Hubungan Terlarang

1829 Words
“Ma, Mikha udah bangun?” tanya Alex saat bertemu Helen di depan ruang keluarga. Helen tertawa geli mendengar pertanyaan Alex. “Kamu nanyanya nggak salah?” Helen mengacak rambut Alex dengan gemas. “Hari libur gini, mana ada sejarahnya Gabby bangun pagi, kecuali ada yang gangguin. Dan biasanya kan kamu doang yang berani gangguin dia.”Helen memperhatikan penampilan Alex yang mengenakan kaos dan training hitam. “Kamu mau ke mana? Mau olahraga?” “Mau lari pagi Ma, dan mau ajak Mikha.” “Coba aja kamu bangunin, paling anaknya teriak-teriak, marah nggak jelas.” “Udah biasa Ma,” sahut Alex enteng. “Kalo nggak begitu, namanya bukan Mikha, tapi Reni.” Helen tergelak mendengar jawaban Alex barusan. Yang dikatakan pemuda itu memang benar. Sifat Gabby dan Reni memang sangat bertolak belakang. “Ya udah, sana ke kamarnya Gabby. Mama nggak ikutan ya kalo dia ngambek.” “Siap Ma.” Alex menempelkan telapak tangan di kening sambil menyeringai lebar. “Mama ke dapur dulu ya, mau bikin sarapan dulu. Kamu mau ikut sarapan di sini?” “Mama bikin apa?” “Mau bikin nasi kuning. Dari kemarin papa minta dibikinin nasi kuning.” “Komplit nggak Ma?” “Iyalah, kamu mau?” “Kalo naskun komplit, Alex nggak nolak.” Helen terkekeh sambil menggeleng mendengar ucapan Alex yang untuk orang lain mungkin terdengar tidak sopan. Namun, baginya dan anggota keluarga lainnya, Alex itu seperti anak dan saudara laki-laki yang tidak mereka miliki. Kehadirannya selalu membawa angin segar di rumah ini. “Alex ke kamar Mikha dulu Ma.” Alex berlalu dari ruang keluarga dan berjalan kamar Gabby. Dia membuka pintu kamar Gabby, tidak lupa menutup pintu lagi, mencegah terdengarnya teriakan gadis itu saat dia membangunkannya nanti. Dengan santai, Alex sengaja menjatuhkan diri di tempat tidur sehingga kasur berguncang cukup keras. Sesuai dugaannya, Gabby yang terbiasa tidur tenang, merasa terganggu saat ada yang bergerak. Gabby membuka mata dan mendelik saat melihat Alex tengah berbaring menyamping dang menatap dirinya dengan pandangan jail. “Apaan sih! Pergi sana!” Gabby mendorong perut Alex menggunakan kaki. Alex menahan kaki Gabby sambil berujar. “Bangun Mik, nggak baik anak gadis bangun siang.” “Bodo amat! Kalo mau gangguin gue, mending pergi deh!” Gabby kembali mendorong Alex, kali ini dengan sekuat tenaga. Namun, bukannya menjauh, Alex malah menahan kakinya lagi sambil merangsek mendekati Gabby, kemudian memencet hidung gadis itu. “LEXI!” Gabby berteriak kesal dengan ulah Alex barusan. Hilang sudah kantuk Gabby karena ulah Alex. Dia membuka selimut dan duduk di tempat tidur. Gabby mendelik tajam ke arah Alex. “Elo sengaja mau nyari ribut ya pagi-pagi?!” Gabby mengambil bantal dan melemparkan ke arah Ale dengan sekuat tenaga. Dengan mudah, Alex berkelit dan menangkap bantal, kemudian meletakkan di sampingnya. “Kamu jelek tau kalo pagi-pagi udah marah kayak gitu.” “BIARIN! Sana pergi deh! Jangan gangguin gue!” “Aku nggak gangguin kamu kok,” sahut Alex santai. “Aku cuma bangunin kamu, karena aku mau ngajak kamu lari pagi.” “Nggak mau! Gue mau tidur aja!” Gabby kembali merebahkan diri di tempat tidur. Bukan hanya itu, Gabby menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya. Alex tidak hilang akal melihat ulah Gabby. Dia turun dari tempat tidur dan menghampiri sisi tempat Gabby berbaring. Alex menekan wajah Gabby yang ada di balik selimut sambil tersenyum jail. Gabby yang terkejut dan tidak bisa bernapas, berusaha melepaskan diri dengan meronta dan menendang, hingga Alex melepaskan tangannya. Gusar dengan kelakuan Alex, Gabby bangun dan mengejar pemuda itu. Alex dengan sengaja berlari keluar kamar dan menuju ke dapur. “LEXI!” Gabby mengejar Alex sambil menjerit kencang memanggil nama pemuda itu. Helen menggeleng melihat kelakuan Alex dan Gabby yang berlarian di sekitar dapur. “Ma, Alex nih!” Gabby mengadu pada Helen karena belum berhasil menangkap pemuda itu. “Alex nggak ngapa-ngapain Ma. Alex cuma bangunin Mikha doang kok.” “Bohong Ma.” Gabby mendelik gusar ke arah Alex yang tampak tenang-tenang saja berdiri di dekat pintu dapur. “Tadi dia bekep Gabby pake selimut sampe nggak bisa napas.” Helen terkekeh geli melihat kelakuan Alex dan Gabby yang lebih sering berdebat dibandingkan akur. Namun, akan selalu kompak saat salah satu dari mereka menghadapi masalah. “Udah, udah, ini masih pagi loh.” Helen menatap Gabby dan menegur putrinya dengan suara lembut. “Papa juga masih tidur, masa kamu nggak kasian sama papa sih?” Gabby mencebik gusar karena ditegur oleh Helen. Dia tidak menerima jika semua kesalahan dilimpahkan padanya. “Kan Alex duluan, kenapa juga jadi Gabby yang disalahin sih?!” Alex yang belum puas menggoda Gabby, kembali memancing emosi gadis itu. “Kan kamu yang teriak, bukan aku.” Alex mengedipkan sebelah matanya pada Gabby. Kesal dengan jawaban Alex, Gabby mengambil apel yang ada di dekatnya dan melempar dengan sekuat tenaga ke arah Alex. Alex yang sudah memperkirakan apa yang akan dilakukan gadis itu dengan santai menangkap apel dan tanpa sungkan menggigit buah di tangannya. Hal itu semakin membuat Gabby kesal pada Alex. “Mik, daripada kesel terus, ikut aku lari pagi yuk. Pulang lari ntar kita makan bubur di tempat biasa, mau?” “Nggak mau kalo cuma bubur.” “Emang kamu mau apa lagi? Hari ini mama masak nasi kuning, dan aku udah bilang mau sarapan di sini.” Gabby mengerucutkan bibir mendengar jawaban Alex. “Besok ke gereja pagi sama gue, terus kita makan mi ayam Pak Slamet. Kalo elo setuju, gue ganti baju.” “Nggak masalah.” Alex sama sekali tidak keberatan dengan permintaan Gabby. Gabby bergegas meninggalkan dapur untuk berganti pakaian. Namun, ditunggu hampir setengah jam, Gabby tidak juga kembali. Setelah hampir satu jam, barulah Gabby datang ke dapur dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. “Kamu kenapa?” tanya Alex bingung melihat senyum di wajah Gabby. “Kenapa juga balik ke sininya lama?” “Ntar malem gue jadi mau double date.” “Sama?” “Gue sama Levin lah, terus Devi sama pacarnya.” Alex mengernyit tidak suka mendengar jawaban Gabby. Ada satu rasa resah di hatinya mengetahui gadis itu akan pergi dengan Levin dan Devi. Entah mengapa, dia memiliki firasat tidak baik mengenai kepergian Gabby nanti malam. “Kamu yakin?” tanya Alex. “Iyalah.” *** Devi baru selesai membersihkan muka dan berganti pakaian saat mendengar pintu kost nya diketuk. Hanya dengan mengenakan kimono tipis berwarna putih, Devi bergegas membukakan pintu dan tersenyum lebar saat melihat siapa yang datang. “Kirain nggak bakal dateng.” “Mana mungkin aku nggak dateng.” Levin melangkah masuk ke dalam kamar Devi dengan langkah mantap. “Aku kan udah janji sama kamu, dan pasti aku tepatin.” Devi tersenyum kecil mendengar jawaban Levin. Dia mendekati Levin dan memeluk pinggang pemuda itu dari belakang, dan dengan sengaja mengelus bagian d**a Levin. “Emangnya Gabby nggak curiga?” ujar Devi dengan suara menggoda. “Nggaklah, kan aku di sana sampe jam malam dia berakhir, baru ke sini. Lagian kan tadi dia juga udah lama ketemu aku.” Devi mengelus punggung Levin dengan gerakan menggoda dan membuat lingkaran-lingkaran kecil menggunakan jari di sana. Darah Levin berdesir saat merasakan gerakan menggoda yang dilakukan Devi. Dia menarik gadis itu hingga berdiri tepat di hadapannya. Tanpa menunggu lama, Levin mendekatkan wajah dan memagut bibir Devi dengan rakus, menyalurkan hasrat yang ditahan sejak di kafe tadi. Devi membalas pagutan Levin dengan panas. Dia menggigit pelan bibir bawah Levin. Dia memasukkan tangan ke balik kaos pemuda itu dan mengelus d**a Levin. Hasrat Levin semakin tersulut saat merasakan tangan Devi di tubuhnya. Dia menarik tali kimono Devi hingga pakaian itu terjatuh ke lantai. Levin melepaskan pagutannya dan menatap liar tubuh mulus gadis itu. Dia menurunkan tali pakaian tidur Devi hingga jatuh ke lantai. Mata Levin bergerak liar saat menatap keindahan tubuh Devi yang sudah tidak mengenakan apa-apa lagi. Dia mendorong Devi ke tempat tidur, membuka kaos dan menurunkan celananya. Kemudian, dengan gerakan perlahan, Levin menindih tubuh Devi yang sudah tidak berdaya. Melihat tatapan sayu Devi, hasrat Levin semakin tinggi. Dia kembali memagut bibir Devi dengan rakus, tangannya meraba bagian lain tubuh Devi hingga membuat gadis itu mengerang nikmat. Mendengar erangan Devi, Levin tidak dapat menahan hasratnya lagi. Dia membuka kaki Devi dan memasukkan miliknya ke sana. Devi merintih saat merasakan nyeri di bagian bawah perutnya, saat milik Levin menerobos masuk. “Vin, pelan-pelan, sakit.” Namun, sepertinya Levin tidak mendengar ucapan Devi. Dia mulai bergerak, awalanya pelan, akan tetapi lama kelamaan semakin cepat dan membuat Devi menggigit bibir saat merasakan sakit di bagian bawah perutnya. Perlahan, rasa sakit yang dirasakan Devi berubah menjadi sensasi yang membuatnya mulai dapat menikmati permainan bersama Levin. Pengalaman pertama Devi bersama seorang pria dan dengan rela menyerahkan kehormatannya pada Levin, yang tidak lain adalah kekasih sahabatnya. Levin yang sudah hampir mencapai puncak, menambah kecepatan hingga akhirnya mencapai kepuasan. “Argh!” Levin melenguh puas. Levin berguling ke samping dengan napas terengah dan berbaring telentang menatap langit-langit kamar Devi. Hasrat yang selama ini ditahan karena Gabby tidak pernah mau disentuh olehnya, akhirnya terlampiaskan dengan baik. Devi diam terpaku saat Levin berbaring di sampingnya. Ternyata seperti inilah rasanya melakukan hubungan dengan lawan jenis. Hal yang hanya pernah dia lihat dalam film, akhirnya dirasakan juga sekarang. Devi beringsut bangun sambil menahan rasa perih di sekitar bagian bawah perutnya. Dia berdiri dan hendak pergi ke kamar mandi. “Kamu mau ke mana?” Levin duduk di tepi tempat tidur sambil menahan tangan Devi “Mau ke kamar mandi.” “Mau ngapain?” “Mau bebersih.” Levin tersenyum pada Devi. “Makasih ya, kamu udah kasih aku hadiah terbaik.” Dia menarik tangan Devi hingga gadis itu jatuh di atas pangkuannya. Levin mengecup lembut bibir Devi dan menikmati rasa manis bibir gadis itu. Devi yang merasa tersanjung dengan ucapan Levin, membalas kecupan Levin dan memagut bibir pemuda itu. Gairah Levin kembali tersulut dengan perbuatan Devi. Apalagi gadis itu saat ini duduk di atas pangkuannya. Levin melepaskan ciumannya dan berpindah ke bukit milik Devi yang begitu menggiurkan dan tepat berada di depan matanya. Devi yang tidak siap, terkejut dengan perbuatan Levin yang begitu menggoda dan membuat dirinya kembali b*******h. Dia memejamkan mata dan menikmati permainan lidah Levin di sana. Levin kembali memasukkan miliknya dan membuat Devi melenguh nikmat. Kali ini, Devi berhasil mencapai kepuasan dan membuatnya merasa melayang tinggi. Dia berbaring lemas di tempat tidur, sambil memeluk Levin, membiarkan tubuh polosnya menempel di d**a Levin. “Vin, kalo Gabby tau tentang kita gimana?” tanya Devi sambil memainkan jari di perut Levin. “Kamu takut?” sahut Levin dengan suara berat. “Lumayan.” “Ya kalo gitu kamu harus hati-hati, dan jangan pernah nyebut nama aku di depan dia.” “Tenang aja, aku nggak sebodoh itu.” “Gimana tentang Raymond?” tanya Levin teringat pada kekasih Devi. “Secepetnya, aku bakal putusin dia.” “Jangan, biarin aja dia tetep jadi pacar kamu.” “Kenapa?” “Dengan dia tetep jadi pacar kamu, Gabby nggak akan curiga sama kita.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD