CHAPTER 17

1096 Words
Andhara hendak memejamkan matanya ketika kemudian iPhone miliknya berdering, ia mengerutkan dahinya, siapa pula malam-malam mengirimkan pesan kepadanya? Jangan bilang ada cito? Kalau ada cito, tentu pasti pihak rumah sakit akan segera menghubungi dirinya via telepon bukan? Lantas ini siapa? Atau jangan-jangan pesan yang mengabarkan perkembangan Cecilia? Mengingat gadis itu Andhara sontak buru-buru bangun dan meraih iPhone yang tergeletak di atas meja riasnya itu. Ada pesan masuk, dari nomor yang tidak ia kenal, siapa ini? Andhara buru-buru menekan ikon w******p-nya dan ia benar-benar tercengang membaca pesan itu. [ Selamat malam, Dok ... terima kasih untuk snellinya. ] Andhara menyungingkan senyumnya, darimana dokter bedah tulang itu mendapatkan nomor handphone-nya? Pasti dari perawat jaga itu bukan? Andhara bergegas membalas pesan itu. [ Sama-sama, maaf saya tidak berpamitan tadi, Anda begitu pulas dan saya takut menganggu. ] Andhara meletakkan kembali iPhone-nya di nakas yang berada di sisi kasurnya, ia memejamkan matanya, kenapa rasanya begitu gembira mendapat pesan dari sosok itu? Astaga! Tidak boleh! Semua ini salah dan tidak boleh terjadi! Bukankah ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan tertipu dan jatuh pada lubang yang sama? Bukankah ia sudah bertekad bahwa ia harus menyembuhkan dirinya dan melupakan semua rasa yang pernah ada itu? Andhara kembali menggelengkan kepalanya, ia tidak boleh selemah ini hanya karena cerita sedih sejawatnya yang bernasib sama dengan dirinya itu. Semua laki-laki itu sama saja! Sama saja! *** Yudha duduk di atas ranjangnya, tangannya masih menggenggam snelli milik Andhara. Wangi parfumnya yang lembut itu seolah menghipnotis Yudha untuk terus menghirup aroma parfum yang menempel pada snelli lengan pendek itu. "Milik siapa itu, Yud?" tanya Tini yang baru saja selesai menunaikan sholat malam. "Sejawat Yudha, Bu," Yudha buru-buru melipat sneli itu dan meletakkan di bawah bantal. "Sekecil itu? Dia perempuan?" tebak Tini dengan senyum simpulnya. "Jangan salah paham, Bu," Yudha langsung gugup, kenapa perasaanya jadi seperti anak ABG gini sih? Tini hanya tersenyum, ia meletakkan mukena dan sajadahnya lalu melangkah mendekati Yudha yang tampak kikuk di atas ranjangnya itu. "Ibu bisa lihat dari mata kamu, Yud! Siapa gadis itu?" tanya Tini lalu duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Yudha. "Bu, dia hanya teman Yudha saja!" "Lebih dari teman juga tidak apa-apa, selama bisa benar-benar menerimamu dan berkomitmen dengan mu, Yud!" Yudha menghela nafas panjang, ia menundukkan wajahnya, "Yudha tidak tahu, Bu. Hanya saja sosok itu benar-benar membuat Yudha penasaran." "Kau laki-laki dewasa, kau tahu apa yang harus kamu lakukan bukan?" Yudha hanya mengangguk dan tersenyum, "Apakah secepat itu Yudha kemudian jatuh hati lagi? Atau ini hanya gairah sementara?" "Yud, kau sudah cukup lama jatuh dalam kubang luka, dari Cecilia enam bulan sampai sekarang lima tahun dan kau bilang cepat? LIma tahun bagimu itu cepat? Lantas kamu mau sampai kapan seperti ini, Yud?" Yudha tertegun, ibunya benar. Ia sudah cukup lama, dan mungkin saatnya dia bangkit dan kembali membuka hati bukan? Dia laki-laki normal, ia butuh teman hidup. "Tapi Yudha belum yakin dengan perasaan Yudha ini, Bu." "Yakinkan!" Yudha menatap ibunya lekat-lekat, rasanya ibunya itu benar. Ia haru secepatnya meyakinkan dirinya tentang perasaan ini, ia harus menyakinkan hatinya untuk kembali membuka diri. Tiba-tiba ia teringat sesuatu ... 'Dia bernasib sama dengan dirimu.' 'Iya sama dengan dirimu, rumah tangganya hancur karena orang ketiga.' Ucapan Peter sebelum ia menganestesi Yudha ketika operasi kemarin kembali terngiang di dalam benak Yudha. Ia seorang janda? Tidak masalah sih bagi Yudha, toh dia duda anak satu, namun ia benar-benar penasaran dengan kisah dokter bedah syaraf muda itu, apa yang terjadi pada rumah tangganya? Hingga kemudian bahtera rumah tangganya harus hancur di usia dia yang masih semuda itu? Rasanya Yudha harus menemui Peter yang tampak mengenal dan mengetahui kisah sosok itu. Yudha benar-benar penasaran dan ia akan lakukan apapu untuk memuaskan rasa penasarannya itu. *** "Lu bilang gue egois? Ngaca! Sebenarnya yang egois itu gue atau elu?" bentak suara itu begitu keras. Andhara hanya terpaku di depan pintu, ia tidak bergerak sama sekali, ia masih menanti apa yang akan terjadi di dalam sana. Ia mencoba untuk tenang, tidak bersuara dan tidak bergerak sedikitpun. "Lu enak hidup sama bini lu, sedangkan gue? Pernah mikir nggak sih lu? Sedikit aja mikir perasaan gue, San?" "Siapa bilang gue nggak mikirin elu? Gue selalu mikirin elu! Masalah bini gue, kan sejak awal gue bilang gue terpaksa nikah sama dia!" Jantung Andhara seolah ingin rontok. Benarkah Sandi, suaminya yang bilang itu? Dia tidak sedang mabuk bukan? Dia dalam posisi sadar bukan mengatakan itu semua? Tubuh Andhara seolah membeku, ia benar-benar syok dengan apa yang barusan ia dengar itu. Air matanya menitik, hatinya hancur. Jadi sikap manis dan romantis yang selama ini Sandi tunjukkan dan lakukan di hadapannya itu hanya sebuah akting? Sebuah drama dan kebohongan saja? "Lu terlalu mikir apa penilaian orang, San! Dan untuk itu semua lu tega ngorbanin gue dan perasaan cinta gue ke elu." Tunggu! Andhara tidak salah dengar bukan? Maksunya apa ini semua? Air matanya makin deras menitik. Tidak mungkin! Ia pasti sedang bermimpi, semua ini pasti hanya ilusi, delusi atau apa lah namanya, semua ini tidak nyata kan? Andhara sekuat tenaga menahan isak tangisnya. Ia mencoba bertahan di tempatnya untuk mengetahui apa yang kemudian terjadi. "Please, percayalah gue cuma sayang dan cinta sama elu," itu suara suaminya, dan hati Andhara benar-benar sakit. "Buktinya apa?" tantang suara itu serak. "Buktinya sesibuk apapun gue di rumah sakit, gue selalu sisihin waktu kan buat elu? Kita tetap bisa sama-sama terus kan? Kayak gini, sekarang ini? Ayolah ... please jangan rusak hari ini, gue kangen elu!" Andhara benar-benar lemas, hatinya teramat sakit! Ternyata selama ini bukan dia sosok yang dicintai Sandi. Bukan dia! Ada sosok lain dan itu bukan Andhara! Andhara benar-benar sesak, ia masih bertahan di depan pintu itu ketika suara berdebatan itu akhirnya berhenti. Berganti suara pagutan bibir yang begitu jelas menyapa indera pendengaran Andhara. Sontak tubuh Andhara meremang luar biasa, hatinya benar-benar sakit dan terasa panas. Suara-suara itu benar-benar menjijikan yang membuat Andhara kemudian merasa begitu kasihan dan jijik dengan dirinya sendiri. "Mmmhh ... oohh ...," Mendadak perut Andhara mulai seketika, ia sudah benar-benar habis kesabaran. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki ia kemudian menendang pintu itu hingga terhempas dengan keras. Matanya yang berurai air mata itu masih bisa menangkap apa yang sedang dua orang itu lakukan diatas ranjangnya. Mereka tersentak luar biasa, apalagi Sandi, wajahnya sontak memucat luar biasa. "An-Andhara ...," Andhara tidak bisa berkata-kata lagi, adegan menijijikkan itu terlihat jelas dengan mata kepalanya sendiri. Ia memilih membalikkan badan dan lari sekencang-kencangnya hingga kemudian ia kehilangan keseimbangannya karena tumpahan air yang ada di lantai. Brrukkk Ia terpeleset dan jatuh dengan keras, tubuhnya yang sudah lemah itu tersungkur dan mendadak semuanya gelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD