"Sayang, temenin aku yuk."
Dilara mendongak. "Ke mana, Mas?" tanyanya.
"Kamu hari ini free kan?" tanya Izzaz lagi tanpa menjawab pertanyaan Dilara.
Dilara mengangguk pelan sebagai jawaban, hari ini ia memang sedang luang karena Irham yang memiliki jadwal mengajar. Hal itu membuat Izzaz tersenyum kemenangan.
"Yuk temenin Mas, kebetulan hari ini jadwal Mas buat belanja kebutuhan. Sekalian kita jalan-jalan berdua juga," ajak Izzaz. "Udah lama loh kita jarang ada waktu berdua doang."
Dalam hati Dilara membenarkan perkataan suaminya, dua bulan belakangan semenjak program kerja mereka sudah berjalan, mereka berdua mulai kehilangan waktu bersama. Kadang Izzaz yang sibuk, kadang pula Dilara yang sibuk.
Mereka hanya akan bertemu di saat malam hari dalam keadaan tubuh yang sama-sama lelah dan langsung tertidur.
Niat awal ingin berbulan madu rasanya tak tercapai karena kesibukan masing-masing.
"Gimana?" tanya Izzaz menunggu jawaban dan persetujuan istrinya.
Akhirnya Dilara mengangguk menyetujui, ia mengambil hijabnya yang sempat ia lepas dan memakai kembali dengan rapih hingga menutupi kepalanya dengan sempurna. Keduanya pun keluar dari rumah bersama dengan tangan bergandengan.
"Nak Izzaz? Mau ke mana?"
Sapaan salah satu warga membuat Izzaz dan Dilara menghentikan langkah mereka.
"Mau ke pasar, Inaq," jawab Izzaz dengan panggilan bahasa Sasak sebagai bentuk penghormatan. "Sekalian jalan-jalan keliling juga sama istri saya."
Mendengar Izzaz menyebutkan kata istri, sontak ibu-ibu tadi menoleh dan menatap Dilara. "Oh Nak Izzaz sudah ada istri? Baru juga mau saya jodohkan dengan anak saya, cantik orangnya."
"Hahaha, iya. Istri saya juga gak kalah cantik toh?" Izzaz yang tadinya hanya menggandeng istrinya kini berubah menjadi memeluk pinggang Dilara.
"Iya, cantik. Ya sudah, kalau begitu saya duluan ya. Kalian lanjut saja jalan-jalannya," ucap ibu-ibu tadi berpamitan. Ia melenggang pergi dari sana meninggalkan Izzaz dan Dilara.
Sepeninggalan ibu-ibu tadi, Izzaz langsung menatap istrinya. "Jangan diambil hati, ibu itu memang sering bercanda sama Mas," ucap Izzaz.
"Aku gak ambil hati kok, Mas," jawab Dilara sekenannya. "Sudah, yuk kita jalan lagi aja."
Izzaz menghela napas, ia tak memperpanjang masalah tadi dan memilih kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju pasar tradisional yang tak jauh dari sana. Beberapa kali di dalam perjalanan ada warga yang menyapa dan mengenali mereka.
Setelah berjalan sekitar sepuluh menitan, pasangan suami-istri itu akhirnya sampai di pasar tradisional desa. Ada banyak penjual bahan makanan yang menjajakan jualan mereka di jalanan yang lumayan lenggang.
"Mau beli apa aja, Mas?" tanya Dilara seraya melihat-lihat.
"Sayuran sama ikan deh, sama bumbu-bumbuan kayak cabai dan bawang juga," jawab Izzaz. "Kamu yang belanja deh, Yang. Aku gak paham kalau belanja ginian."
Izzaz menyengir kecil sembari menyerahkan lembaran uang merah pada istrinya. Sepanjang karirnya sebagai relawan, hanya satu tugas yang paling dihindari oleh Izzaz, yaitu berbelanja di pasar. Terakhir ia berbelanja, semua harga barang yang ia dapatkan lebih besar dua kali lipat dibanding harga biasanya.
"Yaudah, Mas. Sini temani aku," ucap Dilara pada akhirnya, ia menerima lembaran uang seratus ribu yang diberikan oleh Izzaz.
Pertama-tama mereka berjalan menghampiri penjual sayuran, Dilara sampai harus berjongkok karena jualannya di jajakan di atas jalanan beralaskan terpal saja tanpa meja. Sementara Izzaz dengan sigap berdiri di belakang Dilara untuk melindungi istrinya.
"Halo, Inaq. Ini bayam berapa harganya?" tanya Dilara sembari memilah-milah bayam segar di hadapannya.
"Tiga ribu satu ikat, Nak," jawab penjualnya.
Dilara mengangguk-angguk, ia mengambil tiga ikat bayam yang segar-segar dan segera membayar tanpa menawarnya lebih dulu. Bagi Dilara harga segitu sudah termasuk murah dan tak perlu ditawar, lain cerita kalau penjualnya mematok harga yang tak masuk akal.
Menawar harga dari pedagang kecil yang sudah murah hanya membuat mereka semakin melarat karena keuntungan yang tipis. Dilara tak mau menanggung dosa hanya karena perbedaan harga seribu rupiah saja.
Setelah membeli beberapa jenis sayuran seperti bayam, wortel, kangkung, sawi hingga buncis, juga bawang dan cabai, Dilara akhirnya beralih menuju penjual ikan dan seafood lainnya.
Sepanjang ia berbelanja Izzaz hanya berjalan mengekor di belakangnya, seolah menjadi pengawal pribadinya sesat.
Kurang dari satu jam Dilara sudah menentang dua tas pasar anyaman yang dibawanya tadinya, ia mengusap peluh yang memenuhi keningnya.
"Sini biar Mas yang bawakan," tawar Izzaz seraya mengambil alih tas pasar yang dipegang oleh istrinya.
Ia sudah merepotkan Dilara dengan tugasnya, tak mungkin ia juga akan membuat wanitanya kelelahan sepanjang jalan karena menenteng dua tas belanjaan yang penuh dan lumayan berat.
"Habis ini mau ke mana, Mas?" tanya Dilara saat Izzaz malah membawanya menuju arah yang berlawanan dari rumah.
"Kan Mas bilang kalau kita bakal jalan-jalan, Sayang," ucap Izzaz lembut. "Pokoknya percaya aja sama Mas."
Dilara mengangguk. Ia hanya mengikuti kemana langkah Izzaz membawanya berjalan tanpa mengeluh dan bertanya lagi, karena ia tahu bahwa suaminya yak mungkin mencelakainya.
"Mungkin agak jauh, kalau capek bilang ya. Nanti Mas gendong," ucap Izzaz diselipi tawa jenaka.
"Apaan sih, Mas." Dilara malu mendengar ucapan Izzaz, walaupun sebenarnya tak ada yang perlu dimalukan karena mereka telah halal.
Setelah berjalan kurang lebih tiga puluh menitan, keduanya sampai di air terjun yang tak terlalu tinggi, tetapi menyenangkan untuk dipandang mata. Sontak saja Dilara yang melihat pemandangan indah itu langsung segar matanya.
"Mas ... ini indah banget," ucap Dilara terpesona.
Suara gemericik air dan aliran air terjun yang indah, juga sungai kecil yang mengalir di bawahnya. Hati Dilara langsung merasakan ketenangan.
Izzaz sendiri tersenyum merekah melihat istrinya senang, ia menaruh tas belanjaannya di tepi sungai dan menyusul Dilara yang berjalan di antara bebatuan sungai.
"Hati-hati licin Sayang," peringat Izzaz.
Ia dan Dilara duduk pada salah satu batu besar sambil merendamkan kaki mereka di aliran sungai. Dilara menyandarkan kepalanya di bahu suaminya, menciptakan suasana romantis yang mendukung keadaan.
"Aku kemarin disaranin ke sini sama Pak Sunar, akhirnya aku kepikiran buat bawa kamu ke sini. Pasti kamu capek kan selama dua bulan ini sibuk kerja mulu?" ucap Izzaz mengawali pembicaraan mereka.
Selain untuk mencuci mata, tujuannya membawa Dilara ke sini yaitu untuk berbincang-bincang dengan istrinya. Sudah lama mereka tak menceritakan hal yang dialami satu sama lain, ia ingin membangun kembali komunikasi mereka.
"Capek, ya, Sayang? Maaf Mas malah bawa kamu ke sini dan buat kamu kerja banyak," ucap Izzaz menyesal. "Padahal Mas sendiri sudah janji untuk selalu bahagiain kamu."
"Mas, walaupun capek tapi aku senang kok. Aku selalu senang kalau melihat senyum murid-murid aku ketika mereka berhasil membaca, menghitung atau melakukan sesuatu. Rasa capek aku langsung hilang melihat senyum-senyum tulus itu Mas," sahut Dilara dengan mata yang tetap memandang air terjun.
"Aku senang kalau ilmuku bisa bermanfaat pada banyak orang. Mas tahu kan kalau ada tiga amal jariyah yang pahalanya gak akan berhenti mengalir, salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Dengan adanya kegiatan ini menjadi lahan pahala buat aku dikemudian hari," ucap Dilara lain.
Izzaz memeluk istrinya. Ia merasa bangga dengan pemikiran istrinya yang dewasa. Ia menciumi kening Dilara lama-lama, kemudian turun ke kedua mata dan hidung istrinya, beralih ke kedua pipi. Hanya sampai situ, ia tak menciumi bibir Dilara karena mereka berada di luar dan di desa orang, ia menjaga tata krama untuk tidak berbuat yang tidak senonoh.
"Mas sayang kamu."
"Aku juga sayang sama Mas."
*