"Bu Eca? Bu Eca?" Lea sampai melambaikan tangan tepat di depan wajah Eca, karena istri dari mantan atasannya dulu itu, hanya diam tanpa memberi tanggapan.
Seolah kehilangan kesadaran, Eca malah membayangkan kebersamaan Adit dan Lea di belakangnya selama ini. Ia baru terjingkat kaget, saat Lea menepuk pundaknya pelan.
"Ah, iya. Maaf aku sedang tidak fokus," jawab Eca sambil mengusap wajahnya karena berusaha tutupi keresahannya. Dia segera menunjuk arah lift dan berkata, "Kamu langsung saja naik ke lantai delapan. Putri ada di sana."
"Ah... Baik Bu Eca terima kasih. Ibu sedang sakit?" tanya Lea yang mulai menyadari ketidak beresan dari Eca.
"Enggak, enggak. Saya tidak apa-apa," jawab Eca cepat sambil sedikit menggeleng.
"Baik, kalau gitu saya jalan duluan ya Bu."
Eca hanya mengangguk sembari memperhatikan penampilan keseluruhan Lea yang mulai menjauh darinya. Hanya satu hal yang terpikirkan dari tadi. Ia segera mengambil ponselnya di dalam tasnya, dan segera mencari nomor si pengirim gambar itu. Tanpa berpikir panjang, Eca segera menekan tombol panggilan sembari memperhatikan Lea yang sudah berjalan jauh dari keberadaannya. Jika Lea akan mengangkat telepon itu, berarti Lea lah si pengirim, sekaligus wanita yang dikencani Adit. Begitu pikir Eca.
Namun...
"Argh, Sial!" umpat Eca sambil melipat kembali ponselnya dengan keras. Nomor yang dituju ternyata tidak aktif. Ia hanya mendengar suara operator di sana. Tidak sesuai dugaannya.
Gemuruh dalam d*danya kembali memuncak. Bayangan tentang kebersamaan Adit dengan Lea terus memenuhi otaknya sejak tadi. Meski semua belum tentu benar, namun pikirannya sudah terlanjur terisi dengan bukti yang menjurus ke sana.
"Lo gak boleh lemah, Ca." Eca menyemangati dirinya sendiri. Diusapnya dengan perlahan permukaan perutnya yang masih rata. Setidaknya, ia harus bertahan karena anak dalam kandungannya.
Setelah ia mengambil nafas panjang dan mengatur nafasnya, ia baru kembali berjalan ke luar untuk menuju parkiran. Namun, langkahnya kembali terhenti, karena melihat sosok yang selama ini dicintainya sudah berdiri dari kejauhan.
Hanya satu hal yang terpikirkan Eca, saat melihat sosok Adit di sana. "Apa Lea ke sini dianterin sama Adit?"
Hanya itu satu-satunya kemungkinan yang terpikirkan Eca. Tangan Eca mengepal kuat tanpa disadarinya. Kecewa dan amarah bercampur menjadi satu, memenuhi hatinya.
Eca segera berjalan cepat menuju mobilnya, tanpa peduli dengan teriakan Adit yang terus memanggil namanya. Lalu saat dia hendak mencapai pintu mobilnya, Adit malah menarik lengannya.
"Eca? Tunggu, Ca." Sentuhan Adit segera ditepis oleh Eca.
"Lepasin!" perintah Eca.
Sekilas Eca perhatikan, kantung mata Adit begitu kentara. Penampilannya juga terlihat tak segar seperti biasanya. Namun Eca memilih acuh, tanpa tunjukkan rasa pedulinya lagi. Ia sengaja terdiam, dan membiarkan Adit berbicara lebih dulu.
"Eca?" Adit kembali berusaha meraih tangan Eca, namun lagi-lagi mendapat penolakan dari Eca.
Laki-laki itu menghela nafas panjang dan tunjukkan raut penyesalan saat berusaha mencari arah pandang Eca. "Apa kamu baik-baik saja, Ca?"
Pelupuk mata Eca terasa memanas, mendengar ucapan Adit. Susah payah ia menahannya, dan dia tidak ingin tunjukkan kesedihannya di depan Adit. Ia terus memalingkan muka, dan segera mengusap cairan bening yang mulai luruh di sudut matanya.
"Apa kamu cukup tidur? Apa kamu cukup makan? Maafin, aku Ca." Suara Adit terdengar bergetar. Permintaan maafnya juga terdengar tulus. Hanya saja, hati Eca terlalu sakit menerima semua kenyataan ini.
"Cukup, Dit?" Telapak tangan Eca terangkat ke atas, menunjukkan tanda berhenti. "Semua sudah terlambat, Dit. Permintaan maaf kamu, tidak akan mengubah apapun. Aku akan tetep gugat kamu."
"Eca, please jangan bilang gitu. Aku udah tungguin kamu di sini sejak pagi. Kita bisa bicarain semua ini baik-baik. Kita-"
"Bicara baik-baik gimana?" potong Eca cepat. Namun ucapan Adit yang menyatakan jika sudah berada di sini sejak pagi, membuat Eca menyadari jika Lea tidak datang bersama Adit.
Lalu, ingatannya tentang foto yang dilihatnya tadi, membuat d*da Eca kembali terasa sesak.
"Kamu sudah nikah sama wanita itu, kan?" Tembak Eca. Eca tak kuasa menahan tangis saat menanyakan hal itu terhadap Adit.
Sementara Adit terlihat sangat terkejut dengan pernyataan yang keluar dari mulut Eca. Namun tak ada penyangkalan, yang semakin membuat Eca yakin jika foto yang diterimanya tadi memang benar.
"Eca... Aku...."
"Siapa wanita itu?" Ganti Eca yang berusaha mencari arah pandang Adit. "Apa wanita itu Lea, mantan asisten kamu dulu?"
"Apa? Bukan," sangkal Adit cepat sambil mendongak. Lalu ia kembali menundukkan kepalanya saat menjelaskan. "Ada alasannya kenapa aku menikahinya, Ca. Itu karena ayahnya yang sudah sakit parah, dan Memintaku untuk menjaga putrinya."
"Lalu, dengan cara nikahin dia solusinya?" Eca menertawakan ucapan Adit. Namun cara tertawanya terdengar sangat miris. "Apa keluarganya tahu kalau kamu sudah punya istri?"
Kepala Adit terlihat menggeleng meski samar. "Orang tuanya memang tidak tahu. Tapi dia tahu kalau aku punya istri."
"Dan dia tetep mau kamu nikahin?" Tangan Eca bertepuk tangan, meski tak ada suara. "Wah... pinter banget kamu ngerayunya."
"Aku terpaksa, Ca. Tidak ada pilihan lain."
"Oh, jadi itu pemikiranmu. Kalau begitu, kamu harus bersiap kehilangan aku dan anak kita." Eca berbalik, hampir mencapai daun pintu. Namun Adit segera mencengkram pergelangan tangan Eca.
"Kita harus bicarain ini baik-baik, Ca. Tolong dengerin dulu penjelasanku."
Pikiran Eca sudah terdistraksi dengan siapa wanita itu. Bukannya menanggapi ucapan Adit, Eca malah bertanya hal yang ingin diketahuinya sejak kemarin. "Kalau bukan Lea, siapa wanita itu? Apa aku mengenalnya?"
Adit menggeleng. Tidak ada pilihan baginya selain menjawab ucapan Eca. "Kamu tidak mengenalnya." Adit semakin mengeratkan genggamannya pada pergelangan tangan Eca. "Tolong beri aku waktu, agar aku bisa lepas dengan dia. Aku akan kembali menjadi suamimu seutuhnya setelah itu."
"Percaya diri banget kamu bilang seperti itu? Kamu pikir aku mau?" Eca segera menghempaskan tangan Adit. Amarahnya semakin meledak mendengar pernyataan Adit yang menurutnya sangat seenaknya. "Sekarang, pertemukan aku sama wanita itu!"
Perintah Eca langsung ditolak Adit. "Enggak usah, Ca. Itu tidak perlu."
"Kenapa? Kamu takut aku akan menjabak rambutnya?"
Adit mengusap kasar wajahnya. "Ca... bukan gitu, aku hanya enggak mau kamu terlibat dalam masalah."
"Kamu sendiri yang bikin masalah, Dit," ucap Eca dengan nada tinggi. "Sekarang jawab, apa kamu sudah cinta sama wanita itu?"
Eca berusaha mencari arah pandang Adit, berharap pria di depannya itu menyanggah pertanyaannya. Sejujurnya, Eca masih sangat mencintai Adit sehingga berat melepasnya. Namun ternyata, gelagat yang ditunjukkan sang suami, bertolak belakang dengan harapan Eca.
Tak ada ucapan yang keluar dari mulut Adit. Dan itu semakin menguatkan dugaan Eca, jika Adit juga mencintai wanita itu.
Sebelum kemarahan Eca memuncak, ia segera membuka pintu mobilnya, memilih pergi dari hadapan Adit. Namun lagi-lagi Adit mencegahnya dan menarik lengan Eca sehingga wanita itu berteriak kencang. "Lepasin!"
"Eca, jangan pergi. Tolong dengerin-"
Belum selesai Adit berbicara, rahang kanannya terasa dihantam tinjuan hingga ia terjatuh ke sisi kiri. Cairan kental kemerahan terasa keluar dari sudut bibirnya.
"Pak Devan?!" Eca sendiri sangat terkejut dengan kehadiran Devan tiba-tiba. "Kenapa Bapak ada di sini?"
Devan tak menanggapi pertanyaan Eca. Dia malah berjalan mendekati Adit yang masih terduduk, dan menarik kerahnya hingga tak ada pilihan bagi Adit untuk ikuti pergerakan tangan Devan.
"Jangan perlakukan wanita dengar kasar! Kalau Eca tidak mau, anda jangan maksa!" ucap Devan dengan keras.
Eca sampai melongo, menyadari Devan yang ternyata tahu namanya. Dia pikir, bos songongnya itu tidak pernah bisa mengingat nama karyawannya.
"Anda gak usah ikut campur. Siapa anda!?" Tak mau kalah, Adit mendorong tubuh Devan hingga pria kekar itu mundur selangkah. Namun tidak mudah membuat Devan tumbang, karena kekuatan mereka tidak sebanding. Badan Devan jauh lebih besar dari Adit.
"Saya bosnya. Saya berhak menjaga karyawan saya."