Sikap Bermusuhan

1986 Words
Untuk sesaat, suasana di ruang tamu menjadi hening ketika Abimanyu menanyakan nama ibunya Levin. Tidak ada yang bersuara, Abimanyu, Helen, dan Gabby menunggu pemuda itu menjawab. Namun, Levin hanya diam dan menatap ketiga orang yang memandang ke arahnya. “Boleh Om tau siapa nama ibu kamu?” Abimanyu kembali mengulang pertanyaannya pada Levin, karena pemuda itu sepertinya tidak berniat menjawab. Namun, Abimanyu merasa dia harus tahu siapa nama ibu kandung Levin. Dia harus membuktikan sesuatu dengan mengetahui nama wanita yang sudah melahirkan Levin. “Melia.” Akhirnya Levin menyebutkan nama ibu kandungnya dengan suara pelan. Abimanyu tercekat mendengar nama wanita yang sudah melahirkan Levin. Tubuhnya dingin seketika dan merasa tidak percaya dengan kenyataan di depannya saat ini. Bagaimana mungkin situasi bisa seperti ini. Apakah takdir sedang bermain-main dengan keluarganya dengan mempertemukan putrinya pada pemuda dari wanita itu. Helen yang merasa suasana menjadi sedikit canggung, mencoba memecah keheningan yang terjadi dengan mengajukan pertanyaan pada Levin. “Memangnya mama kamu sakit apa?” Helen bertanya dengan nada lembut. Dia tidak ingin membuat Levin merasa tertekan dengan pertanyaannya. “Mama itu gampang cape kalo terlalu lama kerja. Makanya mama nggak bisa kerja di luar rumah. Dan karena itu juga saya nggak bisa ninggalin mama sendirian di rumah, takut ada apa-apa sama mama.” “Ah, ternyata seperti itu.” Helen mengangguk paham akan penjelasan yang diberikan oleh Levin. “Mama kamu seperti itu udah lama?” tanya Abimanyu yang masih ingin mengorek keterangan dari Levin. “Saya juga kurang tau Om,” sahut Levin dengan suara tenang. “Tapi seingat saya, sejak saya kecil, mama udah kayak gitu. Dulu, masih ada oma yang bantuin jaga, tapi sekarang, oma udah nggak ada, makanya cuma ada saya sendiri sekarang yang bisa jagain mama.” Abimanyu mengangguk singkat mendengar penjelasan Levin. Keterangan dari pemuda itu, cukup untuk membuatnya memahami sedikit situasi keadaan Melia. Untuk saat ini, Abimanyu merasa sudah cukup bertanya pada Levin. Nanti, jika hubungan Gabby dengan pemuda itu terus berlanjut, barulah dia akan bertanya lagi. “Maaf kalo Om terlihat sedikit memaksa buat tahu tentang keluarga kamu. Om nggak maksud apa-apa, hanya ingin lebih mengenal kamu dan keluarga kamu. Om harap, kamu nggak tersinggung dengan semua pertanyaan yang udah Om tanyain.” “Gapapa Om, saya ngerti kok.” Levin tetap menjawab dengan tenang dan sopan pada Abimanyu. Gabby yang sudah tidak betah duduk berlama-lama di ruang tamu, menatap Abimanyu dengan manja dan bertanya tanpa rasa sungkan, walaupun di sebelahnya ada Levin. “Sekarang Papa udah tenang kan? Udah nggak penasaran lagi sama Levin kan?” Abimanyu tersenyum mendengar pertanyaan putrinya. “Terus kalo Papa udah nggak penasaran lagi, kenapa? Kamu mau apa?” Gabby menyeringai lebar dengan jawaban yang diberikan Abimanyu. “Berarti udah nggak masalah kan kalo Gabby terus sama Levin? Papa nggak masalah kan? Papa nggak akan permasalahin tentang Levin yang udah nggak punya papa kan?” “Hm.” Abimanyu mengangguk singkat. Senyum di wajah Gabby semakin lebar. Pernyataan singkat Abimanyu membuktikan kalau ayahnya tidak akan menghalangi hubungannya dengan Levin. Saat Gabby dan Abimanyu berbicara, Levin menatap mereka berdua dengan perasaan berkecamuk. Dia merasa iri sekaligus marah melihat keakraban yang terjadi antara ayah dan anak itu. Seharusnya, dia pun dapat merasakan kehangatan perhatian seorang ayah yang selama ini belum pernah dia dapatkan. Merasa tidak sanggup melihat terus, Levin memilih untuk pulang saja. “Om, Tante, sepertinya saya harus pulang sekarang. Kasian mama di rumah sendirian.” “Ah, iya,” sahut Helen yang teringat dengan penjelasan Levin mengenai kesehatan ibunya. “Kamu tunggu sebentar di sini ya.” Helen beranjak dari sofa dan masuk ke dalam. Helen pergi ke dapur dan menyiapkan sedikit kue yang tadi dibuatnya untuk diberikan pada Melia sebagai buah tangan. Tidak lama kemudian, Helen kembali ke ruang tamu sambil membawa paper bag di tangannya. “Lev, Tante mau titip ini buat mama kamu, gapapa kan?” Helen menyerahkan paper bag yang cukup besar pada Levin. “Ini apa Tan?” Levin terkejut dengan apa yang dilakukan Helen untuknya. “Tadi Tante tuh bikin kue, dan ada cukup banyak. Gapapa kan kalo Tante berbagi sama kamu dan mama?” Levin tersenyum sungkan dengan perhatian yang ditunjukkan Helen. “Saya yang malah nggak enak Tan,” ujar Levin sambil tersenyum malu. “Kenapa harus nggak enak? Sekarang kan kita sudah kenal dan Tante harap selanjutnya kita bisa semakin dekat lagi, dan berharap bisa kenalan juga sama mama kamu.” “Ini beneran gapapa?” tanya Levin sekali lagi. Dia masih merasa sungkan untuk menerima kebaikan Helen. “Gapapa.” Helen meletakkan paper bag di meja, di hadapan Levin sambil tersenyum kecil. “Ini memang nggak seberapa, tapi Tante harap mama kamu suka.” “Makasih banyak Tan,” ujar Levin sembari berdiri. “Kalo gitu, saya pamit sekarang ya.” Levin mengambil paper bag yang ada di meja dan membawanya ke arah pintu. Gabby mengikuti dari belakang dan mengantar Levin sampai ke motor. Dia merasa sedikit berat melepas Levin pulang, akan tetapi Gabby juga tahu kalau kekasihnya harus menemani Melia di rumah. “Aku pulang dulu ya By,” ujar Levin setelah duduk di atas motor. “Hm. hati-hati di jalan. Kalo udah sampe rumah, kabarin aku.” “Iya.” Levin mengelus kepala Gabby sejenak. Setelah itu dia menyalakan motor dan meninggalkan rumah Gabby. Saat sudah cukup jauh dari rumah kekasihnya, Levin menghentikan motor dan membuang paper bag pemberian Helen ke tempa sampah. Levin menyeringai dingin melihat titipan dari Helen sudah berada di tempat yang seharusnya. *** “Mik, hari ini kamu mau pergi nggak?” tanya Alex dari ambang pintu teras belakang rumah Gabby. “Nggak, kenapa emang?” sahut Gabby tanpa melepaskan tatapan mata dari ponselnya. “Temenin aku jalan yuk, bosen di rumah aja.” “Males ah, enakan di rumah.” Alex menghampiri Gabby yang tengah berbaring di sofa. Dia duduk di samping gadis itu yang langsung mengangkat kaki dan dengan sengaja meletakkan di atas paha Alex. “Ayolah, kan kita udah lama juga nggak keluar berduaan aja. Kamu sekarang selalu perginya sama dia mulu.” “Ya wajar kali, namanya juga pacar, jadi ya ke mana-mana jelas berduaan.” “Aku traktir deh.”Alex berusaha membujuk Gabby supaya mau ikut dan menemani dirinya. “Kamu tinggal sebut aja apa yang kamu mau, pasti aku kasih.” Mendengar tawaran Alex, Gabby langsung menurunkan ponsel dan menatap sahabatnya dengan seksama. “Beneran? Apapun yang gue mau?” “Hm, tapi temenin aku jalan. Setuju?” “Okeh, siapa takut,” sahut Gabby sambil menyeringai lebar. “Emang elo mau ke mana?” “Mau liat pameran motor.,” sahut Alex. “Lama nggak?” Gabby bertanya seperti itu karena sangat hafal dengan kelakuan Alex yang tidak akan pulang sebelum puas melihat semua motor yang dipamerkan. Alex sangat menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan kendaraan beroda dua itu. “Ya nggak tau, tergantung di sana. Emang kenapa?” “Kalo elo lama di sana, sogokannya harus kenceng, kalo nggak gue ogah nemenin.” “Iya, iya, aku pasti kasih yang kamu mau. Tapi kamu beneran temenin ya.” “Iye,” sahut Gabby santai. “Mau pergi kapan?” “Sekarang. Makanya aku ke sini. Buruan gih ganti baju.” Gabby beringsut bangun dan duduk sambil mengerucutkan bibirnya. “Dasar, tukang maksa!” Gabby meninggalkan teras belakang dan masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap. Tidak lama kemudian, Gabby kembali dan sudah siap untuk pergi menemani Alex. Bersama pemuda itu, dia berjalan ke depan dan terkejut saat melihat mobil yang biasa digunakan Tanti berada di depan rumahnya. “Naik mobil?” “Hm, takutnya kan pulang malem. Bunda yang nyuruh aku bawa mobil. Bunda nggak mau kamu kepanasan saat pergi, dan kedinginan saat pulang.” Sambil mendengkus geli, Gabby naik ke mobil dan duduk dengan tenang. Alex mengendarai mobil menuju tempat pameran dengan hati senang. Sudah lama dia tidak pergi dengan Gabby, tepatnya setelah gadis itu menjalin kasih dengan Levin. Waktu Gabby lebih banyak dihabiskan bersama pemuda itu dibanding dirinya. Saat masuk ke dalam ruang pameran, Gabby terkesima melihat begitu banyak motor yang dipamerkan di sana. Perhatian Alex langsung teralihkan saat melihat kendaraan roda dua yang dipajang di dalam ruangan. Sambil menggandeng tangan Gabby, dia berjalan perlahan memperhatikan dengan seksama setiap motor yang dipajang. Terkadang, Alex bahkan mengobrol dengan penjual yang bertugas di sana. Dengan setia, Gabby menemani Alex yang sibuk sendiri. Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Kecintaan Alex pada motor, membuat sahabatnya itu kerap mendatangi pameran dan menghabiskan uang sakunya untuk memodifikasi motor kesayangannya. “Gabby?!” Merasa ada yang memanggil namanya, Gabby menoleh ke belakang dan terkejut saat melihat Levin berdiri di belakangnya dengan wajah gusar. “Levin? Ngapain di sini?” “Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu ada di sini?!” Levin menatap tajam pada Gabby yang terlihat biasa saja bertemu dengannya. “Kamu ke sini sama siapa?!” “Sama Alex.” Gabby menjawab dengan santai dan tanpa sedikitpun merasa bersalah ketahuan berada di tempat pameran. “Alex?! Siapa Alex?!” Levin bertanya dengan suara dingin saat mendengar Gabby menyebut nama pria. Gabby mendelik pada Levin ketika mendengar kekasihnya bertanya tentang siapa Alex. Gabby tidak menyangka kekasihnya lupa kalau dia pernah bercerita tentang Alex. “Masa kamu lupa sih?! Aku kan pernah bilang kalo punya sahabat yang tinggal di sebelah rumah dan namanya Alex!” Levin terdiam sesaat, mencoba mengingat tentang sosok bernama Alex yang pernah diceritakan Gabby. “Oh, yang itu. Kenapa mau pergi sama dia, kamu nggak bilang sama aku?!” Levin berusaha mencari pembenaran untuk menutupi kesalahannya. “Emang harus laporan ya?!” tanya Gabby tidak suka. “Kamu sendiri mau pergi ke sini juga nggak bilang sama aku! Andai aku nggak ke sini sama Alex, aku nggak akan tau kalo kamu ke sini juga!” Gabby tidak suka dengan nada bicara Levin yang terdengar dingin dan seperti menyalahkan dirinya. Dia juga tidak suka jika harus selalu melapor saat hendak pergi keluar. Mereka memang berpacaran, tapi bukan berarti dia harus melapor setiap saat pada Levin. Levin terkejut mendengar nada suara Gabby yang berubah gusar. Dia berpikir cepat mencari cara untuk membuat kekasihnya berhenti marah. “Maaf, kamu jangan marah ya By,” ujar Levin dengan nada lembut. “Aku tuh cuma khawatir aja sama kamu, takut kamu kenapa-kenapa. Maaf kalo aku ngomongnya keras.” Gabby mengerucutkan bibir mendengar perkataan Levin. Kendati kesal dengan sikap kekasihnya yang menyebalkan, dia tidak bisa lama-lama marah karena Levin langsung meminta maaf. “Terus kamu ngapain ke sini?!” “Aku diajak temen ke sini, padahal aku udah nggak mau. Kamu kan tau, aku mesti jagain mama di rumah.” “Mik, ayo jalan lagi.” Alex menghampiri Gabby dan belum melihat kehadiran Levin. Saat menyadari Gabby sedang berbicara dengan seorang pemuda, Alex memperhatikan Levin yang tengah menatap tajam ke arah sahabatnya. Dalam hati, dia tidak menyukai tatapan Levin pada Gabby. Namun, dia tidak menunjukkan perasaannya dan tetap bersikap biasa. Alex mengulurkan tangan ke arah Levin sambil tersenyum ramah. “Saya Alex, sahabatnya Gabby,” ujarnya tenang. “Kamu pasti Levin kan? Apa kabar?” Dengan wajah kaku, Levin menerima uluran tangan Alex. “Baik.” Alex yang melihat situasi kurang baik, memilih untuk mengalah. Dia menatap Gabby dan bertanya dengan suara tetap tenang. “Mik, kamu mau bareng sama Levin aja atau?” “Nggak usah, gue tetep sama elo aja,” sahut Gabby mantap. “Levin ke sini sama temennya. Kalo ikut dia, ntar gue malah ganggu.” Gabby sengaja menatap Levin dan ingin melihat reaksi kekasihnya. “Aku bareng sama Alex, gapapa kan?” Levin gusar mendengar perkataan Gabby yang sengaja menantang dirinya. Namun, dia berusaha menutupi perasaannya. “Gapapa, kan memang dari awal kamu datengnya sama dia.” Sinar mata Levin saat menatap Gabby membuat Alex tidak nyaman. Dia menyadari sikap bermusuhan yang ditunjukkan Levin padanya. Hal itu membuat Alex semakin ingin melihat sejauh mana rasa tidak suka Levin padanya. “Lev, kamu beneran nggak marah kalo Gabby tetep sama saya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD