Bab 22

1570 Words
Tri dan Adam kembali ke lapak tempat jualan Tri. Perasaan gadis tomboy bertubuh mungil itu masih dipenuhi dengan rasa tak nyaman akibat ulah sahabatnya yang sudah mengaku-ngaku jadi pacarnya. Sepanjang jalan dari parkiran menuju pujasera mereka saling diam. Tri masih kesal. "Nanti habis maghrib saya main ke rumah kamu!" Tri butuh penjelasan dari Adam terkait ulahnya barusan. "Oke. Aku tunggu." Adam tersenyum senang. Kunjungan Tri selalu dinantinya. Meskipun selalu bertemu tiap hari ia tak pernah bosan karena mereka selalu memiliki tema untuk dijadikan bahan pembicaraan. "Siapin sajen yang banyak aja." Tri berucap dengan nada datar. "Oke, siap!" Adam tersenyum. Ia tahu maksud Tri yang ingin fisediaksn bsnyak cemilan. "Oh iya, makasih banyak ya kamu sudah mau aku ajak jalan-jalan." Adam terlihat bahagia. Tak akan ada lagi yang usil mengejeknya jomblo. Tri tak menjawab. Begitu turun dari motor Adam ia langsung berjalan menuju tempat dimana motornya terparkir. "Kamu pulang saja duluan. Barang-barang mah sudah ada di motor." Tri melirik ke arah Adam memberikan perintahnya. "Ya sudah. Aku duluan ya." Adam menatap ke arah motor Tri sekilas, setelah itu memutar motornya dan bersiap melanjutkan perjalanan pulang. Mereka tak bisa pulang bersama karena masing-masing membawa motor. Sesekali mereka pulang bersama beriringan. "Kamu hati-hati di jalan ya." Meskipun kesal Tri tetap memberikan pesan. Adam meninggalkn Tri setelah membunyikan klaksonnya dua kali tanda perpisahan. Gadis asal Kota Kembang itu menatap kepergianny seraya menarik nafas dalam. Adam begitu perhatian kepadanya. Tidak, ia tidak boleh jatuh cinta kepada pemuda tampan berambut ikal itu meskipun Adam mencintainya. Tri hanya ingin berteman dan menganggapnya saudara. Tri tak ingin kehilangannya. Eh mengapa ia melantur, berpikir jika Adam mencintainya hanya karena tadi memperkenalkan dirinya sebagai pacar gadungan. Tri menggelengkan kepalanya. **** Tri menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore dan ia baru sadar belum menunaikan ibadah sholat Ashar. Ia berencana untuk mampir ke masjid dekat pom bensin. Saat menghentikan motornya, tiba-tiba ia menangkap sosok yang dikenalnya. "Mas Lucky." Gumamnya. Ia melihat Lucky di dalam mobilnya meninggalkan tempat parkir masjid yang didatangi oleh Tri. Sayangnya pria itu tak melihat dirinya karena wajah Tri tertutup oleh kaca helm. Sudah lama ia tak bertemu dan tak pernsh lagi memikirkan pria yang pernah beberapa kali berada dalam perjalanan yang sama. Perjodohannya dengan Juragan Kardi cukup menyita perhatiannya dan pikirannya, ia tak lagi sempat memikirkan hal lain. Meskipun sudah menyimpan nomor kontaknya ia tak pernah lagi berkomunikasi, lagipula antara ia dan lelaki itu tak ada kepentingan apapun. Mereka hanya bertemu di jalan. Pri itu orang kaya dan Tri pernah melihatnya tengah berduaan dengan wanita cantik yang kemungkinan adalah kekasihnya. Apa yang dirinya haraokan darinya. Astaghfirullah. Tri malah diam mematung bukannya melanjutkan niatnya untuk masuk ke rumah Allah. *** "Assalamualaikum," ucap Tri begitu tiba di rumah kontrakannya. Aki terlihat sedang duduk di teras bersama Nini. "Waalaikumsalam." Aki Somad menjawab. "Bagaimana jualannya hari ini?" Aki Somad langsung menanyakan kabar berita usaha cucunya "Alhamdulillah, habis." Tri mengucap puji dan syukur. Hal paling menyenangkan untuk seorang pedagang adalah saat barang dagangannya laku ceoat dan pulang lebih awal. "Syukurlah." Aki dan Nini menampilkan senyuman terbaiknya. Keduanya turut bahagia. Tri lantas mencium tangan kedua lansia yang amat disayanginya itu. Aki berdiri hendak membantu Tri membawakan barang-barangnya. "Ga usah, Ki. Bia Tri saja yang bawa. Ini semua ringan kok." Tri memberikan penolakannya. Aki Somad mengurungkan niatnya. Tri langsung masuk ke dalam mencuci peralatan lalu mandi, setelahn itu kembali bergabung bersama kakek dan neneknya untuk bercerita banyak hal tentang hari yang dijalaninya. "Ni, nanti besok lusa kita ke dokter ya." Tri tak lupa akan kesehatan sang Nenek yang harus diberi perhatian. Sejak meni ggalkan kampung, belum sekali pun Nini Icih dibawa ke rumah sakit. Padahal obatnya sudah habis. "Nini sudah sembuh." Nini berkata seolah dirinya baik-baik saja, padahal ia masih belum bisa berjalan. "Perasaan Nini saja, Nini sehat karena bahagia, tapi lihat kaki Nini butuh diobati supaya bisa kembali berjalan normal." Tri mengingatkan. "Maafkan Aki dan Nini yang merepotkan kamu." Aki Somad malah meneteskan air matanya. Sesungguhnya ia tak ingin menjadi beban cucunya. "Udah ah Nini sama aki teh tidak perlu bicara begitu, Tri mah jadi sedih ah." *** Usai makan malam bersama Nini Icih dan Aki Somad, Tri pamit ke luar. Ia menuju kediaman Adam seperti janjinya tadi siang. Di teras depan pemuda berubuh tinggi tegap itu tengah menunggunya dengan satu kemasan keripik kentang ukuran jumbo dan kacang panggang serta beberapa kotak minuman. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Tri langsung menjatuhkan bokongnya di kursi kayu. Pandangan matanya langsung tertuju ke arah Adam. "Saya masih kesal sama perkataan kamu tadi waktu di kampus." Tri to the point mengeluarkan unek-uneknya. "Kata-kata yang mana?" Adam seolah amnesia. Sebenarnua ia hanya pura-pura lupa. "Kenapa kamu mengatakan jika saya teh pacarnya kamu. Kapan kita jadian? Saya teh malu." Tri meminta penjelasan. "Sori sori...habisnya teman-teman aku tuh sering ngeledikin aku jones lah, ga laku ya sudah aku bilang nanti kapan-kapan bakal kenalin cewek aku dan maaf sebesar-besarnya karena aku telah menjadikanmu sebagai korban. Cuma pura-pura jadi pacar, emang masalah banget ya." Adam malah tersenyum. "Ya masalah atuh. Lagian ksmu ga bilang dari awal kalau mau bersandiwara." Tri melayangkan protesnya. "Maaf deh, habisnya aku bingung harus minta tolong siapa." Adam masih mencari-cari alasan. "Yang ngejar-ngejar kamu itu kan Ana. Kenapa kamu ga jadian saja sama Ana, dengan begitu kamu ga jomblo lagi. Teman-teman kamuntidak akan ada yang berani meledek. Apalagi Ana itu kan cantik, tajir terus kalau tidak salah cucu pemilik kampus ya?" Tri memberikan solusi dengan menawarkan Ana. "Aku tidak cinta sama dia. Aku ingin dia mundur. Entah sudah berapa kali aku bilang tak mau mengalami nasib seperti ayahku yang menikahi gadis anak orang kaya tanpa restu orang tuanya. Aku dan Ana itu bagaikan langit dan bumi tak akan bersatu." Adam memberikan alasan. "Iya, tapi dia itu pelangganku. Sebentar lagi dia akan memgira jika kita pacaran beneran." Tri keberatan. Kalau Ana marah, ia bisa kabur dan tak pernah lagi datang membawa teman-temannya. Gadis itu juga yang sering pesan untuk acara-acara besar. "Jangan marah, dong! Cantiknya jadi hilang. Aku bisa jadi pelanggan tetap kamu kalau mau. Sekaligus aku bakalan bantuin jadi marketingnya." Adam menggoda Tri yang kini memanyunkan bibirnya. "Kamu nyebelin banget ya, Dam. Sok merayu gombalin aku cantik segala." Tri menarik ujung lengan baju Adam. "Kamu bakalan marah kalau aku bilang ganteng." Adam terkekeh. "Garing bangeymt, kamu menyebalkan sekali ya." Tri sedang tak ingin bercanda. "Tuh, kan marah." Adam hanya bisa tersenyum melihat ekspresi kesalnya Tri. Adam tak pernah dekat dengan gadis manapun selain Tri. Makanya ia swlalu menggoda, merayu dan menggombali Tri. "Maafkan aku ya, Teh. Aku ga bermakasud bikin kamu marah."Adam tak bermaksud memanfaatkan Tri. "Sudah dimaafkan tapi bagaimana urusan Ana? Tadi waktu ketemu Dhifa, dia datang sama Ana. Jangan-jangan dia mendengar percakapan kamu." Tri memberikan informssi penting tentang Alana Dirgantara. Bisa jadi Ana tahu semua percakapan di ruang HIMA tersebut. "Ana sudah punya pacar, bahkan tunangan dan aku ga mau dituduh sebagai perusak hubungan orang lain. Jadi tidak perli membahas Ana lago. Anggap saja dia itu fans aku." Adam menegaskan. Gadis itu yang mengejarnya dan ia tak ingin memberikan celah sedikitpun untuk masuk dalam kehidupannya yang sejak bayi sudah rumit. "Ia pernah cerita kalau dia tidak bahagia dengan pria eksekutif muda yang namanya Reyhan Reyhan itu. Ia sukanya sama kamu." Tri tetao memberikan penjelasan. Tanpa sengaja ia sering menguping pembicaraan antara Ana dan Dhifa. "Gila banget kalau ia mengejar aku demi meninggalkan tunangannya . Bisa-bisa aku jadi kambing hitam. Aku tidak mau terjebak dalam permainannya. Orang kaya selalu semena-mena." Adam bergidik ngeri. Di kampusnya sebisa mungkin ia membatasi interaksi dengan gadis-gadis cantik anak orang kaya. Di antara mereka banyak yang ingin memanfaatkan dirinya. Banyak yang merayunya untuk jadi pacar merela atau partner mainnya. Sengan tegas ia mengatakan tidak. Adam bukanlah lelaki yang mudah terpengaruh oleh harta. Ia lebih suka membantu Engkong Udin jualan di pasar daripada keluyuran tak jelas menghabiakan malam minggu berpesta bersama teman-temannya. Meskipun mereka tak akan keberatan mentraktirnya. Keimanan dan ketakwaan Adam masih cukup kuat untuk menangkal semua itu. "Memangnya ga ada cewek yang kamu taksir di kampus." Tri jadi penasaran tentang kisah cinta Adam yang belum sempat terungkap. "Banyak, dan mereka cantik-cantik. Sayangnya aku ga tertarik gadis kaya. Aku cuma nyaman sama kamu." Adam kembali memberikan penegasan. "Aku, aku belum menemukan wanita lain yang seunik kamu dan cocok " Adam menatap Tri penuh rasa kagum. "Maksud kamu apa sih Dam? Kamu ga minum kopi kadaluwarsa, kan? Ngomong kemana-mana." Tri mendadak gugup mendengar ucapan Adam yang melantur. "Tapi aku ga nembak kamu, aku nyaman hubungan kita sebatas ini." Adam tersenyum. "Syukurlah, lagian saya juga nyaman seperti ini. " Tri bernafas lega. Ia memang tak mau menjalin hubungan yang lebih dari persahabatan. "Kita selamanya jadi sahabat ya!" Adam setuju, ia juga tak mau kehilangan Tri. Keduanya saling menempelkan kelingking sebagai bentuk permintamaafan dan tanda persahabatan. "Ehem..ehem..kalian lagi ngapain? Abis bertengkar?" Engkong Udin keluar dari pintu tampak rapi memgenskan oeci, sarung dan baju koko. "Eh Engkong." Tri gelagapan. "Engkong mau kemana?" Tri mematapnya. "Gua ke mesjid dulu bentar lagi mau adzan." Engkong Udin tak pernH ketinggalan sholat berjamaah di.masjid kalau ia merasa sehat. "Sana tuh ikut Engkong ke mesjid." Tri mendorong tubuh Adam. "Okeh..okeh.." Adam tak mungkin menolak perintah Tri. "Ya udah aku balik dulu ya Dam. Snacknya dibekel aja ya." Tri mengambil semua camilan di atas meja lalu bersiap pulang ke rumahnya. **** Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD