3. Tawaran atau Paksaan

1791 Words
Belum habis keterkejutannya melihat Gala, Gala sudah membuka pintu lebih lebar hingga tubuh atletisnya yang terbalut kaus polo hitam dan celana jeans biru terlihat mengagumkan. Namun, Kirana segera membuang jauh-jauh pikiran tersebut. Sekagum apa pun dirinya pada Gala, itu hanya berlaku di masa lalu. Saat ia masih remaja dan belum tahu sepicik apa pria yang memiliki wajah tampan bak jelmaan dewa itu. “Silakan masuk.” “Tidak,” tolak Kirana, “aku hanya mengantarkan pesanan Mas.” “Masuk.” Kali ini ada nada perintah dalam ucapan Gala yang tidak bisa ditolak. Kirana mencoba memutar otak mencari solusi supaya bisa menghindar, tetapi gerakan impulsif Gala yang tiba-tiba mencekal dan menarik tangannya membuat Kirana kehilangan keseimbangan. Kotak makanan yang dipegangnya terjatuh. “Ya, ampun!” Pandangan Kirana jatuh ke kotak makanan yang isinya sudah berserakan di lantai. “Sudahlah. Biarkan saja.” Gala kembali menarik tangan Kirana dan tidak melepasnya sampai mereka mencapai sofa di ruang tamu. Dia kemudian mendorong pundak Kirana untuk duduk. “Duduk!” Kirana berusaha bangkit lagi, tetapi sekali lagi Gala mendorong pundak nya lebih kencang sampai Kirana jatuh terduduk dan punggungnya membentur sandaran sofa “Kalau kamu tidak mau duduk, aku akan mengikatmu di kursi,” ancam Gala. “Aku bukan adik kecil penurut lagi,” tepis Kirana, “ingat, Mas. Aku bukan adikmu dan aku bukan siapa-siapamu. Mas tidak berhak mengaturku.” “Aku pun tidak pernah berharap kamu menjadi adikku. Tidak sama sekali.” Rahang Gala tampak mengeras dan tatapan keemasannya menggelap. “Aku hanya ingin bicara sama kamu.” Entah badai apa yang telah diciptakan Gala di dalam ruangan tersebut, tetapi Kirana merasakan sensasi dingin luar biasa yang menyengat tubuhnya. Dan Kirana percaya kalau suhu dingin itu bukan berasal dari embusan AC. Berbanding terbalik dengan tubuhnya, mata Kirana merasa terbakar oleh jilatan api sakit hati. Kabut bening pun menutup pandangan wanita itu. “Mau bicara a-pa?” Kirana bertanya dengan susah payah sambil menahan tangis. Gala mengambil tempat duduk di seberang Kirana. “Aku mau kamu bekerja di perusahaanku.” “Itu perusahaan papaku.” Air mata Kirana lolos mengalir ketika dia mengatakannya. “Goddamnit!” Umpatan pelan meluncur dari dari bibir Gala. Rahangnya kembali mengeras dan rasa sesak semakin menghambat aliran ke paru-parunya. Bagaimana cara membuat wanita bodoh ini mengerti? pikir Gala. Sudah delapan tahun dan dia masih berpikiran sama. “Terserah kamu mau bilang apa.” Akhirnya Gala tak punya pilihan lain selain membiarkan Kirana berpikiran sesukanya. “Aku tahu kamu dan Mama ....” Gala menjeda ucapannya saat mengatakan mama, tapi dia melanjutkannya sesaat kemudian. “... hidup serba kekurangan.” “Mas yang membuat kami seperti itu,” sambar Kirana. “Kalian sendiri yang membuat pilihan itu.” Kirana memandang Gala dengan kemarahan berkobar di matanya. Bagaimana mungkin Gala bisa mengatakan penderitaan yang dia dan mamanya alami adalah pilihan mereka sendiri? “Apa aku dan Mama punya pilihan saat pengacara Mas dan orang-orangnya mengusir kami dari rumah kami sendiri? Apa aku sama Mama diberi pilihan atau diberi sedikit saja bagian dari perusahaan yang sudah dikelola Papa selama belasan tahun? Tidak, ‘kan? Mas juga sudah memanfaatkan kematian Mas Altair. Andaikan Mas Altair masih hidup, Mas Altair pasti bisa mengahalangi niat buruk Mas.” Tangis Kirana pecah. Gala merasa terenyuh melihat kesedihan Kirana. Keinginan untuk merengkuh Kirana ke dalam pelukan begitu besar. Namun, keadaan membuatnya tetap bertahan di tempat duduknya. Dia tidak akan membela dirinya sekarang, tetapi dia juga tidak akan membiarkan Kirana menolak segala penawarannya. Janjinya pada Altair, sahabat sekaligus saudara, tidak mungkin dia ingkari. Delapan tahun Gala mencari keberadaan Kirana dan mamanya. Dia tidak akan menyia-nyiakan pertemuan mereka. “Altair sahabatku. Dia sudah seperti saudaraku. Aku tidak akan pernah memanfaatkannya apalagi memanfaatkan kematiannya. Kalau kamu menolak bekerja di perusahaanku, aku tidak punya pilihan selain mempercepat pernikahan kita,” cetus Gala. Kirana melebarkan mata. Tatapan tajam berair yang dibingkai bulu mata lentiknya terarah pada Gala. Kirana bangkit dari duduknya. “Duduk!” Kali ini Gala memerintah dengan kasar. “Aku tidak mau. Aku mau pulang.” Kirana tak memedulikan perintah Gala. Dengan berani, dia berjalan meninggalkan ruang tamu. Namun, langkahnya tertahan di pintu. Seharusnya dia tahu tidak bisa keluar dari sana dengan mudah sebelum Gala mendapatkan keinginanya. “Aku hanya berniat baik.” Suara Gala mencapai telinga Kirana. Tanpa menoleh ke belakang, Kirana tahu pria itu pasti sudah berada di belakangnya. “Aku tidak mengharapkan niat baik Mas. Mas mendapatkan ide gila dari mana untuk menikah denganku? Mas punya kekasih. Apa Mas tega mengecewakannya?” Kirana masih mengahadap ke daun pintu dan tidak berani memutar tubuhnya. Gala yang sekarang jauh berbeda dari yang dulu. Dia bukan lagi pelindungnya. Sekarang pria itu ancaman untuknya. “Tidak ada seorang pun yang bisa mengubah keputusanku. Tidak juga kakak pacarmu itu,” sergah Gala. Dugaan Gala tidak membuat Kirana terkejut. Wanita itu justru senang Gala mempunyai asumsi sendiri tentang hubungannya dengan Arsenio. Akan tetapi, Kirana perlu keluar dari sana secepatnya. “Buka pintunya, Mas. Tolong.” “Aku tidak akan membuka pintu sebelum kamu memberi keputusan.” “Keputusanku sudah jelas. Aku tidak tertarik menerima tawaran Mas. Apa pun itu.” “Kalau begitu, kamu akan tetap di sini sampai kamu memberi keputusan.” Apa? Gala seenak jidatnya memerintah dan mengatur. Emosi berkadar kemarahan pun merayap hingga ke sanubari Kirana. Wanita itu memutar tubuhnya dan menatap Gala dengan geram. “Mas pikir Mas itu siapa? Buka pintunya atau ....” Ah, sial. Kirana tidak punya sesuatu untuk mengancam balik Gala. “Atau apa?” Gala mengangkat sebelah alisnya seraya menantang. Dia kemudian melangkah lebih mendekat ke Kirana dan mematri tatapannya pada tatapan wanita itu. Wajah mereka hanya berjarak sekitar dua puluh sentimeter saja. Suasana canggung sekaligus menegangkan pun mulai menyelimuti keduanya. “Bekerja untukku di perusahaanku atau menjadi istriku?” imbuh Gala bersikukuh pada penawarannya. Bunyi bel yang memenuhi seisi ruangan sesaat kemudian akhirnya mengurai ketegangan. Kirana segera menyeka air mata dengan lengan jaketnya, kemudian bergeser dan berdiri merapat ke dinding di samping kosen pintu. Air muka Gala bertransformasi menjadi terlihat lebih tenang. Ia melirik Kirana sebelum membuka pintu. “Halo, Sa ....” Salam Lula mengambang melihat Kirana yang berdiri di samping pintu sambil menggenggam tangan sendiri dan sedikit menunduk. “Kirana?” tatapan penuh selidiknya menjelajahi wajah Kirana. Kirana mengangguk. “Sedang apa kamu di sini?” Untungnya Kirana bisa berpikir cepat. Dia melihat dus makanan pesanan Gala yang jatuh. “Mengirim pesanan Pak Gala, tapi pesanannya jatuh, Mbak.” “Kok bisa sih?” Alis Lula yang diukir seperti bulan sabit terangkat. “Saya yang kurang hati-hati, Mbak.” “Lain kali kalau membawa pesanan, hati-hati, ya.” “Iya, Mbak.” Kirana kemudian berjongkok memunguti dus dan sisa makanan yang berserakan di lantai. “Kamu sebaiknya menunggu di dalam.” Gala meminta Lula untuk pergi ke ruang tamu. “Oke.” Setelah memastikan Lula tidak berada di sekitar sana, Gala kembali memberi peringatan pada Kirana. “Kutunggu keputusanmu besok.” Kirana mengangkat wajahnya menatap Gala dan melayangkan tatapan penolakannya pada tawaran pria itu. “Tinggalkan itu di sana.” Kesal. Kirana bangkit berdiri dan segera hengkang dari sana. Thanks to Lula lantaran sudah membebaskannya dari Gala. Sementara