"P-pak Devan...." Eca benar-benar terkejut dengan perlakuan yang dibuat Devan. Ia sampai menarik kakinya menjauhi Devan, sebelum Devan berhasil memasangkan sandal itu.
"Bapak tidak perlu repot-repot. Saya bisa memakainya sendiri," pinta Eca sembari merebut sandal yang masih berada di tangan Devan.
Tangan Devan hanya menggantung di udara karena sandal sudah berpindah ke tangan Eca. Devan baru menyadari jika sikapnya membuat Eca tidak nyaman. Ia segera berdiri dan berdehem sebelum berkata, "Siapa yang mau makein? Jangan terlalu percaya diri kamu."
"Tapi kan...."
"Kalau sudah selesai kamu bisa pergi," ucap Devan memotong kalimat Eca. Ia segera berdiri dan berjalan menuju bangkunya,lalu segera memeriksa apapun yang ada di atas bangkunya, untuk menutupi sikap salah tingkahnya.
"Baik, Pak." Meski bingung dengan perubahan drastis Devan, namun Eca tidak bisa berbuat apapun. Segera dipakainya sendal itu sebelum meminta izin untuk pergi. "Saya permisi dulu, Pak."
Eca hanya bisa mengomel sepanjang perjalanan menuju ruangannya. "Tuh orang lagi kenapa, sih? Apa kesambet?"
Tak mau memikirnya, Eca memilih mengabaikannya dan segera masuk ke dalan ruaangannya, karena jam kerja sudah dimulai. Lalu, setibanya dia di dalam ruangannya, ia langsung disambut dengan raut khawatir dari Putri.
"Gimana, gimana, Ca? Lo habis dimarahin Pak Devan? Terus lo suruh ganti rugi berapa?" cerocos Putri saat Eca baru saja masuk ke ruangannya.
Eca berjalan melewati keberadaan Putri dan segera duduk pada bangkunya. "Aneh deh?" tanggap Eca sambil menggaruk tengkuknya.
"Hah? Aneh gimana?" Putri turut mengekori Eca. Ia langsung duduk di depan Eca tanpa dipersilahkan.
"Ya aneh aja itu si Pak Devan. Masak sesampainya gue di sana, bukannya bahas masalah insiden kemarin malam, dia malah paksa gue suruh pakai sandal ini karena tahu gue hamil," ucap Eca sambil memperlihatkan kedua kakinya yang telah memakai sandal datar.
"What?! Beneran?" tanya Putri tak percaya.
Lalu anggukan tanpa ragu dari Eca, membuat Putri menyimpulkan satu alasan. "Apa mungkin... Pak Devan suka sama lo, Ca?"
Eca langsung terbahak mendengar kesimpulan absurd yang diucapkan Putri. "Sembarangan! Ada-ada aja lo, Put. Mana mungkin Pak Devan suka sama gue?"
"Habisnya semua janggal aja bagi gue, Ca. Lo kemarin cerita kalau dia nonjok Adit di parkiran, kan? Terus dia bebasin kita, padahal jelas-jelas bagian belakang mobilnya penyok kayak gitu. Nah sekarang, dia nyuruh lo pakai sandal tanpa heels. Itu apa namanya kalau bukan perhatian, coba?"
Eca hanya berdecak menanggapi praduga Putri yang menurutnya tidak berdasar. "Gue jamin seratus persen, kalau semua yang dilakukan Pak Devan itu, pasti ada maksud terselubung. Semacam pencitraan mungkin? Kan bisa jagi. Intinya, gak mungkin banget Pak Devan suka sama gue. Gue jamin itu."
"Dih percaya diri banget lo? Ya udah, awas aja ya kalau entar lo suka sama dia?" ledek Putri.
"Astaga! Gue mana ada pikiran ke sana sih Put? Status gue aja masih bini orang. Lagian, gue harus fokus cari uang buat anak gue entar," ucap Eca dengan tegas.
Putri langsung tersenyum sambil mengangguk. "Nah, gitu dong? Itu baru yang namanya Eca. Gue seneng Ca, lo udah mulai bisa happy kayak gini. Jangan sedih lagi. Kasian ponakan gue tuh di dalem perut lo," ucap Putri yang mendapati wajah Eca sudah tidak semurung kemarin.
"Ya kalau sedih sih jelas masih ada, Put. Tapi ya mau gimana?"
"Iya, gue tahu Ca. Kalau gue ada di posisi lo, juga belum tentu gue bisa hadepin. Yang penting jangan berlarut-larut dalam kesedihan lo itu, oke? Masih ada gue, bokap nyokap lo, dan calon anak lo. Laki-laki yang lebih baik dari Adit mah banyak. Lo gak usah sedih kehilangan suami brengs*k kayak dia. Atau mau gue kenalin sama seseorang?"
"Ye... apaan sih, Put." Ucapan Putri yang terakhir kali, membuat Eca langsung menekankan ujung bolpoin yang sedari tadi dipegangnya pada kening Putri, hingga si pemilik kening mengaduh.
"Ya, kali aja lo mau, Ca. Gak ada salahnya kan?" jawab Putri sambil mengusap keningnya bekas tekanan bolpoin dari Eca.
"Lo gak pertimbangin status gue? Gue sama Adit belum cerai Put? Mana bisa kita cerai resmi kalau aku lagi hamil?"
"Ah, iya. Gue lupa." Putri menepok keningnya sendiri. Seperti teringat sesuatu, Putri kembali bertanya, "Ngomong-ngomong, lo gak penasaran sama selingkuhan Adit?"
Eca menyenderkan punggungnya pada bangku sambil menghirup udara dalam-dalam. "Kalau dibilang penasaran, udah pasti sangat penasaran. Tapi bukan itu permasalahannya sekarang, Put. Gue emang harus cari siapa wanita itu, buat kumpulin bukti perselingkuhan si Adit. Itu bukti penting yang semakin memudahkan gue gugat dia entar."
"Bener banget, lo Ca," tanggap Putri sambil mengangguk pelan.
Belum selesai Eca dan Putri membicarakan masalah rumah tangganya, suara ketukan dari luar ruangan Eca, membuat keduanya langsung bungkam.
"Masuk!" ucap Eca yang langsung membuat si pengetuk masuk.
"Permisi Bu Eca, tadi Bu Eca menyuruh saya datang ke ruangan Bu Eca."
"Ah, iya Far. Sini duduk," tanggap Eca yang langsung mempersilahkan Fara duduk di depannya, bersebelahan dengan Putri.
"Lo makin cantik aja, Far?" celetukan Putri membuat Fara langsung tersenyum. Putri menyipitkan matanya sebelum kembali bertanya, "Lo lurusin rambut? Pantesan kayak ada yang beda."
Berkat celoteh Putri, Eca akhirnya menyadari jika penampilan Fara yang berbeda dikarenakan rambutnya. "Ah iya, kenapa aku gak sadar?"
Wanita yang menjadi bahan pembicaraan itu tersenyum saat memberi penjelasan. "Iya Bu, suami saya yang minta agar rambut saya dilurusin. Jadi saya turutin saja."
"Lo udah nikah?" tanya Putri terkejut.
Sama halnya dengan Putri, Eca juga terkejut dengan pernyataan yang keluar dari mulut Fara. "Kok kamu gak undang kita, Far?" tanya Eca.
Fara tersenyum kembali sebelum memberi penjelasan lagi. "Iya, karena kita cuma nikah secara agama. Rencananya nanti setelah anak kita lahir, baru nikah secara resmi. Nanti Bu Eca dan Mbak Putri pasti saya undang."
Pernyataan Fara membuat Eca dan Putri kembali terkejut. "Kamu hamil? Jadi kamu ambil cuti seminggu itu karena kamu hamil?" tanya Eca penasaran.
"Iya, Bu. Entah kenapa rasanya lemes banget waktu itu. Padahal usia kandungan saya hampir masuk bulan ke tiga."
"Enggak apa-apa, Far. Yang penting sekarang kamu sudah sehat. Oh ya selamat ya?"
"Terima kasih Bu Eca," Fara kembali tersenyum. "Jadi saya dipanggil untuk apa ya Bu?"
"Ah, itu karena saya pengen kamu yang handle untuk urusan menu yang akan kita sajikan ke tamu undangan kita nanti. Saya denger-denger kamu dulu pernah sekolah di tata boga?"
"Ah, iya Bu. Dulu itu saya hobi banget masak. Jadi saat SLTA, saya pilih sekolah di tata boga. Tapi entah kenapa, kuliahnya malah ambil jurusan managemen marketing," jelas Fara sambil tersenyum.
Entah kenapa, setiap melihat Fara tersenyum, membuat Eca merasa iri dan memikirkan banyak hal tentang Adit. Seperti, "Apa wanita selingkuhan Adit juga masih muda dan cantik seperti Fara?"
Dan masih banyak pikiran dalam otak Eca.
"Enak dong suami lo. Punya istri pinter masak," celetuk Putri tiba-tiba yang membuat lamunan Eca langsung buyar.
Fara kembali tersenyum sebelum menjelaskan. "Enggak juga, Mbak. Suamiku jarang sekali pulang."
Terlihat ada kesedihan dalam ucapan Fara, yang membuat Putri langsung mengusap pelan pundak Fara. "Udah, sabar aja. LDR itu enak lo. Bisa kangen-kangenan terus."
"Iya, Mbak."
Wejangan Putri langsung mendapat cibiran dari Eca. "Sok banget ngasih nasihat. Padahal lo aja pasangan gak punya."
"Ya jangan buka kartu juga dong, Ca?" protes Putri sambil merengut.
Akhirnya mereka saling menertawakan celoteh yang terus keluar dari mulut Putri. Sebelum Fara akhirnya berpamitan untuk kembali bekerja.
"Kalau begitu, saya kembali bekerja dulu, Bu. Sepertinya banyak sekali yang harus saya lakukan."
Fara menyibak anakan rambutnya ke belakang telinga, dan mengundang sanjungan Putri yang tak sengaja melihat gelang di pergelangan tangan Fara. "Wah! Bagus banget gelang lo Far? Pasti mahal banget ini?"
"Ah, ini suami saya yang belikan untuk mahar pernikahan kita, Mbak."
Eca yang tadinya tak memperhatikan, akhirnya ikut perhatikan gelang yang dikenakan Fara akibat ucapan Putri.
Raut Eca yang sebelumnya ceria langsung berubah terkejut, saat menyadari sesuatu.
"Far, saya boleh lihat gelang kamu?" pintanya dengan raut serius yang membuat Putri dan Eca terdiam.
"Boleh, Bu," jawab Fara sambil menyodorkan tangannya ke arah Eca dengan percaya diri.
Berbagai macam pikiran langsung terlintas, saat Eca melihat dengan jelas bentuk gelang yang dipakai Fara. Ingatannya langsung menggali kembali kejadian saat dia menemukan anting pada saku jaket Adit.
Badan Eca langsung lemas, ketika menyadari satu hal. "Bentuk permata ini, sama persis dengan permata pada anting yang aku temukan di saku jaket Adit. Apa gelang Fara satu set dengan anting itu?"