Sebulan kemudian
Tri mendapatkan telpon penting dari kampung halamannya yang mengabarkan jika Nini Icih tengah sakit keras dan baru keluar dari rumah sakit. Tri terkejut dan sedih bukan main. Sebagai cucu yang berbakti tentu saja ia peduli. Nini Icih sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri melebihi Emak yang melahirkannya. Meski Tri sering bertanya-tanya, benarkah Emak Asih itu ibu kandungnnya? Mengingat perlakuannya yang sering pilih kasih dan semen-mena. Semua itu masih menjadi misteri. Satu hal yang ia percaya adalah pernyataan Nini yang mengatakan Tri benar anak kandung, Emak.
Sejak bayi Tri diasuh oleh Nini dan hampir tiap hari menginap di rumah Nini bahkan menginjak remaja Tri memutuskan tinggal bersama Nini sebab ia tak betah tinggal di rumah.
Gadis berambut pendek itu langsumg menemui Adam yang kebetulan tengah dusuk santai di teras sambil membaca buku yang Tri tahu bukan buku pelajaran melainkan n****+. Kalau dipikir- pikir lucu juga, pasalnya yang lebih sering membaca n****+ itu kaum hawa.
"Assalamualaikum, anteng banget sih." Tri mengucap salam.
"Waalaikumsalam." Adam menoleh ke arah sumber suara lalu menutup buku yang dipegangnya. Senyuman langsung terukir di bibirnya.
Tanpa diperintah, Tri langsung menjatuhkan bokongnya di atas kursi jati.
"Nini sakit, Dam. Tadi nelpon saya." Tri menginformasikan kabar berita yang diterimanya beberapa jam lalu. Ia berujar dengan nada pilunya. Wajahnya tampak kusut dan kacau dan itu tidak disukai oleh Adam.
"Sakit apa?" Adam turut sedih. Ia tahu dari cerita Tri jika neneknya adalah satu-satunya orang yang sangat menyayangi Tri dan selalu membelanya.
"Katanya, diabetes, darah tinggi dan stroke ringan. Sempat dirawat di rumah sakit tapi sekarang sudah pulang." Tri tak tahu pasti yang jelas Nini bicara lewat telpon dan memintanya pulang ke kampung.Sejak dulu Nini tak pernah sakit, ia seorang nenek yang kuat. Setelah ditinggal oleh Tri barulah neneknya sering jatuh sakit.
"Innalillahi, turut berduka ya Teh. Semoga Nini segera sembuh." Adam ikut sedih. Apapun yang dirasakan gadis cantik di hadapannya, pemuda berkulit putih itu selalu ikut merasakannya. Baginya Tri adalah bagian dari keluarganya.
"Amin. Makasih, Dam." Tri menjawab seraya menatap pemuda di hadapannya yang selalu memberikan keteduhan dan kedamaian. Entah mengapa Tri senang bisa berada di dekat Adam.
"Saya teh bingung harus bagaimana atuh, pulang, jangan ya?" Tri ingin pulang menjenguk neneknya namun dirinya ragu sebab di sana ada hal buruk yang tengah menantinya. Apalagi jika bukan masalah perjodohan dengan pria tua pilihan kedua orang tuanya. Tri yakin kepulangannya akan dijadikan kesempatan emas oleh mereka untuk melanjutkan perjodohan dengan pria beristri dua yang bernama Juragan Kardi Kertarajasa. Bukan hal yang mustahil pria itu pasti mendatanginya dan mendesaknya untuk menerima lamarannya.
"Tengoklah, Nini pasti butuh dukungan. Teteh tahu sendiri kalau engkong sakit ingin ditunggui cucunya, sepertinya Nini juga merasakan hal yang sama.!" Adam memberikan saran. Ia yakin Nenek Icih pasti merindukan gadis itu dan kehadirannya akan memberikan arti tersendiri agar tetap semangat dan lekas sembuh.
"Pulang kampung sama dengn bertemu Emak dan Bapak lagi, artinya akan ada pertemuan dengan Juragan Kardi. Kamu teh tidak lupa, kan cerita saya waktu pergi ke Depok." Tri mengungkapkan perkiraan yang akan terjadi. Itulah masalah yang selalu dihindari olehnya. Masalah besar yang menakutkan dan mengancam masa depannya.
"Gimana kalau kamu aku antar kalau kamu merasa takut dan khawatir?" Adam menawarkan diri. Demi keamanan dan kenyamanan sahabatnya, Tri harus mendapatkan pengawalan. Ia tak mau terjadi hal buruk kepada Tri. Secara pribadi dirinya pun tak setuju dengan perjodohan Tri dengan pria tua itu, bukan hanya dengan Juragan Kardi melainkan juga pria manapun.
"Kamu kan sibuk." Tri tak ingin mengganggu aktifitas Adam. Apalagi pria tampan itu minggu depan menghadapi ujian akhir semester, minggu ini banyak tugas yang harus segera diselesaikan.
"Aku bisa bolos sehari, lagipula Jakarta-Bandung ga terlalu jauh." Adam tak masalah. Selama ini ia selalu menjadi mahasiswa teladan dan tak pernah absen masuk kelas, absen satu kali tak berarti apapun.
"Ga usah Dam," Tri tetap menolak. Ia tak mau merepotkannya. Terlalu banyak kenaikan Adam kepadanya
"Aku tahu Teteh pasti malas bertemu kedua orang tua Teteh." Adam memberikan tebakan terkait alasan Tri yang seolah malas pulang kampung.
"Benar Dam." Tri mengiyakan. Perkataan seratus persen benar.
"Jangan main petak umpet terus, hadapi semuanya. Aku yakin Teteh bisa melawan mereka." Adam memberikan semangatnya. Tri itu wanita tangguh.
"Juragan Kardi itu orang terpandang, Dam. Anak buahnya dimana-mana, bukan hal mustahil ia berbuat seenaknya. Lihat saja Emak dan Bapak yang tak berdaya melawannya terlebih mereka terlibat banyak utang." Tri memberikan alasan yang masuk diakal.
"Kamu yang semangat, kita minta pertolongan Allah dari kedzoliman orang itu. Kebenaran pasti menang. Aku pasti akan membantu Teteh." Adam yakin akan kekuatan sang Maha Pencipta.
***
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam saat Tri membaringkan dirinya di atas kasur busa yang digelar di lantai. Pikirannya terus tertuju kepada Nini di kampung.
Setelah mempertimbangkan semuanya, akhirnya Tri memutuskan untuk pulang kampung besok pagi. Ia ingat kata-kata Adam jika masalah bukan untuk dihindari namun untuk diselesaikan. Kepulangan kali ini pun dalam rangka melakukan perlawanan terhadap orang tuanya bukan sekedar menjwnguk Nini yang sedang sakit.
Tri harus berani menghadapi Juragan Kardi Kartarajasa dan juga kedua orang tuanya. Ia bukan lagi anak kecil yang harus tunduk patuh kepada mereka. Tri ingin memperjuangkan hak-haknya.
Setengah jam kemudian usai berchat ria dengan Adam, rasa kantuk segera menyerangnya dan ia pun terlelap dengan cepat.
***
Selepas sholat subuh, Tri bersiap untuk berangkat ke Bandung. Tekadnya sudah bulat untuk pulang ke kampung halamannya. Ia tak peduli apa yang akan terjadi nanti. Niatnya adalah bertemu dengan neneknya yang bernama Nini Icih.
Seperti biasa, kemana pun pergi ia selalu membawa ransel berisi pakaian ganti dan barang-barang pribadinya. Ranselnya kali ini bukan ransel lusuh melainkan masih baru. Seminggu yang lalu Adam membeliknnya begitu tahu ransel Tri ketinggaln di Depok. Bagi Tri ransel itu benda penting yang sangat praktis dibawa kemana pun.
Gadis berkaos oblong warna hitam itu sudah mengabari Adam akan keberangkatannya dan pria itu setuju untuk mengantarnya hingga terminal, bahkan ia kembali menawarkan untuk mengantar hingga kota Bandung. Lagi-lagi Tri menolaknya.
"Gimana sudah siap?" Adam datang menjemput Tri dengan motor kesayangannya.
"Ayo, tapi mampir ke pasar dulu ya, saya mau beli oleh-oleh buat Nini." Tri memberikan penawaran tentu saja Adam setuju.
"Oke, Bu Bos." Adam mengangguk. Apapun yang diminta Tri pasti ia usahakan. Tri memasang jaket dan helmnya sebelum duduk di belakang Adam.
Masih dalam keadaan gelap, dua orang itu meninggalkan kawasan kontrakan. Tri mentukai pwrjalanan di pagi hari agar sampai di tempat tujuan lebih cepat dan tak perlu panas-panasan.
"Saya teh lupa tidak sempat bertemu dengan Engkong." Tri tak sempat pamit kepada Engkong Udin. Padahal kemanapun pergi ia selalu meminta doa restu sang pemilik kontrakan yang terkenal baik hati.
"Tenang aja, aku udah bilang sama Engkong. Kebetulan masih di pasar." Adam tidak mu gkin lupa memberikan kabar penting kepada kakeknya.
"Makasih ya, Dam." Tri memberikan ucapan. Tanpa pemuda itu Tri tak mungkin bisa percaya diri seperti ini dan bertahan di tengah kerasnya kehidupan di ibukota.
"Hobi banget bilang terima kasih." Adam tertawa. Sikap Tri berlebihan. Ia tak merasa melakukan hal yang besar.
"Pegangan dong!" Adam khawatir Tri jatuh.
Tri pun menurut. Ia melingkarkan tangannya ke pinggng pemuda berhelm hitam itu hingga tangannya menyentuh bagian perut Adam. Rasa hangat segera merayap menyerang tubuh pemuda berusia dua puluh yang kini duduk di bangku kuliah semester empat.
Demi apapun Adam sangat menikmati momen seperti ini. Berduaan di atas motor dan mendapat pelukan dari seorang gadis yang sudah lama dikecengnya. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Adam bahagia. Sayangnya segala rasa yang ia miliki untuk Tri disimpannya rapat-rapat. Ia tak mau hubungan persahabatan rusak karena sebuah hubungan percintaan.
Sementara Tri tak pernah tahu apa yang dirasakan Adam, ia cuek dan menganggap pelukannya itu tak berarti apa-apa. Sejak awal Tri menganggap Adam sebagai sosok sahabat atau adik.
Setelah mampir ke pasar dengan membawa aneka kue dan buah, Tri dan Adam kembali melanjutkan perjalanan menuju terminal.
Beruntung saat tiba di terminal, bis jurusan Bandung masih menyisakan jok kosong dan Tri tak perlu menunggu bis berikutnya. Adam membantu membawakan barang-barangnya.
"Hati-hati ya Teh, kalau sudah sampai kasih kabar!" Seperti biasa Adam selalu memberikan pesannya.
"Ok, makasih ya." Tri melambaikan tangannya.
Keduanya lantas berpisah karena bis akan segera melaju.
***
Bersambung