CHAPTER 15

1062 Words
"Apa, jadi papamu kesini?" Yohana tampak terkejut ketika sore itu ia pindah dinas ke RSUD yang sama dengan Andhara. Andhara yang seharusnya sudah jam pulang itu hanya mengangguk sambil menghela nafas kasar, ia tidak pulang dan malah memilih standby di IGD bersama Yohana dan beberapa koas dan dokter internship. "Kalian bertengkar?" tanya Yohana hati-hati, tampak sangat di wajah itu raut sedih dan kecewa. "Tidak, ia hanya meminta maaf lagi tadi, sama mengantarkan mobilku ke sini," Andhara menopang dagunya, entah mengapa tumben sekali IGD sepi sore ini. "Dan kau belum bisa memaafkan beliau, benar bukan?" tebak Yohana yang tahu betul bagaimana karakter Andhara. "Aku beri dia pilihan, aku bisa memaafkan dia jika ia bisa menghidupkan kembali mamaku," gumam Andhara sambil tersenyum kecut. "Jangan bercanda, An!" Yohana menatap nanar sahabatnya itu, ia tahu luka yang Andhara terima begitu luar biasa, Yohana adalah saksi hidup dimana saat itu hidup Andhara benar-benar kacau karena kejadian itu. Andhara hanya menghela nafas lalu menutupi wajah dengan kedua tangannya. Sementara Yohana tidak banyak berkata-kata lagi, ia memilih diam daripada salah bicara. Saat seperti ini biasanya Andhara begitu sensitif dan mudah meledak. "Yo, ada kabar terbaru apa soal pasienku?" "Cecilia yang kau maksud?" tanya Yohana memperjelas. "Tentulah, memangnya aku punya berapa pasien di sana?" gumam Andhara sambil tersenyum kecut. Yohana menghela nafas panjang, "Dia belum sadar, An." Andhara tampak menghembuskan nafas panjang, ia buru-buru bangkit dan melangkah keluar. "Lho mau kemana?" teriak Yohana yang terkejut Andhara hendak pergi. Andhara berhenti dan menoleh, "RSUD pusat, Yo. Mau memantau kondisi Cecil," gumam Andhara seraya membalikkan badan dan kembali melangkah keluar dari IGD. Yohana hanya menghela nafas, ia tidak banyak berkata-kata lagi dan membiarkan sosok itu melangkah pergi. Biasanya jika sudah seperti ini, ia butuh waktu untuk sendiri beberapa waktu. Ia tidak ingin diganggu oleh apapun dan siapapun, jadi Yohana membiarkan saja kemana dia akan pergi, selama itu bisa membuatnya jadi lebih baik. Andhara bergegas masuk ke dalam mobil, hatinya mendadak risau dan khawatir dengan kondisi Cecilia. Kenapa ia belum sadar juga? Apa yang salah dengan gadis itu? Rasanya kemarin ia sudah melakukan semua prosedur operasi dengan sebaik-baiknya, jadi apa yang kemudian membuat gadis itu hingga sekarang belum mau sadar? Ia segera menghidupkan mesin mobilnya dan membawa mobil itu melaju memecah keheningan malam. Belum terlalu malam juga sih, masih pukul delapan malam, namun karena akses RSUD ini yang masih sedikit terpencil dan jauh dari jalan raya, membuat suasana sekitar begitu sepi dan sunyi. Pikiran Andhara berkecamuk. Di satu sisi ia memikirkan sang papa, di sisi lain ia memikirkan kondisi Cecilia. Dan tiba-tiba ia teringat sosok itu, siapa lagi kalau bukan ayah dari Cecilia? Ah ... ia jadi lupa rencananya bertanya-tanya perihal sosok itu pada Yohana tadi, moodnya sudah terlanjur jelek. Andhara menghela nafas panjang, sejak kapan sih ia jadi kepo pada urusan pribadi sejawatnya? Dengan masalah keluarga pasiennya? Fokusnya hanya pada kesembuhan sang pasien bukan? Kenapa malah jadi kemana-mana? Andhara menepis semua rasa itu, ia mulai memecah jalanan Kota Solo yang sedikit padat itu. Jarak dengan RSUD pusat lumayan jauh, dan ia harus segera sampai ke sana, pikirannya tidak tenang jika ia tidak secara langsung melihat kondisi Cecilia dengan mata kepalanya sendiri. *** Yudha kembali mencabut selang infusnya, sudah pukul delapan malam, biasanya sejawatnya sudah pulang semua, tinggal koas dan residen, mana berani mereka menegur Yudha? Yudha bergegas turun dari ranjangnya dan melangkah keluar dari kamarnya. Ia melangkahkan kaki menuju PICU. "Lho, Dokter mau kemana?" tanya seorang perawat jaga yang tampak terkejut melihat Yudha melangkah keluar dari kamarnya. "Ke PICU sebentar, lihat anak saya." Perawat itu tidak banyak berkata-kata lagi, ia hanya melongo menatap kepergian sosok dengan piyama rumah sakit itu melangkah menuju lift. Yudha melangkah dengan tenang, ia harus melihat kondisi putrinya, apakah ia sudah sadar atau belum? Rasanya semangat Yudha hilang jika ia belum mendengar suara atau melihat senyuman gadis cantiknya itu. Keluar dari lift, Yudha terus melangkah melewati nurse station PICU, ia hanya menyunggingkan senyum sekilas lalu dengan tegas melangkah masuk. Dan ketika ia sampai di ruangan Cecilia, ia sontak tertegun melihat sosok itu sudah duduk di samping ranjang puterinya. Tangannya menggenggam erat tangan Cecil. "Anda di sini, Dok?" sapa Yudha yang masih belum percaya melihat sosok itu di sini. Andhara menoleh, ia tersenyum ketika melihat sosok dengan piyama biru itu muncul dan berdiri di pintu. "Anda harusnya beristirahat kan, Dok? Kabur dari kamar Anda lagi?" tebak Andhara lalu berdiri dan mendorong kursinya untuk laki-laki itu. "Lebih baik Anda yang duduk, saya akan bawa satu kursi lain kemari," Yudha bergegas membalikkan badan dan melangkah pergi. Andhara hanya menggelengkan kepalanya perlahan lalu kembali duduk di kursi itu. Tak beberapa lama kemudian, Yudha kembali muncul mengangkat sebuah kursi dan menaruh kursi itu tepat di sebelah Andhara. "Saya sangat berterima kasih Anda sudah mau repot-repot kemari untuk memantau perkembangan Cecilia," ucap Yudha tulus. "Itu sudah kewajiban saya, Dok. Selama dia belum sadar saya tidak akan pernah bisa tenang," Cecilia menatap nanar Cecilia yang masih begitu lelap dalam 'tidurnya' itu. Yudha hanya mengangguk, pikirannya melayang pada kejadian malam itu, sebuah kejadian tragis akibat kelalaian dan kebodohannya sendiri. Dan sekarang gadis kesayangannya itu yang harus menanggung semuanya. Mendadak mata Yudha memanas, air matanya menitik. Andhara yang tiba-tiba menoleh ke arah Yudha hanya tersenyum kecut, ia merogoh saku snelli-nya, ada tisu yang kebetulan ia bawa di dalamnya. Andhara menyodorkan tissu itu ke hadapan laki-laki itu. Yudha tersentak, ia menatap lurus kedalam mata Andhara, manik mata mereka bertemu beberapa saat hingga kemudian Yudha tersenyum dan mengambil tisu yang Andhara sodorkan. "Terimakasih," gumam Yudha tulus sambil menyeka air matanya. "Jika Dokter ingin istirahat, kembali saja ke ruang inap Anda, Dok. Biar saya yang menjaga Cecil." Yudha dengan mantab menggelengkan kepalanya, "Tidak adil rasanya jika saya enak-enak tidur sedangkan Anda yang harus menunggu anak saya di sini." "Saya dokter Cecilia, yang bertanggung jawab atas kondisi dia, Dok. Jadi ini sudah menjadi tanggung jawab saya, bukan?" Andhara tersenyum, sudut matanya melirik sosok yang masih terisak itu. "Bagaimana kalau saya menemani Anda di sini?" tawar Yudha yang tidak mau pergi dari tempatnya. "Anda sedang tidak dalam kondisi baik, Dok. Anda perlu banyak istirahat," Andhara benar-benar gemas dengan sosok ini. "Kondisi saya jauh lebih baik jika saya bisa terus berada di sisi puteri saya, Dok. Dia segalanya bagi saya." Sontak Andhara tertegun, seperti itukah? Apakah perasaan itu benar adanya? Bahwa kondisi seseorang bisa jadi lebih baik dengan terus berada di samping anak mereka? Mendadak hati Andhara menjadi pedih, kenapa rasanya sesakit ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD