CHAPTER 9

1061 Words
Sosok itu melangkah sambil memegangi tangan kirinya, tampak kaus abu-abunya itu berlumuran darah. Namun tetap saja dalam kondisi seperti itu tampangnya masih begitu datar, hanya matanya yang memerah luar biasa. "Dok, ini kenapa?" tanya Dokter Andhika, dokter senior di IGD. "Lagi kena apes saja, Dok. Tolong jangan khawatirkan saya. Fokus ke anak saya saja, Dokter!" pinta Yudha dengan sedikit memohon. "Tapi Anda ...," "Saya seorang dokter, saya tahu kondisi fisik dan vital saya, Dok. Saya baik-baik saja walaupun mungkin ada sedikit fraktur di tangan kiri saya." Sontak Anton menegang di tempatnya berdiri. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia menangani kasus konsulennya itu? Rasanya otak Anton langsung blank seketika! Ia tidak sanggup dan tidak siap jika yang harus jadi pasiennya malam ini adalah sosok konsulennya sendiri. "Ton, tolong Dokter Yudha!" titah Dokter Andhika lalu menghambur mengikuti brankar yang berisi gadis kecil itu. Jantung Anton rasanya mau berhenti, gila apa? Astaga, apakah ini akhir dari karier kedokterannya? "Nanti dulu saja, Ton! Saya mau menemani anak saya dulu. Jangan khawatir, ini tidak terlalu parah kok." Anton sontak menghela nafas lega, namun ia tetap berpura-pura menawarkan bantuan untuk konsulennya itu. Yudha hanya menggeleng perlahan, fokusnya ada pada gadis kecilnya itu. Rasanya ia begitu sakit melihat sosok cantik itu tak berdaya berlumuran darah macam itu. Semoga tidak ada yang buruk, semoga dia baik-baik saja, meskipun dari kacamata dokternya mengatakan bahwa puterinya itu sedikit mengkhawatirkan kondisinya. Yudha benar-benar tidak menyangka niat menyenangkan sang gadis cantiknya itu harus berakhir demikian tragis. Ia benar-benar bodoh! "Trauma kapitalis, kesadaran menurun, tensi 140/90 dan nadinya 88, Dok!" lapor Yohana pada Dokter Andhika. "CT-Scan segera, Yo!" Yudha makin lemas, rasa sakit di lengan kirinya jadi tidak terasa sakit. Ia hanya fokus memikirkan puterinya itu. Hasil anamnesanya tidak baik, prognosis-nya buruk! Rasanya Yudha benar-benar tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau sampai terjadi apa-apa pada Cecilia. Ia tidak peduli dengan dirinya sendiri, ia tahu betul humerus sinistra-nya patah! Dia dokter bedah orthopedi bukan? Tentu ia tahu betul apa yang terjadi pada lengannya itu. Yudha memejamkan matanya, berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Dok, tensinya naik lagi. 160/100 dengan nadi 68." Yudha benar-benar gusar, kenapa makin memburuk seperti ini? Ia mendekati Dokter Andhika, berusaha memastikan bahwa anaknya akan baik-baik saja. "Bagaimana, Dok?" "Harus cito operasi, Dok. Hematoma epidural," guman Dokter Andhika lirih, "Tidak ada fraktur tengkorak yang saya takutkan kalau tekanan intrakranialnya cepat meningkat." "Saya percaya Anda, Dok. Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya!" Dokter Andhika mengangguk, ia menepuk lembut pundak sejawatnya itu. Hingga kemudian, Lusi, salah seorang koas mendekatinya dengan panik. "Dok, Dokter Ginting sedang cuti, balik ke Sumatera katanya. Dokter Ahmad sedang di Bali ada simposium." Dokter Andhika tampak memijit keningnya, ini bagaimana ceritanya rumah sakit dokter bedah syarafnya bisa cuti semua sih? "Dokter Yurike?" "Belum bisa dihubungi sampai sekarang," gumam Lusi lirih, ia tidak berani mengangkat wajahnya. Wajah Yudha tampak memucat, bagaimana ini? Cecilia harus sesegera mungkin dioperasi. Tanda vitalnya makin buruk. Yudha merasakan air matanya menggenang, ia sudah hampir putus asa hingga kemudian suara lembut itu mengejutkan dirinya. "Saya ada teman dokter bedah syaraf, Dok. Dinas di RSUD cabang, baru saja pindah ke Solo kemarin, dia lulusan bedah syaraf terbaik UI, jika Dokter berkenan ...," "Tolong hubungi dia, saya benar-benar butuh bantuan dia!" Dokter Yudha memotong kalimat Yohana, menatap Yohana dengan linangan air mata. Yohana hanya mengangguk pelan, ia bergegas merogoh snelli-nya dan menghubungi seseorang. Ia sengaja me-loud speaker obrolan itu agar dua orang dokter senior yang ada di dekatnya itu mendengarkan semua obrolannya dengan Andhara. "Halo, gimana Yo?" suara itu segera menyapa. "An, bisa tolong cepat kemari? Ada cito dan kami butuh dokter bedah syaraf." "Lho, memang boleh bukan dokter sana tapi pegang operasi di sana?" "Tolonglah, kamu satu-satunya harapan," mohon Yohana sambil bergantian menatap sosok yang tampak cemas di hadapannya itu. "Siapkan OK, aku segera ke sana!" Senyum mengembang di wajah Yudha, bersamaan dengan menitiknya air mata dari pelupuk mata. Dokter Andhika segera membalikkan badan dan mengintruksikan untuk menyiapkan OK IGD sesegera mungkin. Yohana bergegas memasukkan kembali smartphone ke dalam saku snelli-nya. Ia hendak membantu persiapan operasi ketika kemudian suara itu menghentikan sejenak langkahnya. "Dokter Yohana," Yohana tersentak, ia kemudian menoleh dan menatap sosok yang tampak payah itu, "Terimakasih banyak," gumamnya lagi dengan sebuah senyum yang tulus. Yohana hanya tercekat sesaat, kemudian balas tersenyum dan bergegas membantu yang lainnya menyiapkan semua keperluan operasi. *** Andhara dengan tergesa-gesa mengganti pakaiannya, ia sudah memesan ojek online untuk mengantarkannya ke RSUD pusat itu. Masa iya sih segede itu nggak ada bedah syarafnya? Dokternya pada kemana? Andhara bergegas mengunci pintu kontarakan ketika kemudian motor hitam dengan pengendara berjaket hijau hitam itu sudah berhenti di depan kontrakannya. "Ke RSUD ya, Mbak" tanya driver itu ramah. "Iya, kalau bisa cepat ya, Mas! Saya sudah ditunggu!' Tanpa banyak berkata-kata lagi, driver itu memacu motornya begitu cepat. Andhara sampai dibuat takut dengan kecepatan mengendara driver ojol itu. Bukankah itu tadi permintaan Andhara? Agar ia lebih cepat sampai bukan? Sebenarnya kasus apa sih? Kenapa tadi tidak ia tanyakan dulu? Namun bukan Andhara kalau ia tidak konsisten dan memenuhi janjinya. Ia akan tetap datang dan membantu, tidak peduli apa kasus yang akan ia hadapi. Benar saja, dengan kelincahan dan kegesitan sang driver tidak butuh waktu lama, Andhara sudah sampai di RSUD pusat. Ia segera menjejalkan selembar lima puluh ribuan lalu berlari masuk ke dalam IGD. "Mbak, kembaliannya!" teriak sang driver yang terkejut melihat Andhara bergegas berlari masuk. "Buat Mas-nya saja!" Andhara balas berteriak, ia segera masuk dan menemukan Yohana yang ternya sudah menunggunya itu. "Ayo, semua sudah siap!" Andhara hanya mengangguk pelan, ia bergegas mengikuti langkah Yohana hingga kemudian ia masuk ke dalam sebuah ruangan yang begitu dingin itu. "Kesadaran menurun, tensi naik ke angka 160/100, nadi 68 , pupil midriasis dan reaksi cahayanya negatif, ini hasil CT-scan," gumam Yohana melaporkan kondisi pasien. "Oke, mana ruang gantinya?" Andhara tidak mengira bahwa akan segawat ini kondisinya. Pasien atas nama Cecilia itu masih lima tahun. "Di sini!" Yohana mengarahkan Andhara menuju ruang ganti dan membantu dokter bedah syaraf itu mempersiapkan diri. Ini kali pertama Andhara melakukan tindakan operasi di luar tempat dinasnya. Dan ia harap bahwa ia kembali bisa menyelesaikan semuanya dengan baik, ia tidak ingin mengecewakan siapapun. Nyawa gadis kecil itu ada ditangannya dengan prognosis yang demikian buruk itu ia bisa plus kapan saja! Andhara dengan mantab melangkah masuk ke ruang operasi setelah ia berganti baju dan mencuci bersih-bersih kedua tangannya, sekarang perang melawan malaikat maut itu dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD