Bab 6

1079 Words
"Assalamualaikum." Tri mengucapkan salam begitu tiba di depan pintu rumah. Suasana tamoak sepi. "Waalaikumsalam." Terdengar suara Emak Asih membukakan pintu. "Apa kabar Mak?" Tri langsung bertanya kabar dan tak lupa mencium tangan ibunya. Seburuk apapun perlakuan ibunya, Emak Asih tetaplah ibu kandungnya yang harus dihormati. Semua pesan Nini selalu diingatnya. "Ari kamu kemana saja atuh? Bukannya buru-buru kesini, Emak teh sibuk pisan. Jadi anak itu ga ada gunanya." Emak Asih mengomeli Tri yang dianggapnya lalai dan tak peduli kepada keluarganya. "Maaf, Ma. Tri kan harus jualan dulu. Kasian para pelanggan." Gadis tomboy itu memberikan alasannya. Urusan dagang sangatlah penting artinya buat Tri yang menganggantungkan hidupnya dari pancake yang dijajakannya setiap hari. Walau hari minggu, ia tetap berjualan karena kampus Sejati tak pernah sepi. Motto Tri adalah, tiada hari tanpa jualan. "Emangna berapa sih penghasilan jualan kamu?" Emak Asih bertanya dengan nada penuh ejekan. Ia merendahkan profesi Tri. Bukannya menyuruh anaknya masuk dan duduk istirahat malah mengintrogasinya. Tri tersinggung saat Emak Asih bertanya tentang penghasilannya. Uang yang Tri dapat adalah uang halal hasil kerja kerasnya. Tak ada yang boleh menghinanya meskipun tak seberapa jiks dibandingkan dengan gaji kedua kakaknya. "Ga besar sih, Mak. Jika dibandingkan dengan A Tama yang jadi manager atau Teh Dwi yang jadi dosen. Tapi lumayan bisa buat cicil utang bekas Ma dan Bapak." Tri menjawab dengan nada penuh sindiran. Ia tetap berusaha mengontrol emosinya agar tak tersulut. Berinteraksi dengan Emak selalu saja dipenuhi ketegangan. "Eh, kamu malah ngungkit-ngungkit uang yang kemarin." Mak Asih tak terima Tri bicara seperti itu. "Ada apa sih kok ini ribut-ribut." Tama, kakak Tri datang mendekat ke arah mereka berdua. "Biasa Tama, adik kamu ini datang-datang langsung nagih hutang. Padahal Emak juga bakal bayar." Emak Asih langsung mengadu kepada anak pertamanya. Matanya tampak berkaca-kaca. Tri jadi bingung sendiri. Ibunya pandai sekali drama queen. "Hutang apa sih Mak?" Tama mengerutkan keningnya. Menatap ibu dan adiknya bergantian. Mereka baru bertemu, bukannya saling melepas rindu malah sudah ada masalah dengan menimbulkan kegaduhan. "Kemarin Emak pinjam ongkos buat ke sini satu juta." Emak Asih menceritakan akar permasalahannya. Tama paham. Pria bertubuh tambun itu mengangguk. "Sama orang tua itu jangan perhitungan Tri. Ini Aa ganti." Tama mengeluarkan dompet di saku celananya. Menyerahkan sepuluh lembar uang kertas pecahan seratus ribuan kepada adiknya. Ia tak mau ada kwributan di keluaeganaya. Apalagi dirinya tengah dalam keadaan sukacita menyambut kelahiran anak ke duanya. "Ga usah A."Tri menolak. Ia tak berniat menghutangi orang tuanya. Tri ikhlas dan ridho memberikan uang itu untuk Emak Asih. "Ambil kamu pasti butuh!" Tama memaksa Tri untuk menerimnya. Tri pun tak bisa menolak. "Aa masuk dulu." Tama hendak kembali masuk ke dalam karena ia sedang sibuk. "Adik bayinya kemana?" Tri menanyakan keponakannya. "Ada di kamar lagi tidur." Usai menjawab pertanyaan Tri, ia pun segera kembali tanpa mengajak Tri ikut dengannya menemui bayinya. Dugaan Tri memang benar, di sini ia hanya dibutuhkan tenaganya. "Cepetan kamu ke belakang bantu Bapak lagi masak." Mak Asih bukannya membiarkan anak bungsunya menjenguk keponakan dan iparnya malah langsung memintanya pergi ke dapur tempat dimana orang-orang tengah sibuk menyiapkan makanan untuk acara syukuran nanti malam. Tri mengangguk. Ia malas kembli berdebat. Ia tak ingin mempermalukan diri. Apalagi ada ART. "Sini duit yang dari Tama!" Mak Asih merebut uang yang masih dipegang oleh anak bungsunya. Tadinya Tri akan menyimpannya sebagai tabungan. Tri menghela nafas panjang. "Tadi kamu bilang tidak mau, ya sudah buat Emak saja." Tanpa rasa malu uang Tri ia rebut dan dimasukkan ke dalam kantong celananya. Tri hanya bisa menggelengkan kepalanya. Andai ia bukan ibu ya sudah ia serang habis-habisan. Rasa kesal dan marahnya hanya bisa disimpan di dalam hati. Wanita bernama lengkap Asih Kurniasih itu pun meninggalkan anaknya. Tri segera melangkah ke dalam menuju dapur mengikuti ibunya. Di sana sudah ada Bapak Ujang dan dua ART yangbtenfah sibuk mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak. "Apa kabar Pak?" Tri langsung bertanya kabar, melihat sang ayah sibuk ia pun ikut bergabung. "Alhamdulillah sehat." Bapak Ujang menjawab singkat sambil terus melanjutkan pekerjaannya mengupas dan memotong sayuran. "Jangan gobrol terus, nih sambil kerja biar cepat selesai." Bukannya ditawari makan dan minum, Tri malah disodori pisau. Jika yang dihadapinya bukan ibunya, Tri pasti sudah memberontak, sayangnya dia adalah ibunya. Ia ingat pesan ustad dan juga Engkong Udin yang sering mengingatkannya jika surga ada di telapak kaki ibu. "Tri,..mending kamu jagain Lily." Tama tiba-tiba muncul dengan Lily, anaknya. Baru saja duduk sepuluh menit Tri sudah mendapatkan tugas lainnya. Tri menuruti kata-kata Tama. Ia tahu kakak iparnya itu masih belum seratus persen pulih dan butuh bantuannya untuk menjaga anak pertamanya. Babysitternya malah sedang sibuk ikut masak. Ia segera mencuci tangannya. Tanpa meminta izin Emak Asih, Tri meninggalkan dapur "Bibi...kenapa Bibi ga nyari aku?" Lily, anak sulung Tama menggenggam lengan sang bibi. "Hai Cantik, maaf ya Bibi sibuk." Tri berusaha bersikap lembut. Hanya keponakannya yang selalu menjadi pelipur laranya. Tri mengikuti ayah dan anak itu naik ke lantai atas. Di sana tampak, Shinta istri kakaknya tengah duduk di ruang tengah sambil menggendong bayinya. "Selamat ya, Teh Shinta." Tri memberikan ucapannya. "Terima kasih ya, Tri. Kamu mau datang. Padahal kami menunggu dari kemrin-kemarin." Shinta tampak senang denhan kehadiran adik iparnya. Ia kini bisa menggunakan tenaga Tri untuk mengasuh Lily dan membantunya menjaga bayinya. Tri memang pandai mengasuh. "Maaf, Teh Shinta. Tri beneran lagi sibuk pisan." Tri beralasan. "Namanya siapa?" Tri mengambil alih keponakan kecilnya. "Yasmin." Shinta memberikan jawabannya. Wanita itu kini bisa istiraht sejenak. "Cantik sekali kamu, Dek." Tri menatapnya kagum. Tentu saja cantik karena ibunya juga cantik. Meskipun barunmelahirkan Shinta masih bisa menjaga penampilannya. Ia tetap terlihat cantik meski badannya menggemuk. Bajubyang dimenakannya selalu bermerek dan tak lupa berbagai perhiasan emas dan berlian melekat di tubuhnya. "Cantik mana sama aku, Bi?" Lily tampak cemberut. "Kalian berdua sama cantiknya." Tri terpaksa harus memberikan pujian kepada anak berusia lima tahun itu. Shinta meninggalkan Tri saat tahu bayinya anteng bersama afik iparnya. Lima menit kemudian ia datang lagi membawa gaun muslim cantik. "Tri bagus ga kalau teteh pakai ini nanti malam?" Shinta memamerkan baju barunya. "Bagus ,Teh." Tri tersenyum. Ini yang tak disukai oleh Tri, kakak iparnya selalu pamer. "Pakai baju apapun, kamu mah selalu cantik atuh, Neng." Terdengar suara Mak Asih memberikan pujian. Entah sejak kapan ia berdiri di belakangnya. "Tri, sini Yasmin sama Emak. Di depan ada Dwi dia bawa barang banyak, mana Tama lagi pergi." Emak Asih kembali memberikan perintah. Kakak lainnya yang tinggal di Yogya datang dan Emak dengan seenaknya meminta dirinya menjemputnya. Berlebihan. *** Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD