Lelaki Idaman : Part 3

2060 Words
"Maka itu, kami hadir di sini untuk memberikan solusi pengembangan pendidikan di Indonesia. Sehingga pengajaran tidak hanya dilakukan secara langsung di kelas-kelas, tetapi dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Selain itu, harapan kami, dapat terhubung hingga ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia." Frasya menyimak dengan serius acara yang mengundang influencer-influencer muda Indonesia yang sedang populer itu. Ia menyimak sembari makan malam ala anak kosan. Hanya dengan sepotong telur goreng juga nasi. Ditambah kimchi yang rasanya asam juga sedikit pedas. Kimchi, makanan khas Korea, yang booming. Itu makanan andalan Frasya selama menjadi anak kosan karena ia bisa membuatnya sendiri bahkan menjualnya kepada teman-temannya. Lumayan untuk pemasukan tambahan tentunya. Apalagi uang jajan bulanannya tidak sebanyak anak-anak lain. Walau ia masih beruntung karena kuliah di salah satu kampus favorit Indonesia, Universitas Indonesia. Malam ini, untuk ke sekian kalinya ia menyimak wajah Rafandra yang memang sering keluar-masuk stasiun televisi. Selain karena kesuksesannya dalam membangun sebuah startup baru tetapi kisah hidupnya juga sangat menginspirasi. "Saya berasal dari keluarga yang sederhana. Kebetulan ibu dan ayah saya itu ASN alias Aparatur Sipil Negara. Tapi kedua orangtua saya, sangat memedulikan pendidikan anak-anaknya. Apa saja diusahakan sehingga kalau tak ada mereka, saya mungkin tak akan pernah sampai di titik ini." Frasya berdeham. Ayah dan ibunya kurang lebih hampir sama. Ibunya seorang guru. Ayahnya? Hanya pegawai BUMD alias Badan Usaha Milik Daerah. Kedua orangtuanya juga sangat perduli pendidikan. Bedanya mungkin, tanpa tekadnya, ia mungkin tidak akan bisa menempuh sarjana. "Pernah suatu kali, saya menyadari apa yang dilakukan ibu saya yang sering bolak-balik mengantar saya dan adik-adik ke tempat les usai sekolah. Disitu, saya sebetulnya agak merasa bosan dengan kegiatan yang begitu-begitu saja, seperti sekolah dan les gitu. Tapi melihat orangtua saya yang menyempatkan diri untuk melakukan hal sekecil itu, saya akhirnya sadar. Mereka berkorban banyak ntuk saya jadi saya harus menggantinya dengan berbagai prestasi yang bisa saya raih untuk mereka. Hingga bisa sampai ke titik ini." Frasya termenung. Kalau membandingkan hidupnya dengan lelaki itu, ia jelas jauh sekali. Hingga kini pun masih menyusahkan mereka karena harus membayar biaya kuliahnya. Mana ia mengotot pula untuk kuliah dulu. Tapi kalau tidak begitu, ia mungkin tidak akan pernah mendengar ayahnya bercerita tentangnya pada orang banyak kalau anaknya kuliah di kampus ternama. Bukan kah, itu sudah cukup membanggakan? Meski ia juga merasa belum pantas sebagai seorang mahasiswa dari sebuah kampus ternama. Setahun setelah lulus, ia masih terus melihat dan memantau akun i********: milik lelaki itu. Sesekali merasa termotivasi dengan ceritanya mengejar beasiswa hingga ke Amerika. Dulu saat kuliah, ia juga punya mimpi untuk melanjutkan S2-nya ke Amerika tapi entah kenapa, ia akhirnya beralih ke negara lain dan perlahan....mimpi itu mulai agak tenggelam seiring dengan kesibukannya dimasa bekerja juga.... "Capek ya, Va? Rasanya hidup gue gitu-gitu aja," keluhnya setelah sekian lama bekerja. Sahabatnya itu malah terkekeh. "Dulu waktu masih skripsi bareng, pengennya kerja. Eeh pas udah dapet kerja, ngeluh capek. Maunya apa?" ledeknya yang membuat Frasya tertawa. Ya sih, pikirnya. Kata-kata itu seolah menandakan bahwa ia tak bersyukur. Padahal bukan kah itu yang ia ingin kan? Menjadi lebih mandiri dengan bekerja karena ia tak perlu bergantung pada orangtua bahkan bisa membantu mereka? Meski tidak seberapa tapi yang namanya orangtua tidak pernah meminta lebih pada anak. "Sekarang pengennya nikah aja rasanya," lanjutnya yang membuat Ziva terbahak. "Sama siapa?" ledek gadis itu. Frasya hanya tersenyum sembari mengingat doa-doa yang selalu ia panjatkan pada Tuhannya. Allah....kalau boleh meminta...jodohkan lah aku dengan lelaki yang soleh, yang pinter dan ganteng kayak Bang Rafandra... @@@ "I don't know what she said about the equality before. But, in my opinion, the position between man and women finally won't be same. It is not unreasonable for me." Biasa, mereka membicarakan apa yang sedang diributkan para aktivis gender di depan televisi. Perdebatan-perdebatan kecil ditelevisi sudah biasa terjadi. Di dalam dunia percakapan, adu pendapat sudah biasa. Tapi tidak perlu menggunakan emosi ketika menanggapi lawan bicara. Karena apa? Karena perbedaan pendapat sudah biasa terjadi. Masing-masing orang pasti punya pendapat bukan? Dan lagi, setiap orang memang memiliki sudut pandang yang berbeda. Usai berargumentasi sedikit di depan Yildiz dan keluarganya, ia dan Farah pamit. Ia sudah biasa ikut makan malam dengan keluarga Yildiz. Berhubung lidah Indonesia-nya ini bisa diajak berdamai dengan makanan Turki yang kuahnya kental-kental. Dan lagi, ia tak pusing memikirkan apakah makanan itu halal atau tidak. Kebetulan, Yildiz memang tinggal lama di London bersama keluarganya. Ayahnya sudah lama bekerja di London. Lebih tepatnya, mengelola restoran Turki sendiri. Kadang ia dan Farah juga sering datang ke restoran itu dengan niat membantu Yildiz tapi selalu berakhir dengan makan gratis. Hihihi! "Saye duluan, Far!" pamit Frasya. Ia melambaikan tangan ke arah Farah yang masih berdiri di halte bus. Gadis itu juga membalas lambaian tangannya. Tak lama, Frasya sudah duduk di samping jendela bus. Ia menghela nafas. Matanya selalu berbinar menatap suasana London di malam hari. Indah sekali. Mungkin karena ia menyukai dunia perkotaan. Baginya, kesibukan di kota itu keren. Jika orang lain mungkin lebih menyukai pedesaan, ia memang sebaliknya. Ia lebih menyukai sesuatu yang modern dan suka mempelajari inovasi-inovasi di dalamnya. Makanya, ia betah berlama-lama di Jakarta dibanding kembali ke kampung halamannya. Ketika hendak turun dari bus, ponselnya berdering. Ada panggilan w******p dari ayahnya. Keningnya kontan saja megerut. Perkiraannya, di Indonesia masih jam tiga sore. "Assalamualaikum, Pak. Ada apa?" tanyanya. Ia bertanya begitu karena Bapaknya memang jarang menelepon. Kalau pun menelepon, biasanya ada sesuatu yang penting sekali dan itu selalu membuatnya berpikiran buruk. Takut sesuatu yang tidak terduga terjadi. "Ini...ada keluarganya Rafandra ke rumah," tuturnya yang membuat Frasya bernafas lega. Tapi eh tapi, ia baru tersadar. Kenapa keluarga Rafandra datang ke rumah? "Ngapain mereka ke rumah, Pak?" Bapaknya berdeham. Frasya menebak kalau Bapaknya ini mungkin menelpon diam-diam. "Mau melamar kamu." Jawaban itu membuat Frasya terbatuk-batuk ketika hendak masuk ke dalam lift. Tentu saja ia sangat kaget.  Tak punya firasat apapun pula. Sejak pertemuan terakhir dengan lelaki itu pun, ia biasa saja. Lelaki itu juga begitu. Hanya saja, kadang ibunya lelaki itu menghubunginya. Yaa...hanya sekedar bertanya kabarnya atau kesibukannya. Hanya sebatas itu. Lantas ini? "Gak salah, Pak?" tanyanya sangsi. Bapaknya terkekeh. "Pikir-pikir lah dulu. Bapak gak enak menolaknya," begitu tutur Bapaknya sebelum mematikan telepon. Meninggalkan Frasya dengan banyak keterkejutan. Lelaki itu tidak salah rumah kan? @@@ Assalamualaikum warahmatullahi wabarahkatuh Mohon maaf kalau agak membuat Frasya kaget dengan kedatangan saya dan keluarga saya ke rumah. Tidak lain dan tidak bukan, maksud kedatangan saya juga keluarga memang berkeinginan untuk membicarakan hal yang lebih serius. Itu pun kalau Frasya tidak keberatan. Frasya menghela nafas ketika membacanya. Lelaki itu tidak mengirim kalimat-kalimat itu melalui pesan meski punya nomor ponselnya. Tapi lelaki itu mengirimnya ke alamat emailnya. Alamat email pekerjaan yang ia cantumkan dibeberapa media sosial. Lelaki itu pasti mendapatkannya dari sana. Tapi....ia sudah berkali-kali bertanya pada Bapaknya juga Ibunya. Lelaki itu tak salah rumah kan? Maksudnya, lelaki itu bahkan baru mengenalnya sebentar. Mereka baru bertemu secara langsung sebanyak....tiga kali? HAH? TIGA KALI? Frasya menepuk kening. Pertama saat berfoto ria di sebuah acara. Kedua, saat lelaki itu mengisi acara pemberangkatan beasiswanya. Ketiga, ketika ia sudah di London. Iya kaaan? Bahkan pertemuan itu sudah berlalu sebulan yang lalu. Ia bahkan sudah tenggelam lagi ke dalam kegiatannya selama kuliah juga berekreasi di London. Mungkin Frasya akan kaget dengan kedatangan saya dan keluarga. Tapi sebetulnya, hal ini sudah saya pikir kan sejak lama, Frasya. Sejak ketemu Frasya di London itu, saya sudah ingin mengutarakan maksud untuk mengajak Frasya berkenalan lebih dalam. Tapi akhirnya saya mengikuti perintah orangtua saya untuk melamar terlebih dahulu. Takutnya, Frasya mungkin sudah ada yang melamar. Tapi ternyata, belum ada. Bapak Frasya bahkan mengatakan kalau saya lelaki pertama yang datang melamar Frasya ke rumah. Saya merasa beruntung sekali. Maka itu, kalau boleh, sekiranya Frasya mau berkenalan dengan saya lebih dalam? Atau dalam Islam, menyebutnya ta'aruf? Karena Bapak Frasya mengatakan kalau menunda jawaban lamaran lantaran ingin kita saling mengenal terlebih dahulu. Saya rasa itu wajar dan saya juga tak keberatan. Jadi, saya mengajukan pertanyaan pada Frasya. Frasya....mau berta'aruf dengan saya? Saya akan menunggu jawaban Frasya. Kalau sudah siap, boleh balas email ini kapan saja. Saya juga paham, Frasya mungkin sibuk dengan padatnya perkuliahan. Terakhir, semoga Frasya sehat selalu di sana dan segalanya diberikan kelancaran serta selalu berada di dalam perlindungan-Nya. Wassalammualaikum warahmatullahi wabarahkatuh Salam, Rafandra A. Muhammad "FRASYA! BUKAIN PINTUUUUU!" Frasya terkaget. Tanpa sadar, ia malah langsung menutup laptopnya seraya berdiri. Kemudian terbatuk-batuk saat pintu flat-nya berhasil dibobol Hanna. Gadis itu memang sering melakukannya karena hapal password pintu masuk flat-nya. Lain kali, ia akan mengganti password itu. "Lagi ngapain sih malam minggu begini? Tugas lagi?" tanya gadis itu seraya berkacak pinggang di dekat pintu kamar. Frasya berdeham seraya menggaruk-garuk tengkuk. Sejujurnya, ia sedang salah tingkah tapi untungnya Hanna tak terlalu memerhatikan. Gadis itu malah berjalan menuju bar kitchen mini-nya. "Tadi gue di follback tauuuk!" serunya dengan wajah berbinar. Frasya berdeham seraya berjalan menuju dispenser untuk mengambil air minum. Ia sepertinya butuh air minum. Tenggorokannya tiba-tiba gatal. "Gue di follback Kak Rafandra, Fraaaaa!" Aaaah. Frasya tahu. Tentu saja. Ia juga kan begitu. Bahkan awalnya, terheran-heran dengan lelaki yang tiba-tiba mem-follow akunnya itu. Tapi omong-omong, kenapa ia baru menyadarinya?  "Senang bangeet gue! Punya kenalan orang populer gituuu!" Frasya hanya mengangguk-angguk. Ya, terserah lah. Ia tak perduli dengan status semacam itu. Lantas Frasya teringat sesuatu. "Terus lo ngapain ke sini?" Gadis itu nyengir. Ia juga baru ingat tentang tujuannya datang ke sini. "Minta kecap! Kecap gue abis! Males banget keluar! Lo tahu sendiri, yang namanya weekend itu padat di mana-mana!" tuturnya seraya melompat dari kursi kemudian mengambil sebotol kecap dan kabur dari flat Frasya. Frasya hanya geleng-geleng kepala. Ia sudah dibuat was-was tadi karena takut ketahuan jika ia sedang membaca email dari Rafandra. "Kalau Mamak sih setuju-setuju aja lah. Orangnya juga baik, ganteng, pekerja keras," puji Emaknya. Frasya bisa mengkhayalkan muka Emaknya yang sedang sumringah di seberang sana. Pasti girang kalau mendapat menantu sekelas Rafandra. Tapi yang agak membuat Frasya was-was sejak membaca email dari Rafandra tadi adalah....apakah ia benar-benar pantas untuk seorang Rafandra? "Pantas dan tidak pantas dalam ukuran manusia apa sih, Fra?" omel Ziva ketika ia memutuskan untuk menelpon sahabatnya itu. Ia juga sudah menceritakan semuanya dan Ziva terkejut-kejut sama sepertinya. Yaaa, siapa yang menyangka kalau lelaki sekece itu akan datang melamarnya? Walau dulu, Frasya sering memintanya di dalam doa. Namun merasa tertampar ketika tahu lelaki itu punya pacar. Eh? Pacar? Ia baru mengingat hal itu. "Va, gue baru inget deh. Perasaan gue, dulu dia punya cewek gitu." Pikiran Ziva ikut teralihkan dari pembicaraan tentang Frasya yang merasa tidak pantas mendampingi Rafandra menjadi... "Oooh itu. Lu cari deh di Youtube. Gue beberapa minggu kemarin tuh gak sengaja lihat di explore i********:. Muncul video dia ngobrol sama Ridwan. Lo tau kan Ridwan? Yang pernah jadi imam di masjid Salman ITB dan juga pernah beberapa kaki kita datang ke seminarnya?" Aaah. Frasya mengangguk-angguk. Tentu saja ia ingat. Ia tentu pernah mengagumi lelaki soleh itu sayangnya, sudah menikah. Hihihi! Dan lagi, Frasya juga merasa tak pantas mendampinginya. Apalagi saat melihat sosok istrinya yang bercadar dan begitu solehah. Ia merasa jauh sekali dari itu. "Jadi dia tuh ngobrol kalau setahunan ini, kayak hijrah gitu." Mata Frasya melebar. "Oh ya?" Ziva berdeham. "Gue sih gak nonton dari awal dan juga gak nonton sampai akhir. Tapi intinya, terjadi sesuatu gitu sama hidupnya selama setahunan belakang sehingga membuatnya memutuskan untuk berhijrah. Nah, lo inget kan kasus yang dikait-kaitkan ke dia waktu terakhir?" "Yang dituduh korupsi dana BOS untuk kepentingan perusahaannya?" "Iyaaaps! Ituu. Meski akhirnya jadi jelas sih, gak ada dana yang di korupsi sejak awal karena yang biayai acara mereka waktu itu memang bukan dari pemerintah. Tapi ada yang mengkambinghitamkan dia untuk tersangkut kasus itu hingga akhirnya didepak dari posisi staf khusus presiden kan?" Frasya mengangguk-angguk lagi. Kala itu, ia tak begitu mengikuti beritanya karena apa? Karena masih agak-agak patah hati sejak tahu kalau Rafandra memiliki kekasih. Hihihi! "Tapi kayaknya sekarang, Mas Rafan memang udah banyak sih, Fra. Banyak yang bilang begitu. Gue juga beberapa kali kan sempet ketemu dia tuh. Yang gantiin lo waktu itu juga." Frasya berhoho ria. Ia mana tahu karena memang sudah lama tak mengikuti perkembangan berita tentang Rafandra. Mungkin vakum selama dua tahun? Iya sepertinya. Pertama, karena ia memang patah hati tentang kabar pacaran itu. Kedua, ia fokus dengan urusan lain dan akhirnya tenggelam di dalam sana. Ketiga, ia sudah benar-benar melupakan meski masih merasa kagum. Terakhir, ia mengajak Ditto dan Zhafran untuk berfoto dengan Rafandra tanpa maksud apapun. Ia hanya ingin berfoto agar itu dapat memotivasinya untuk menjadi orang yang lebih hebat lagi. Ia kan ingin berkontribusi banyak untuk Indonesia tidak hanya sekedar menjadi rakyat biasa. Cita-citanya sih bukan politisi yang mewakili rakyat tapi menjadi pengabdi untuk rakyat dari profesi apapun nanti.   @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD