Tri mengantar Lucky ke rumah Engkong Udin, namun hanya sampai halaman rumah. Ia ada urusan lain yang harus segera diselesaikan, apalagi kalau bukan belanja durian.
Ia menghentikan motornya yang diikuti oleh mobil Lucky.
"Nah, ini rumah Engkong." Tri melirik ke arah Lucky yang kini sudah turun dari mobilnya, ia menunjuk bangunan betawi yang tak ada duanya, ia tetap berada di atas jok motornya.
"Tri, makasih banyak ya!" Lucky merasa berhutang budi kepada gadis berambut pendek itu karena telah memberikan petunjuk penting, letak rumah juragan duren.
"Sama-sama." Tri tersenyum. Ia ikhlas dan tulus membantunya meskipun awalnya ia kesal bukan main terhadap ulah Lucky yang memborong durian di kios Engkong Udin.
"Oh, iya sebagai ucapan terima kasih. Kalau ada waktu luang mampir ya ke toko brownies. Kita bisa ngobrol sambil makan brownies." Lucky memberikan undangannya.
Tentu saja mata Tri langsung berbinar. Makan brownies gratis sepuasnya adalah impiannya, apalagi dari toko kue ternama yang legendaris.
"Ok, Mas. InsyaAllah." Tri menyambutnya dengan baik meskipun ia belum tahu kapan memiliki waktu luang. Gadis itu terlalu sibuk dengan urusan jualan ditambah lagi ada kakek dan neneknya yang butuh perhatian lebih. Ia tak sebebas beberapa waktu lalu.
"Aku tunggu ya!" Lucky menatap gadis di hadapannya penuh harap. Mendapat tatapan seperti itu entah mengapa jantung Tri seolah kena setrum. Ia segera mengalihkan pandangannya sebelum jatuh dari motornya. Pesona Lucky Dirgantara memang luar biasa. Duda tampan itu memiliki kekuatan magnetik yang luar biasa hingga mampu menyedot hati para wanita, apalagi yang berstatus jomblo seperti dirinya.
Tri mengangguknpelan. Jantungnya tak henti memompa semakin cepat.
"Kalau gitu sampai bertemu nanti, assalamualaikum." Tri lekas pergi meninggalkan Lucky yang akan bertamu kepada Engkong Udin. Lama-lama.bersamanya, membuat jiwa jomblonya meronta dan menjerit
"Waalaikumsalam," jawab Lucky seraya menatap kepergian Tri. Entah mengapa sejak pertemuan pertama dengan gadis tomboy itu menyisakan kesan yang amat mendalam. Lucky sulit menterjemahkan perasaannya. Perasaan yang sudah lama tak ia rasakan dn sulit dilukiskan dengan kata hanya bisa dirasakan.
***
Seperti hari-hari biasa Tri menjalankan rutinitasnya berjualan di kios pujasera. Mencari rezeki untuk menghidupi dirinya dan juga kedua kakek dan neneknya yang sakit-sakitan.
"Varian baru ya?" Pelanggannya tampak antusias menatap pancake durian yang sudah beberapa hari dijajakan oleh Tri.
"Iya," Tri tersenyum ramah. Ia senantiasa memberikan pelayanan terbaik untuk mereka, meskipun bukan restoran mewah atau hotel berbintang ia tetap memperlakukan pelanggannya istimewa.
"Pesen dua puluh ya, Teh," ucap pelanggan itu. Sangbpelanggan langsung mencari tempat duduk untuk menunggunya.
"Oke, siap!"
Tri langsung sibuk di depan kompor dan cetakan. Dengan lihainya ia mencetak kue pancake yang rasanya tak diragukan lagi kelezatannya.
Satu demi satu pelanggan berdatangan hingga membuatnya kewalahan. Adam yang biasa membantu sedang ada kelas. Meskipun demikian Tri sangat menikmatinya. Pundi-pundi rupiah yang dihasilkannya semakin banyak.
"Alhamdulillah." Ia mengucap syukur saat melihat barang dagangannya sudah habis tak bersisa. Ini di luar kebiasaan.
Berkat duren ia bisa menutup kiosnya lebih cepat. Musim durian selalu membawa berkah tersendiri bagi usahanya. Andai durian bisa berbuah sepanjang musim.
Hari ini daganganya laris manis. Gadis bertubuh langsing itu yakin ini semua rezeki yang Allah berikan sebagai hadiah karena dirinya butuh uang tambahan untuk belanja harian. Karena saat ini kedua kakek dan neneknya tinggal bersamanya dan menjadi tanggungannya.
Ia teringat akan Lucky si duda keren itu yang mengundangnya mampir ke toko bownies miliknya beberapa waktu lalu.
Ini mungkin waktu yang tepat baginya untuk pergi ke sana. Lumayan bisa dapat makanan kesukaannya dengan gratis.
Ia pun segera menghubunginya. Beruntung pria itu ada di tokonya. Bahkan menawarinya untuk menjemputnya.
"Mang saya pulang duluan ya!" Tri pamit kepada Mang Ucup pedagang Mie ayam.
"Iya Neng hati-hati." Pria berkumis tipis itu mengangguk. Hampir semua pedagang di sana sangat dekat dengannya. Hal itulah yang membuat Tri betah berjualan.
"Kalau Adam nyari bilang saja, Saya sudah pulang." Tri titip pesan.
Dengan penuh rasa percaya diri ia pun meninggalkan tempat itu menggunakan motor matic warna merahnya. Gadis bercelana jeans belel dengan kaos oblong warna hitam dengan jaket kulitnya itu tampak cuek dengan penampilannya. Ia memaklumi dirinya sendiri yang tengah berjualan. Penampilannya memang tak serapi tadi pagi, namun ia juga tak kucel. Ia rajin mencuci muka dan menyisir rambutnya. Jangan bayangkan Tri memakai bedak dan lipstik, ia hanya memakai bedak bayi dan lip balm untuk melembabkan bibirnya. Tri bukan tipe pesolek.
***
Meskipun memakai motor yang dipenuhi oleh barang-barang, Tri tetap percaya diri menuju toko brownies Kareueut yang terletak di seberang jalan. Jaraknya dekat, namun ia harus berputar karena membawa kendaraan.
Usai memarkir motornya, ia berjalan dengan langkah panjang memasuki toko. Para pelayan menyambutnya dengan penuh rasa hormat.
Toko brownies ini bersatu dengan cafe. Sebetulnya bukan hanya menyediakan brownies dengan varian tasa, ada juga menu lainnya. Tri tak pernah dengan sengaja nongkrong di sana karena ia tahu harganya tak cocok dengan isi kantongnya. Sayang kalau harus beli minuman seharga puluhan ribu satu gelas ditambah sepotong brownies yang harganya juga tak main-main , sebetulnya beberapa kali ia pernah membeli brownies di tempat ini dan Adam yang membayarnya. Ia bisa makan enak jika Adam yang mentraktirnya, selebihnya ia memilih makanan murah di warung kopi.
Tri langsung mencari tempat duduk kosong. Saat pelayan menghampiri ia beralasan tengah menunggu seseorang. Ia sengaja tak menanyakan Lucky sebab Tri telah menghubungi Lucky sebelumnya. Biarlah pria itu yang mencarinya.
Pria yang tengah dinantikannya itu itu akhirnya menampakkan diri dan mendekat ke arahnya dengan senyuman yang menggoda iman. Jiwa perempuannya tiba-tiba muncul. Tri mendadak grogi, ia mengalami tremor luar biasa.
"Hai Tri, apa kabar? " sapanya ramah dengan senyum sepuluh mega watt nya. Ia mengajak Tri berjabat tangan.
Tri menyambutnya dengan tangan gemetar. Sentuhan kulit mereka menimbulkan efek yang dahsyat. Tanpa sadar keringat dingin membasahi tubuhnya. Jantungnya seolah akan copot. Ini bukan kali pertama mereka bersentuhan, anehnya mengapa sekarang rasanya jadi berubah.
Pria yang kini memakai kemeja warna navy yang digulung hingga sikut tampak lebih tampan dari biasanya. Lebih rapi dan klimis. Ah, tentu saja karena ia tengah berada di kantornya pastinya akan memakai setelan formal.
Mengapa juga ia malah memuji pria berstatus duda itu. Astaghfirullah, Tri beristighfar. Pesona Lucky memang sulit diabaikan.
"Alhamdulillah sehat." Tri tersenyum ramah berusaha menyembunyikan kegugupannya. Melihat penampilan Lucky yang tampan rupawan membuat tingkat kepercayaan diri Tri merosot, Tri merasa kucel apalagi ia habis jualan. Ia memang tak tahu diri, seharusnya ia mandi dulu menggunakan sabun tujuh rupa dari tujuh merek berbeda, pun shamponya juga memakai Shampo tujuh rupa biar wangi semerbak. Tri harap aroma keringatnya tak tercium.
"Kita ngobrolnya di dalam saja yuk!" Lucky memberikan ajakannya. Ia ingin tempat yang lebih aman.
"Boleh!" Tri memgangguk. Ia hanya seorang tamu jadi cukup menuruti sang tuan rumah.
Sebetulnya Tri tak sabar ingin segera ditawari brownies kesukaannya. Ia sengaja tak mengisi dulu perutnya.
Tri dibawa ke ruangan pribadi Lucky yang terletak di lantai atas. Tri sampai terkagum-kagum memperhatikan ruangan-ruangan yang ada di sana. Ini luar biasa nyaman dan ia betah berada di sana.
"Ini ruangan kerja saya." Lucky menunjukkan ruangannya. Ia lalu membuka pintunya.
"Silahkan duduk." Lucky mempersilahkan tamunya yang terlihat canggung.
Ruangan kerja Lucky cukup luas, ada sofa, meja kerja dan lemari. Beberapa lukisan dinding dan rak buku tampak mempercantik ruangan ini. Sangat nyaman dan itu membuat Tri yang untuk pertama kali menginjakkan kakinya di sana merasa betah.
"Terima kasih." Tri menjatuhkan bokongnya di sofa single.
"Ternyata toko dan cafe ini luas banget." Tri memberikan komentarnya.
"Lumayan." Lucky tersenyum.
"Mas, kalau boleh tahu ada berapa cabang toko brownies ini?" Entah mengapa Tri mendadak kepo. Bukannya ia matre tapi kagum, sebagai seorang pedagang kecil ia juga bercita-cita memiliki toko kue seperti milik Lucky, tak ada salahnya jika ia berguru.
"Ada dua puluh lima." Lucky menjawab malu-malu.
"Wow keren" Tri takjub mendengar jawaban dari Lucky.
"Ga keren karena dulunya ini toko milik nenek dan aku hanya mengembangkannya saja." Lucky tersenyum.
Kenapa senyum Lucky makin manis, apa karena keseringan makan kue brownies.
"Kamu udah makan siang belum?" Lucky mengalihkan pembicaraannya.
"Belum, Mas." Tri menjawab jujur.
"Ya sudah kita pesen makan. "
Lucky meraih ponselnya hendak order.
"Mau makan apa? Ini kamu pilih!" Lucky menyodorkan ponselnya. Di sana tertera sajian dari restoran ternama.
Padahal Tri ingin makan brownies kenapa malah mau diajak makan siang menu lain.
"Mas, bukannya Mas mau ngasih brownies gratis kok malah diajak makan. Saya ke sini sengaja ngosongin perut buat makan brownies yang banyak sekalian icip yang rasa duren." Tri melayangkan protesnya. Sejak tadi ia menahan perutnya yang sudah keroncongan.
Lucky tak kuasa menahan tawanya. Tri begitu polos dan lucu.
"Jadi, kamu mau makan brownies?" Lucky tak menyangka tujuan Tri.
Tri mengangguk.
"Iya," jawabnya kesal.
"Tenang dong Tri, itu makanan penutup. Kamu juga boleh bawa banyak." Lagi-lagi Lucky tertawa.
"Kok ketawa sih Mas?" Tri pun merasa aneh dengan tingkah Lucky. Pria itu tampak judes dan menyebalkan di awal perkenalan mereka dan kini berubah menjadi sosok hangat yang menyenangkan.
"Beneran? Gratis kan?" Tri tampak ragu.
"Mau bayar juga boleh." Lucky terkekeh. Ia heran kenapa bisa langsung akrab dengan Tri, padahal mereka belum lama saling kenal.
Ia juga heran bisa tertarik dengan gadis aneh itu, selama ini ia hanya akrab dan dekat dengan wanita yang feminim dan modis. Tipe seperti Tri tak pernah ada dalam kehidupannya.
***
Bersambung