Setelah pagi yang cukup menyebalkan baginya, dia memaksa dirinya mandi dan bersiap kemudian dia menyeret tubuhnya ke pabrik tempatnya bekerja selama beberapa tahun terakhir. Dia sudah bekerja di sana sejak dia datang ke kota ini. Pekerjaan utamanya adalah teknisi mesin di pabrik ini. Dia sedang membenarkan salah satu mesin yang mogok saat salah seorang temannya berteriak padanya,
"Rafa! Lo gil* ya! Mana baju pelindungnya?! Helm?!" Rafa bangkit dari pekerjaannya dan memandang temannya itu dengan wajah jengah. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sejenak dan mengambil apa yang disebutkan oleh temannya tadi dengan langkah malas. Dia tau, kalau tak diturutin, dia akan semakin lama mengomel di sana dan membuat kupingnya pengang. "Yang bener dong kalo kerja! Kalo mau celaka, celaka aja sendirian, jangan ajak - ajak kita! Kalo lo udah bosen hidup, sana ke Wuhan jadi percobaan virus! Seengaknya lo berguna di sana daripada mati konyol kegiling mesin!"
"Ck! Cerewet." Rafa berkata datar saat melewatinya.
Membuat temannya itu meradang kesal semakin marah.
"Kok ada sih, manusia sebeba* lo. Jatuh cinta boleh, patah hati juga wajar, tapi idio* jangan!!"
"Brisik!!!"
Teriakan Rafa menggema di ruangan beratap asbes tersebut, membuat pekerja lain yang sibuk dengan bagiannya masing - masing tersentak kaget. Mereka bukan tak tahu Rafa tak memakai standar keamanan yang diwajibkan pabrik tempat bekerja, tapi karena perubahan sifat Rafa yang ekstrim akhir - akhir ini, mereka hanya diam saja tak berani menegur.
Hanya Rena, cewek tomboy yang memang terkenal nggak takut dengan apapun yang berani menegur. Mereka tak akrab. Malah, Rena cenderung tak suka pada Rafa karena menurutnya Rafa punya skill yang bagus tapi dia malah menyia - nyiakannya dengan bermalas - malasan di pabrik ini. Tak ingin mencoba peruntungannya yang lain.
Semua orang di kantor tahu tentang Rafa yang patah hati dan kesulitan untuk bangkit setelah berpisah dari Amora. Sehari setelah mereka putus, Rafa datang dalam keadaan mabuk berat dan menceritakan kesedihan hati ya itu di depan para teman - temannya sebelum mandor pabrik memergokinya dan meminta salah satu di antara mereka untuk mengantarnya pulang.
Rafa beruntung karena tidak langsung dipecat setelah melakukan hal yang amat tak profesional itu.
Rafa menyambar baju dan peralatan keamanan yang sudah seharusnya dia pakai selama bekerja di lingkungan pabrik, seperti helm, sepatu boot, rompi keamanan, sarung tangan dan juga faceshield saat mengelas atau mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan api. Memakainya dengan asal sebelum kembali ke pekerjaannya.
Semua orang yang menjadi saksi di sana hanya geleng - geleng. Rafa sebenarnya punya potensi yang bagus di bidang permesinan. Dia seperti nisa berbicara dengan besi pengganti tenaga manusia itu. Sayangnya, dia tak menggunakan bakatnya dengan baik. Malah cinderung asal - asalan saja, membuat teman - temannya gemas dan prihatin sendiri.
Mungkin, dia sudah diangkat jadi mandor atau kepala pabrik kalau saja dia mau lebuh disiplin dan memperbaiki kinerjanya.
Sebal karena dicueki dan dipermalukan Rafa di depan teman - temannya segudang, Rena menggertakkan gigi menahan marah dan pergi dari sana.
Rafa tak memperdulikan Rena yang pergi sambil menghentak - hentakkan kaki keluar dari ruangan pabrik yang luas dan menggema. Mungkin menangis. Atau mungkin lapor pada Mandor dan kepala gudang kalau lagi - lagi Rafa berulah. Dia tak ambil pusing.
Dia bukan orang yang sabar dan peka terhadap keadaan di sekitarnya. Hanya Amora satu - satunya perempuan yang membuat hidup Rafa berwarna. Dia merasa menjadi orang yang lebih baik dengan gadis itu. Meskipun agak sedikit terpaksa.
Dia selesai mengutak utik mesin yang mogok tadi, kemudian turun dan menyalakan saklar power untuk menyalakan mesin. Suara dengung mulus khas mesin penyortir menggema di seluruh ruangan. Mesin yang tadinya ngambek itu kini kembali berfungsi. Rafa meninggalkan mesin tersebut dengan menenteng handuk lap penuh oli dan parafin, bahan - bahan andalannya untuk perawatan reguler mesin agar tidak cepat aus. Sekilas dari pintu gudang, dia melihat Rena sedang berbicara dengan mandor pabrik dengan bersemangat.
Dia mengangkat bahunya. Bodo amat, begitu pikirnya.
Dari awal, dia dan Rena tak pernah akur. Apapun yang dia lakukan selalu salah di mata gadis jadi - jadian itu. Ya, bagi Rafa, Rena adalah gadis jadi - jadian. Potongan rambutnya pendek, jauh dari kata feminim dan make up yang familiar bagi kaum hawa
Bau badannya tercium sama seperti bau mesin bagi Rafa. Bau oli. Selalu saja sok penting dan sok pintar, tapi semua hanya sebatas teori. Rafa belajar mesin di SMK. Pendidikan formalnya tentang mesin hanya dari sana. Di kota ini, dia sempat kuliah mengambil diploma, tapi tentang menejemen.
Dan itu yang selalu jadi olok - olokan Rena, mengira Rafa tak tahu apa - apa dan dia tahu segalanya karena dia adalah seorang sarjana teknik mesin universitas ternama. Rena tak tahu, bahwa Rafa sudah berkecimpung di dunia permesinan jauh lebih lama dari dia. Secara teori, Rena unggul, tapi secara skill dan pengalaman, Rena sama sekali bukan tandingan seorang Rafael.
Tapi dia tak mau ambil pusing dan tak mau menanggapi Rena yang suka cari muka pada teman - teman dan atasannya.
Seseorang mendekat ke arahnya, Heru, teman sejawatnya. Dia menyenggol bahu Rafa dan mengedikkan dagunya ke arah Rena dan mandor pabrik.
"Lo lagi diaduin lagi, tuh."
"Biarin aja. Kaya gue peduli aja. Ko mau pecat gue, sini lah buruan! Nggak usah pake SP - SP an. Gue tungguin sini."