Pria Asing di Bawah Pohon Maple

1206 Words
Percakapan Dion dan Laura bisa di katakan sangat pelan, namun karena posisi meja mereka yang bersebelahan, Rose dan kedua temannya masih bisa samar-samar mendengar percakapan mereka. Frita dan Linzi tiba-tiba menghentikan percakapan mereka, meringis dan merasa bahwa pertunjukan cinta sejoli itu mulai membuat mata mereka sakit. Semua orang di kampus ini mungkin tau bahwa Laura bukan gadis baik hati yang bisa membiarkan dirinya sendiri dibully, bahkan mahasiswi di dalam kelas Laura sendiri mengaku bahwa gadis itu sering kali menggunakan nama Dion untuk mengancam orang-orang yang tidak disukainya. Jadi, bisa di katakan, satu-satunya yang menganggap Laura gadis polos dan baik hati hanya Dion. Di saat Frita dan Linzi menyembunyikan rasa jijik mereka di dalam hati, Rose tidak pernah seperti itu. Dia tiba melepaskan sendok yang setengah jalan ke mulutnya hingga terjatuh ke lantai dan menutup mulutnya. "Hooeek... "..." Di tengah Kantin, di mana semua mahasiswa sedang makan, Rose mengeluarkan suara menahan rasa mual. "Rose? Ada apa? Kau sakit?" Linzi menghampiri Rose dan menggosok punggung temannya, namun bukannya berhenti suara yang Rose keluarkan justru semakin menjijikkan hingga beberapa mahasiswi yang tidak tahan melepas makanan mereka. Laura adalah salah satu dari mereka. "Ahh, maafkan aku. Aku baru saja mendengar badut bertopeng tebal mengatakan sesuatu yang membuatku jijik." Rose menepuk-nepuk dadanya dengan tidak nyaman dan menatap sekeliling dengan raut bersalah. "Aku tidak menyangka bahwa masih ada orang yang percaya topeng palsu menjijikkannya itu." Brak... Laura berdiri tiba-tiba dan berlari keluar dari kantin dengan menutupi wajahnya, sepertinya menangis. "Oppss... seseorang sepertinya tersinggung?" Rose mendongak dan menatap Dion yang kini berdiri di hadapannya. "Mr. Austin? Sesuatu?" Dion kesulitan mengendalikan amarahnya dan memukul meja dengan keras. Matanya tajam menatap kepada gadis di hadapannya seolah ingin menelannya bulat-bulat. "Aku bahkan belum datang untuk meminta permintaan maafmu dan kau sudah membuat masalah lagi! Apa kau bahkan manusia? Kenapa kau terus menerus mengganggu Laura!" Rose bersedekap, sinar jenaka di matanya sebelumnya berubah menjadi dingin. "Kenapa aku harus minta maaf padanya? Apa aku mengatakan bahwa dialah badut bertopeng menjijikkan itu?" Rose merentangkan tangan dan menunjukkan sekeliling kantin. "Ada begitu banyak orang di sini, kenapa hanya dia yang tersinggung?" Rose kemudian menyeringai. "Bukankah karena dia juga sadar bahwa dirinya menjijikkan?" "Rose! Jangan menguji kesabaranku. Atau aku... "Atau apa? Kau ingin memukulku?" Rose beranjak dan mendekat ke arah Dion, sama sekali tidak merasa takut dengan pandangan berapi-api pria itu. "Ayo pukul, bukankah sejak kemarin kau menahan diri? Jadi hari ini aku akan memberimu kesempatan. Lakukan, atau kau tidak akan mendapat kesempatan lagi." "Rose." Dion mengunyah nama Rose dengan suara ditekan rendah, seolah ingin mencabik-cabik pemilik nama itu sekarang juga. Frita dan Linzi saling memandang, lalu mundur perlahan dari balik punggung Rose. Jika Dion benar-benar memukul, mereka berdua adalah orang pertama yang akan melarikan diri. Kantin yang awalnya ramai oleh canda tawa kini menjadi sepi. Beberapa pria terdekat mulai membuat lingkaran di sekitar Dion, sehingga jika pria itu menyerang, mereka akan bergerak cepat untuk mencegahnya. Namun, di saat ketegangan mencapai puncaknya, dan Dion benar-benar kesulitan menahan amarahnya, dia tiba-tiba berbalik, membelah kerumunan dan pergi ke arah Laura sebelumnya. "Heh, pengecut." Rose mendengus kemudian menatap sekeliling. "Maaf karena mengganggu makan siang kalian, hari ini kalian bisa makan sepuasnya. Gratis." Dia mengeluarkan kartu khusus untuk berbelanja di dalam kampus dan meletakkannya ke atas meja. "Bayar setelah kalian selesai makan," ujarnya kepada Frita dan Linzi, kemudian keluar dari kantin. Rose tidak kembali ke kelas, melainkan berjalan menuju hutan mapple di belakang fakultas seni, tempat yang biasanya sangat sepi di waktu istirahat. Karena sekarang masih pertengahan musim panas, warna-warna cerah daun yang identik dengan musim gugur itu masih belum sepenuhnya terlihat, hanya warna hijau teduh dan sedikit kekuningan. Rose berhenti di salah satu kursi taman dan duduk di sana, mengeluarkan ponselnya untuk lanjut bermain game. Namun suara musik dari balik pohon di depan mengganggunya. Biasanya tidak ada orang yang menyendiri di hutan pada jam makan siang seperti ini. Rose menaruh kembali ponselnya dan menghampiri asal suara. Di sana, di balik salah satu pohon, seorang pemuda berambut cokelat dan berkulit putih sedang duduk bersila sambil sesekali bergumam mengikuti lagu yang ponselnya mainkan, selagi melakukan itu, dia juga mengeluarkan kotak makanan dari dalam tas ranselnya. Makanan di kantin Miracles University adalah salah satu hidangan terbaik dari semua universitas yang ada di negara itu, selain rasa Lezatnya, universitas juga menyediakan banyak menu pilihan setiap hari, jadi mahasiswa tidak akan merasa bosan. Mahasiswa juga bisa merekomendasikan menu yang mereka inginkan kepada koki secara khusus, jika mereka merasa menu hari itu tidak cocok dengan selera mereka. Jika saja pihak kampus tidak menerapkan sistem pembayaran khusus untuk para penghuni universitas, orang luar pasti akan datang dan memilih mengisi perut mereka di sini. Jadi, melihat seorang mahasiswa memilih untuk membawa bekal dari rumah sangat aneh. "Oi, Choco. Apa kau mahasiswa jalur beasiswa?" Biasanya, hanya mahasiswa jalur beasiswa yang berasal dari keluarga sederhana, jadi hanya mereka yang memiliki kemungkinan untuk membawa bekal. Tapi, otak mereka cukup encer untuk bekerja paruh waktu di dalam kampus. Theodore Lee yang baru saja akan membuka kotak bekalnya tersentak oleh pertanyaan tiba-tiba seseorang di sampingnya, ketika dia mendongak dan menemukan bahwa si penanya adalah sang Dewi yang dia liat tadi pagi, matanya berubah menjadi cerah. "Choco? Kau memanggilku?" Theo menunjuk dirinya sendiri. Rose bersedekap dan bersandar pada salah satu pohon. "Siapa lagi? Hanya kau yang berambut cokelat di sini." Kaki-kaki jenjang Theo dengan cepat membawanya ke hadapan Rose. "Namaku bukan Choco." Dia mengulurkan tangan dan tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi putih bersihnya. "Perkenalkan, Namaku Theodore Lee." Rose melirik tangan yang terulur di depannya dengan kening berkerut. "Aku tidak menanyakan namamu dan tidak ingin berkenalan." Theodore menarik kembali tangannya tanpa kehilangan senyum. "Oh, memang tidak perlu berkenalan, aku sudah tau namamu. Rosetta Miller, bukan?" Rose tidak begitu terkejut jika semua orang tau namanya di kampus ini, jadi dia hanya mengangkat alis dan melirik kotak bekal yang tergeletak di atas daun kering. Theodore menoleh ke arah yang sama dan kembali menatap Rose dengan mata sipit namun cerahnya. "Ingin duduk dan makan denganku? Aku membawa cukup banyak untuk porsi dua orang." Rose tidak pernah menolak tawaran makanan, apalagi jika makanan itu memiliki aroma yang sangat menggiurkan seperti itu. Tapi... "Apa kau mau menyuruhku duduk di tempat seperti itu?" Dia menunjuk tumpukan daun kering yang Theodore kumpulkan sebagai alas duduk dengan hidung berkerut. "Ahh! tunggu." Theodore berlari kembali ke samping ranselnya dan mengeluarkan kardigan panjang berwarna abu-abu dan merentangkannya di atas daun maple kering. "Ayo duduk," ajaknya sembari menepuk-nepuk permukaan kardigannya. Rose sebenarnya ingin mengajak pria itu untuk duduk di kursi taman saja, tapi melihat senyum cerahnya ketika membentangkan pakaiannya ke tanah membuat Rose tidak ingin menolak. Terlebih duduk dan makan seperti itu terlihat seperti piknik. Jadi Rose merasa cukup tertarik. "Awas saja kalau makanannya tidak enak." Ruby duduk dan menerima sumpit dari Theodore. "Bunuh musiknya, aku bahkan tidak bisa mengerti apa yang dia katakan." Theodore masih tersenyum dan menuruti kata-kata Rose. "Ini bahasa dari negaraku, dan makanan ini makanan khas dari negaraku juga, jadi aku jamin pasti enak." Rose tidak peduli dan mulai makan seolah kotak bekal itu miliknya sejak awal. Dia sama sekali tidak peduli bahwa pria yang dia temui adalah orang asing, dan lebih tidak peduli untuk berpikir bahwa makanan dari orang asing bisa berbahaya. Dia hanya tau bahwa dia sedang lapar dan ingin makan, itu saja. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD