Si Aneh Yang Menarik

1068 Words
'Orang sepertimu yang bahkan mengakui rumor tidak mengenakkan secara gamblang adalah orang paling jujur pada diri sendiri. Aku paling menggemari orang seperti itu.' Rose menatap pantulan dirinya pada dinding elevator dan menyeringai. Wajah pucat dan pakaian serba hitam membuatnya terlihat seperti Grim reaper. "Omong kosong," bisiknya pelan. Ting! Pintu elevator terbuka secara otomatis dan pemandangan di luar membuat suasana Rose semakin buruk. Laura dan teman-teman sedang menertawakan sesuatu, namun begitu melihat Rose di dalam, tawa mereka berhenti seketika. Karena menjadi musuh Rose, tidak banyak orang yang mau bertemu dengan Laura secara terang-terangan karena takut menjadi target Rose juga, karena alasan itu jugalah kebencian Dion padanya semakin meningkat dan sebisa mungkin menghabiskan waktu istirahatnya untuk menemani Laura. Lihatlah sekarang, dua gadis yang bersama Laura langsung melangkah ke samping dan menghindari teman yang baru saja tertawa bersamanya. Wajah Laura berubah gelap, wajah polos yang biasanya dia perlihatkan ketika bersama Dion tidak memiliki jejak. "Rose... Rose sama sekali tidak mengangkat matanya setelah pertama kali melihat Laura di depan pintu, dia hanya menyisir rambutnya ke belakang telinga dan keluar tanpa kata. Laura mengerutkan kening kesal dan berbalik. "Tidakkah kau berutang permintaan maaf padaku?" Dua teman Laura masuk ke dalam lift dan melambaikan tangan pada gadis itu agar tidak membuat masalah, tapi Laura sama sekali tidak peduli, hanya menatap pada Rose dengan tajam. "Minta maaf? Aku?" Rose menatap Laura dari atas ke bawah. "Untuk apa?" Laura mengepal. "Untuk apa? Dion sudah menyuruhmu untuk minta maaf padaku tentang kejadian tadi pagi." "Ah! Soal tadi pagi?" Rose mengangguk. "Sayang sekali, jika aku berniat untuk minta maaf padamu, maka aku tidak akan melakukannya." "Kau!" "Laura." Mata Rose berubah tajam. "Kau benar-benar ingin memprovokasiku di saat kesatriamu tidak ada?" Tanpa sadar, Laura mundur selangkah. Dia menelan ludah dan mengeluarkan ponselnya. Tapi sebelum dia sempat membuka kunci, Rose sudah merebutnya. "Kembalikan ponselku!" Rose beberapa senti lebih tinggi dari Laura yang agak mungil, jadi Rose hanya meninggikan tangannya dan gadis itu tidak bisa lagi meraih ponselnya. Di sisi lain, beberapa mahasiswa yang lewat mulai berkumpul dan berbisik. Rose menekan pundak Laura agar dia berhenti melompat untuk meraih ponselnya dan menunduk. "Apa yang sedang kau coba lakukan? Mencari simpati dan membuat reputasiku jadi lebih buruk?" Wajah Laura merah karena menahan amarah dan tangis sekaligus. Mata besar berkaca-kaca itu memang bisa mengundang rasa simpati banyak orang, tapi bagi Rose penampilan itu memuakkan. "Laura, jangan terlalu mengandalkan kekasihmu, tidakkah kau tau bahwa dia juga sudah berada dalam genggamanku." Air mata Laura mulai bercucuran. "Kau memaksanya, kau wanita jahat!" Rose tertawa pelan. "Benar, aku wanita jahat. Jadi jaga dirimu saat Dion tidak ada. Karena aku bisa melakukan sesuatu yang buruk jika kau membuatku kesal." Dia melepas tangannya dan melempar ponsel ke pelukan Laura. Rose meninggalkan kerumunan dengan berbagai tatapan yang diarahkan ke punggungnya. Setelah mencapai koridor yang agak sepi dia langsung menopang tubuhnya dan berjalan lunglai ke dalam kamar mandi. Setelah memastikan tidak ada orang di dalam, dia masuk ke dalam salah satu cubicle dan menguncinya. "Jantung sialan! Jika ingin kambuh. Setidaknya tunggu sampai aku pulang!" Rose meremas dadanya dan mengeluarkan kotak obat dari sakunya. Mengeluarkan beberapa butir yang dia butuhkan dan menelannya tanpa air minum. Obat memerlukan beberapa menit untuk bekerja, dan dalam jangka waktu itu, dia harus menahan rasa sakit yang membuatnya ingin berteriak keras namun harus menahannya sekuat tenaga. Itu adalah penderitaan yang harus dia alami hampir setiap hari. Rose menutup mulutnya semakin erat begitu mendengar seseorang masuk ke dalam kamar mandi. Salah seorang memulai percakapan selagi menyalahkan wastafel. "Kau sudah lihat kejadian tadi? Laura terlihat sangat menyedihkan." Suara lain memberi tanggapan. "Benar, aku tidak tau kenapa Rose sangat benci padanya. Meskipun dia terkadang cukup menjengkelkan, tapi Rose tidak perlu membullynya seperti itu." "Huss... berhenti ikut campur. Aku heran kenapa kalian masih bisa hidup tenang dengan mulut besar kalian itu." Suara ketiga menginterupsi, sepertinya dia datang setelah dua sebelumnya dan secara kebetulan mendengar ucapan mereka. "Kau tau, meski di universitas ini si mawar berduri itu dihindari banyak orang, tapi dia juga adalah pemilik universitas. Banyak orang yang dengan suka rela mencari keuntungan dengan melaporkan kata-kata buruk orang lain tentang Rose kepadanya." Suara tarikan napas terkejut terdengar. "Be-benarkah?" Rose menyeringai sinis, jika saja kondisinya tidak sedang dalam keadaan buruk, dia akan dengan senang hati keluar dari cubicle dan dan menikmati raut terkejut kemudian takut para penggosip ini. Beberapa saat setelah itu, kamar mandi kembali sepi dan akhirnya rasa sakit yang Rose rasakan menghilang sepenuhnya. Dia keluar dari cubicle kemudian mencuci muka sebelum pergi. Saat tiba di dalam kelas, mata kuliah sudah berjalan selama beberapa menit. Rose hanya berjalan santai ke tempat duduknya diantara Linzi dan Frita. Frita mengembalikan kartu identitas Rose dan bertanya, "Kau dari mana saja? Aku dan Linzi mencarimu kemana-mana tadi." Rose mengeluarkan buku sketsa dan mulai menggambar. "Hutan Maple." "Oh, di sana." Linzi menopang dagu, dari ruangan mereka, hutan Maple yang Rose katakan masih terlihat. "Aku tidak sabar musim gugur tiba, dengan begitu di sana akan lebih indah." Frita membenarkan, namun Rose tidak memberi tanggapan. Keduanya kemudian mendekat dan melihat gambar seekor retriever coklat berdiri dengan kepala dimiringkan dengan tanda tanya besar di atas kepalanya, mata besarnya yang cerah terlihat begitu hidup. Terlihat normal jika saja pipinya tidak berwarna merah dengan daun tomat berwarna hijau di atasnya. "... Benda apa di atas kepalanya itu?" tanya Frita. "Daun tomat, kau tau yang ada diatas tomat merah itu," jawab Rose. Frita dan Laura ingin meluruskan pinggang kembali, biasanya Rose tidak begitu suka diganggu ketika sedang menggambar atau melukis. Tapi karena rasa penasaran Frita kembali bertanya. "Kenapa ada daun sebesar itu di atas kepala seekor anjing." "Karena ketika malu, wajahnya akan memerah seperti tomat." Tanpa disangka, Rose masih menjawab dengan suara normal. 'Apakah pipi seekor anjing akan merah saat malu, terlebih dengan bulu tebal berwarna coklat itu?' Dua gadis yang kebingungan saling melempar tanya melalui tatapan. 'AH!' Linzi memukul telapak tangannya begitu mendapatkan ide. "Apakah ini anjing alien? Yang memiliki kekuatan tertentu?" Dia menatap gambar Rose dengan lebih detai. "Aku pernah melihat adikku menonton animasi seperti itu." Rose tidak bisa menahan tawanya begitu mengingat postur bangga Theodore yang sedang memperkenalkan dirinya sebagai orang yang memiliki julukan aneh di sekolahnya. Tawa Rose tidak besar, tapi untuk orang yang lebih sering memperlihatkan wajah jutek dan senyum sinis sepanjang hari, mengeluarkan tawa seperti itu cukup untuk menarik perhatian. Linzi bahkan sempat kehilangan topangan dagunya dan hampir menabrak meja. Rose menulis nama Theolien di bawah gambarnya, masih dengan senyum yang belum pudar. "Menarik," bisiknya. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD