Cinta dan Benci

1122 Words
Rose melukis dengan sangat telaten, membuat garis demi garis hingga membentuk sebuah siluet. Melukis seperti kehidupan tambahan untuknya sekaligus tempatnya berkeluh kesah. Setiap hal yang dia alami namun tidak bisa dia ungkapkan kepada siapapun, Rose akan mengatakan semuanya dalam lukisan, menggambarkan semuanya hingga dia bisa sedikit mengurangi beban di pundaknya. Studio lukis ini adalah satu-satunya tempat yang tidak pernah disentuh oleh para pendekorasi rumah semenjak Rose memakai jasa mereka, karena bagi Rose, memperlihatkan semua lukisan yang dia buat di studio ini sama saja dengan menelanjangi semua rahasianya. "Perfect." Rose meletakkan kuasnya dan memandangi karya seni yang baru saja dia buat, memandangi detailnya dengan seksama dan membelai beberapa sudut untuk membuatnya lebih sempurna. Karena telah tertidur cukup lama siang tadi, Rose tidak lagi merasakan kantuk hingga pukul 2 dini hari, masih betah duduk di kursi kayu dan menikmati bau cat yang dia sukai. Lukisan yang Rose buat adalah lukisan dirinya sendiri dan Dion ketika berjalan di altar. Dia melukisnya dengan cat minyak dan membuatnya dengan sangat mendetail, seolah lukisan yang ada di hadapannya itu sewaktu-waktu akan mengucapkan janji suci. "Dia setidaknya harus tersenyum sedikit." Rose menatap pada lukisan Dion yang tanpa senyum di saat lukisan dirinya sendiri tersenyum dengan lebar. Lukisan itu berada dalam satu frame namun memiliki dua sisi yang berbeda, latar di mana Dion berdiri sangat cerah dengan rumput hijau dan bunga-bunga yang bertebaran sedang di sisi Rose berlatarkan kegelapan dengan tanah gelap nan tandus, sangat kontras dengan senyum cerahnya serta gaun putih bersihnya. Rose tersenyum tipis. "Menyedihkan," bisiknya pelan, lalu beranjak dan menempatkan lukisan itu di sudut ruangan, bersama lukisan lainnya yang tidak pernah terpajang. Baginya yang akan melebur dengan tanah, lukisan-lukisan ini akan ada di dunia untuknya dan menjadi bukti keberadaannya yang singkat bahkan jika tidak ada yang menyadarinya. *** Keesokan harinya, Rose terbangun di ranjang studionya, masih dengan pakaian yang sama dan tangan yang berlumur cat minyak. Kruukk "Aku lapar." Rose mengeluh dan menyentuh perutnya yang belum dia isi sejak kemarin. Dia bangkit dengan pelan, menuangkan air mineral dari teko di samping tempat tidur dan minum dengan sekali teguk, lalu beranjak keluar dari kamar. "Sungguh, aku dan dia tidur di kamar terpisah." Rose mendongak dan bertemu pandang dengan Dion yang baru saja akan menuruni tangga sembari menempelkan ponsel di telinganya. Dion mendengus pelan melihatnya. "Jika kau ingin bukti aku akan memberikannya." katanya lalu mengotak-atik ponselnya. Rose mengangkat alis bingung, namun begitu Dion mengarahkan kamera ke arahnya, dia langsung membuka lebar kedua kakinya, menyentuh ujung rambutnya dan menatap kelantai. Bersamaan dengan kamera Dion membekukan posturnya. Dion menatap hasil jepretannya dan menatap datar pada Rose. "Apa kau berpikir kau seorang model?" serunya marah. "Terimakasih untuk pujiannya." Rose mengulum senyum bangga. "Aku tahu aku sangat fotogenik." Dion mendengus dan kembali memotret ke arah Rose dengan sangat cepat, namun tetap saja gambar yang tertangkap di kamera sangat aesthetic. Gaun tidur putih yang dinodai beberapa warna cat bahkan sama sekali tidak merusak penampilan gadis itu. Rose menutup mulut dan tertawa pelan. "Jika kau terus memotretku, jangan salahkan jika kau tiba-tiba jatuh cinta." "Sinting." umpat Dion lalu turun dengan langkah yang dipercepat. "Tidak! aku memotretnya dengan sangat cepat. Bukan salahku jika gambarnya jadi bagus, oke!." Dia kembali berbicara ke arah ponselnya. Rose tertawa pelan lalu masuk ke dalam kamarnya untuk mandi dan bersiap-siap untuk ke kampus. Dia keluar setelah berpakaian dengan rapi, memakai boots hitam beludru, dress dan tas dengan warna senada. Turun tangga sembari bersenandung rendah dan masuk ke dapur. "Wah, kau memasak? Baik sekali." Rose duduk di depan Dion dan menatap sepiring nasi goreng sederhana yang sedang disantap pria itu. Ditatap terlalu lama membuat Dion risih. Jadi di balik menatap dengan tajam. "Apa yang kau lihat." Rose bersedekap. "Bagianku mana?" "Bagian apa?" "Nasi goreng." Rose tersenyum lebar. "Buat sendiri." Dion kembali menunduk menekuni makanannya, tidak perduli dengan tatapan Rose yang seolah akan melubangi kepalanya. "Kau tau aku tidak bisa menyalakan kompor dan tidak tahu membedakan mana gula dan garam." "Bukan urusanku." Dion menelan suapan terakhirnya dan minum lalu bangkit, berniat pergi lebih dulu atau keberadaan gadis di hadapannya akan membuatnya gila. Namun Rose bergerak lebih cepat, berdiri dan menghalangi langkahnya. "Mau kemana?" Dion menghembuskan nafas lelah. "Kampus tentu saja." "Aku belum makan." Rose mengelus perutnya. "Bukan urusanku. Dan... "Dion menatap penampilan Rose dari atas ke bawah. "Kau mau ke kampus atau ke kuburan?" "Dua-duanya." Rose bersedekap. "Aku akan menghadiri pemakaman hubunganmu dengan Laura." "Kau saja yang mati!" Rose menutup mulutnya, menatap tak percaya pada pria di hadapannya. "Kenapa aku harus mati?" "Dengan begitu pemandangan di sekitarku akan lebih Indah." Setelah berkata seperti itu, Dion berjalan melewati Rose, mendengus keras begitu melewatinya dan menabrak pundaknya dengan keras. Rose mengelus pundaknya yang sedikit sakit dan tertawa pelan. Lalu berbalik, berjalan cepat menyusul Dion hingga dia kembali berdiri di hadapan pria itu lagi. "Apa lagi sekarang?" Rose menatap datar. "Memberimu pelajaran." Dia mengayunkan kakinya dengan keras dan menendang tulang kering Dion dengan ujung sepatu boots nya hingga pria itu berteriak kesakitan. "Ahh! Wanita gila!" "Itu benar! Aku wanita gila, karena itu jangan memprovokasiku. Atau aku akan benar-benar menggigit dan menulari mu seperti Zombie." Rose mengaum dan memperlihatkan taringnya sebagai ancaman, kemudian mendengus di depan wajah Dion dan berbalik. "Pria jahat." Dion berjongkok dan mengelus tulang keringnya. "Kesalahan besar apa yang aku lakukan sehingga aku harus berurusan dengan gadis seperti itu!" umpatnya. Dengan wajah yang tak kalah masamnya, Rose memasang kacamata hitamnya dan masuk ke dalam mobil, lalu meluncur dengan cepat keluar dari pekarangan rumah. "Sangat jahat, bagaimana bisa dia menyuruh seseorang yang sedang sekarat untuk mati! bagaimana jika aku benar-benar mati besok?" Rose membuka atap mobilnya agar angin lebih leluasa masuk dan menyalakan musik. "Bersyukurlah dia memiliki wajah yang tampan, atau aku akan benar-benar menarik lidahnya." Setelah melewati perempatan jalan, Rose menyempatkan diri untuk membeli makanan di layanan tanpa turun restoran fast food lalu kembali menyetir sembari memakan burgernya. Rose menelan potongan terakhir makanannya dan mengangkat panggilan dari Frita. "Halo?" Rose memasang headsetnya. "Aku di jalan, kalian ingin di jemput?" Dia menyesap Es kopinya dan berbelok meninggalkan jalan Raya. "Aku baru saja berbelok ke lorong apartemen kalian, turunlah dalam 10 menit atau aku tinggalkan." Rose menghentikan mobilnya dan benar-benar memasang alarm selama sepuluh menit dan ikut menghitung dalam hati. "1,2,3,4...5." Dua gadis terlihat berlari keluar dari bangunan tinggi itu dan langsung melambaikan tangan ke arah Rose. "Kau menunggu lama?" Linzy melompat ke kursi di belakang pengemudi sedangkan Frita menemani Rose di depan. "Tidak begitu lama." Rose kembali menjalan mobil dan menambah kecepatan. "Mengapa kau tak masuk kuliah kemarin?" Linzy bertanya. "Kelas sepi tanpamu." Dia cemberut. Rose tersenyum miring, namun tidak menjawab apa-apa. Linzy dan Frita juga mengerti jika Rose tidak ingin menjawab sesuatu, dia tidak akan menjawab bahkan jika kau mengamuk. Jadi mereka berdua tidak bertanya lagi agar tidak membangunkan singa yang sedang tidur. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD