih? Bagi tipsnya dong, saya 20 tahun hidup 20 tahun juga ngejomblo," ucap Yoga disahuti tawa yang lainnya.
Yoga sendiri tak masalah, ia memang berniat untuk bercanda agar suasana tak terlalu tegang.
"Tanya ke orang tua kami aja, Mas. Soalnya ini juga karena campur tangan orang tua," jawab Izzaz.
"Berarti dijodohin dong, Mas? Saya kalau dijodohin semacam Mas Izzaz ini juga terima-terima aja," timbrung salah satu relawan perempuan berambut sebahu.
"Yee, spek setan kayak elu mau dapat spek malaikat kayak Mas Izzaz mah mustahil, Yor," sahut orang yang disampingnya, kelihatannya mereka adalah teman.
Tawa lagi-lagi pecah karena ulah kedua teman itu, dalam waktu singkat mereka berhasil dekat seperti sudah lama berteman.
Setelah mengantre untuk check-in dan memberikan barang bawaan untuk ditaruh di bagasi, kini sekumpulan orang-orang dengan tujuan mulia itu tengah berkumpul di salah satu rumah makan nusantara. Penerbangan mereka masih satu jam lagi, makanya Dimas mengajak untuk mengisi perut dahulu.
"Mas, aku mau ke kamar kecil dulu, ya," izin Dilara sembari berbisik.
Izzaz menoleh. "Mau Mas temani?"
Sontak Dilara menggeleng, sangat tidak etis rasanya jika mereka berdua meninggalkan tempat bersamaan. Orang-orang mungkin akan beranggapan kalau dia terlalu manja sampai harus ditemani ke kamar kecil, atau Izzaz yang tidak bisa ditinggal oleh istrinya.
"Gak usah, Mas. Aku bisa sendiri kok," ucap Dilara menolak.
Izzaz mengembuskan napas kecil seraya mengangguk. "Bawa HP jangan lupa, biar kalau ada apa-apa kamu bisa WA aku aja," pinta Izzaz.
Dilara mengangguk seraya mengangkat ponsel yang dipegangnya. Ia berdiri dari kursinya dan berkata, "Saya ke kamar kecil dulu, ya."
Setelah berpamitan, Dilara pun buru-buru ke kamar kecil, ada sesuatu yang harus ia pastikan. Dan benar saja, saat ia sudah masuk ke toilet dan memeriksa, ternyata ia mendapatkan tamu bulanannya sekarang.
Ia benar-benar dibuat panik, pasalnya segala perlengkapan pribadinya termasuk pembalut ada di koper dan sudah ia serahkan saat check-in tadi.
"Aduh, ini tamu bulanan datangnya gak tepat amat," runtuk Dilara kesal.
Siklus bulanannya memang termasuk tidak lancar dan sering berantakan. Jadi, kadang Dilara sendiri sering dibuat pusing karena jadwal yang tidak beraturan.
Hingga, ia teringat pada Izzaz. Buru-buru Dilara menyalakan ponselnya dan menelepon Izzaz. Tanpa harus menunggu lama panggilan langsung tersambung oleh suaminya.
"Sayang? Kamu gak apa-apa?" tanya Izzaz, ada kekhawatiran di nada bicaranya.
"Aku gak apa-apa, Mas. Cuma aku kayaknya butuh bantuan kamu deh," cicit Dilara malu-malu.
"Bantuan apa, Sayang?"
Dilara terdiam sejenak seraya merangkai kata-kata yang bagus untuk ia ucapkan dan tak memalukan baginya.
"Sayang? Kenapa? Jangan bikin aku khawatir," ucap Izzaz berusaha tenang.
"Mas ... aku kedatangan tamu," cicit Dilara dengan suara yang hampir menyerupai bisikan, wajahnya memerah sekarang.
"Tunggu Mas di sana," ucap Izzaz sebelum mematikan sambungan telepon mereka.
Kini Dilara hanya menatap layar ponsel di tangannya yang menampilkan riwayat panggilannya dengan Izzaz baru-baru. Ada kontak WA Izzaz yang ia beri nama "I ♡" di sana.
Selang lima menit, terdengar ketukan di pintu bilik kamar mandinya, Dilara pun membuka dan mengintip kecil, tanpa seorang pegawai kebersihan bandara menyodorkan kantongan sedang padanya.
"Mbak Dilara, kan?" tanya wanita paruh baya tersebut.
"Iya, Bu," jawab Dilara segan.
"Ini ada titipan dari suami, Mbak. Tadi dia minta tolong ke saya soalnya gak bisa masuk ke toilet perempuan."
Dilara pun mengambil alih kantongan tersebut dan mengucapkan terima kasih, ia kemudian menutup kembali bilik kamar mandi dan menguncinya. Saat ia membuka kantongan, terlihat ada pembalut bersayap di sana bahkan mereknya sama seperti yang biasa Dilara stok di rumah, ada gamis dan dalaman baru juga.
Ada perasaan hangat yang menjalar di dalam hati Dilara. Ia tak tahu jika suaminya benar-benar memperhatikan hal tersebut, bukan hanya pembalut ia bahkan juga membelikan dalaman untuknya.
Padahal untuk sebagian laki-laki mereka enggan membeli hal-hal pribadi perempuan karena takut dilabeli yang tidak-tidak.