itu Gala tidak bisa berpikir dengan tenang setelah Kirana pergi. Dia lebih memilih duduk di kursi berkaki tinggi di balik meja mini bar sambil meneguk wine daripada menemani Lula. Seluruh pikirannya terpusat pada ingatan akan Kirana. Gadis kecil yang selalu ingin dia lindungi dan sayangi itu kini sudah tumbuh menjadi wanita yang cantik. Gala harus mengakui itu. Dia nyaris tak bisa menahan diri untuk mencium Kirana saat Kirana berada di belakang pintu tadi. Sial! Gala mengutuki dirinya sendiri lantaran Kirana mulai mendominasi pikirannya. “Kenapa kamu di sini?” Lula tiba-tiba saja muncul di seberang meja. Wanita itu kemudian duduk di kursi bar di depan Gala. Gala mengedikkan pundaknya. “Hanya sedang ingin menikmati wine di sini.” “Bagaimana kalau menikmati wine-nya di kamar?” Lula menggigit bibir bawahnya memperlihatkan sebuah isyarat panas. Sayangnya, Gala justru menggeleng. “Di sini saja.” *** Setelah beberapa kali menolak ajakan Arsenio, akhirnya sore itu Kirana memutuskan untuk pergi nonton bersamanya. Layaknya sepasang kekasih, padahal belum jadian. Arsenio terus menggenggam tangan Kirana sepanjang film diputar sampai selesai. “Elo ngapain sih megangin tangan gue terus?” tanya Kirana sambil berjalan menuruni anak tangga studio. “Gue takut elo ilang, Na.” Kirana tertawa kecil. “Memangnya gue koin yang gampang ilang?” “Gue takut elo diambil orang.” “Elo ini lucu, Sen. Siapa juga yang mau sama gue?” “Ya, guelah,” jawab Arsenio spontan. “Cowok kayak elo tuh paling bisa ngegombal.” Arsenio menghentikan langkahnya tepat di depan pintu studio. Dia memosisikan dirinya berdiri di depan Kirana, lalu menatap dalam-dalam mata wanita itu. “Gue bersumpah gue enggak pernah ngegombalin cewek selain elo. Gue suka sama elo, Na. Mm, bahasa kerennya tuh ....” Arsenio menelengkan kepala sementara bola matanya mengarah ke langit-langit studio. Sedetik kemudian setelah menemukan kata yang tepat, Arsenio mengembalikan lagi tatapannya pada Kirana. “Saranghaeyo.” Kirana mengangkat alisnya lalu tertawa lagi. “Makin parah gombalannya.” “Serius, Na,” tandas Arsenio. “Kalau Santi tahu, pasti dia ngakak.” “Santi emang rese. By the way, elo mau kan nganter gue ke Gramed?” Kirana mengangguk. “Boleh. Mau beli buku apa?” “Cara Memikat Hati Wanita.” Kirana mencubit pelan lengan Arsen. “Elo tuh ya!” Mereka pun berjalan keluar dari bioskop, lalu turun ke lantai berikutnya menggunakan eskalator. Lagi-lagi Arsenio menggenggam tangan Kirana meskipun Kirana sesekali ingin melepasnya. Tidak terasa, perjalanan mereka tengah melewati setengah putaran mal. “Sen!” Suara yang mulai akrab di telinga Kirana terdengar memanggil Arsenio. Kirana dan Arsenio kompak menoleh ke belakang. Mereka melihat Lula dan Gala berjalan sambil bergandengan tangan. Kirana dan Arsenio pun kompak memutar tubuh mereka. “Shopping?” tanya Arsenio asal. “Kalian?” Lula balik bertanya. “Habis nonton,” jawab Arsenio, “sekarang mau ke Gramed mau nyari buku.” Sementara kakak-beradik itu memulai sesi tanya-jawab, Kirana hanya diam memperhatikan sambil menggigiti bibir bawahnya. Wanita muda itu tidak sadar kalau dia sedang menebar godaan pada pria yang berdiri beberapa meter di hadapannya dan berada persis di samping Lula. Berhenti! Gala ingin sekali berteriak di telinga Kirana supaya wanita itu menghentikan aktivitasnya menggigiti bibir. Demi mengalihkan denyut hasrat yang diam-diam terserap ke bawah pinggangnya, Gala sengaja mengedarkan pandangan ke sekeliling berharap hasrat itu bisa cepat hilang. “Mas, kita makan bareng yuk!” ajak Arsenio. Gala mengerjap berusaha mengembalikan kesadarannya. “Apa?” “Makan bareng, Sayang,” ulang Lula, “Arsen ngajak kita makan bareng. Dia mau mentraktir kita karena baru jadian sama Kirana.” Jadian? Tidak boleh. Gala Mengeraskan rahangnya dan menatap tajam Kirana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD