Kembali Ke Kantor

1099 Words
“Zea!” Tamara masuk ruangan kerja Hirawan dan langsung menubruk tubuhku. “Tamara! apa benar kau memecat Zea?” desis Hirawan. “Kemarin aku kesal Ayah, maafkan aku,” cicit Tamara. “Kau masih iri pada Zea?” cibir Thomas yang baru datang. “Kau jangan memperkeruh suasana!” sinis Tamara. “Setelah menyebabkan kehebohan besar kau masih bisa berlari kesana kemari,” kekeh Thomas. “Apa saya bisa undur diri? saya kira saya tidak memiliki urusan disini, izinkan saya melanjutkan tidur saya, sudah lama saya tidak bisa bermalas malasan,” ucapku dengan nada dingin. “Tidak ada yang bisa memecat Zea kecuali Hirawan!” ucap Hirawan menggelegar. “Me–mengerti Ayah,” ucap Tamara dan Thomas. “Zea, aku minta maaf atas perilaku putriku, tidak ada yang bisa memecatmu kecuali aku! bisakah kau kembali bekerja?” pinta Hirawan. “Aku minta maaf Zea, tolong bantu aku!” Tamara berlutut didepanku. “Aku akan berusaha sebisaku,” aku menghembuskan nafas kasar. Aku tersenyum puas saat keluar dari ruangan Hirawan, mereka sudah sangat bergantung padaku. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain mengandalkanku. Perlahan tapi pasti, aku akan menghancurkan semua yang kau miliki Hirawan! Aku berpura pura sibuk, menghubungi banyak orang untuk menghapus video panas Tamara, lalu menemui pengacara untuk menuntut pelaku penyebaran video panas tersebut. Tidak lupa aku menemui Ricky di Uriawan Grup. “Untuk apa kau kesini? Sahamku di Hirawan Grup sudah aku transfer menjadi atas namamu” ucap Ricky. “Ricky, bagaimana jika kau menikahi Tamara?” ucapku. “Kau gila” kekeh Ricky. “Bukannya kau mencintainya selama ini?” tanyaku. “Aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya, hanya saja dia selalu meremehkanku, memandangku sebelah mata, dia hanya menginginkan Davendra” ucap Ricky penuh emosi. “Bukankah ini saatnya membalas dendam? jika kau menikahinya, kau bebas menyiksanya setiap saat, ini saat yang tepat untuk merendahkan harga dirinya” aku tersenyum sinis. Sorot mata Ricky mulai berbinar, dia mengingat jelas saat Tamara berulang kali menolak dan mempermalukannya di depan umum, mengatakan bahwa Ricky harus berkaca karena tidak selevel dengan keluarganya, padahal Ricky adalah penerus Grup Uriawan. Walaupun Uriawan Grup tidak sebesar Hirawan Grup, tapi tetap saja Uriawan Grup termasuk jajaran keluarga terkaya di Indonesia. “Aku akan perlakukan dia dengan buruk hingga keangkuhan yang selama ini dia perlihatkan sepanjang waktu akan sirna berganti dengan kepasrahan karena penderitaan yang akan aku berikan padanya” Ricky menyeringai dengan licik. “Ide yang sangat bagus bukan?” ucapku. “Tapi apa Tuan Hirawan akan menyetujui pernikahan kami?” tanya Ricky. “Kau urus saja keluargamu, pastikan mereka memperbolehkanmu menikah dengan Tamara” kekehku. “Walaupun pasti ada sedikit pertentangan karena video itu, aku yakin ayahku akan setuju setuju saja berbesan dengan Hirawan Grup” ucap Ricky. ** Saat aku kembali ke kantor pusat Hirawan Grup, ruangan CEO sudah seperti kapal pecah, sepertinya beberapa saat yang lalu Hirawan mengamuk besar. Aku yakin semua ini disebabkan oleh harga saham Hirawan Grup yang semakin terjun bebas. “Zea, bagaimana perkembangannya?” tanya Hirawan yang sedang tertunduk lesu di kursi kebesarannya. “Bos, video Tamara sudah seperti bola salju yang menggelinding semakin besar, kita terlambat untuk menarik video itu,” jawabku. “Kenapa aku memiliki anak yang tidak berguna seperti dia!” teriak Hirawan. “Saya baru saja bertemu Ricky dari Uriawan Grup,” ucapku. “Apa yang dia inginkan?” tanya Uriawan. “Pernikahan” ucapku mantap. “Apa?” Hirawan setengah berteriak. “Kita bisa umumkan bahwa mereka sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah, lalu minta maaf karena mereka tidak sabar dan khilaf melakukan hal itu,” ucapku. Hirawan terlihat seperti mempertimbangkan saran dariku. “Mengakui mereka telah bertunangan dan akan segera menikah lebih baik dari pada dicap sebagai gadis liar yang tidur dengan siapa saja” tambahku. “Padahal aku sudah mengincar putra dari Alexander Grup” lirih Hirawan. “Setelah kejadian ini, peluang untuk menjadi besan Alexander Grup adalah 0%” ucapku. “Tidak usah kau perjelas!” ketus Hirawan. “Sekarang kau pulang ke rumahku, jaga Tamara, jangan sampai dia melakukan hal hal aneh lagi, nanti malam aku akan berbicara padanya mengenai pernikahan” ucap Hirawan. ** Aku melihat Tamara sedang berbaring di kasur kesayangannya sambil menangis, sampah tisu berserakan di sana sini. “Gue pikir lo gak suka sama si Ricky,” cibirku saat duduk di samping ranjang Tamara. “Gue benci! benci banget sama si Ricky!” Tamara menangis meraung raung. “Benci kok hot banget di atas ranjang,” sinisku. “Gue dijebak Zea!” Tamara menjambak rambutnya. “Lu masuk sepuluh menit lebih awal daripada Ricky, lalu dengan kerelaan hati lu bukain pintu buat si Ricky!” ucapku datar. “Lu gak percaya sama gue?” sembur Tamara. “Itu kenyataan yang gue dapet di lapangan, gue udah berusaha bikin elu terlihat diperkosa sama si Ricky, tapi lu ke hotel pake baju seksi kayak gitu, senyam senyum gak jelas, terus lu buas banget di video itu. Mana ada yang percaya kalo elu di jebak?” ucapku sinis. “Ada yang ngasih gue bucket bunga dan kartu akses hotel, disana tertulis Devandra yang kirim,” lirih Tamara. “Lo percaya aja? bukannya selama ini si Dave gak pernah ngelirik lu sama sekali?” ucapku meremehkan Tamara. “Lo kesini cuman buat bikin gue tambah down? apa lu puas liat keadaan gue sekarang?” sinis Tamara. “Sejujurnya, gue cukup seneng liat lu sekarang,” aku menarik sudut bibirku. Tamara melihatku dengan pandangan tidak sukanya. “Selama ini lo selalu ngeliat gue dengan pandangan seperti itu, lo selalu iri sama gue, padahal gue ngelakuin semuanya buat lo, buat Hirawan Grup! Kemaren lo seolah olah bersikap bahwa lo sama sekali gak butuh gue, tapi lihat sekarang! lo sampe berlutut di kaki gue dan ayah lo sampe secara pribadi ngejemput gue ke kantor pusat,” ucapku penuh penekanan. “Gue iri sama lo, lo emang hebat, kerjaan lo selalu sempurna, dan karena itu ayah sama sekali gak pernah ngelirik gue dan selalu muji muji elu!” ucap Tamara dengan nada sedih. “Terus itu salah gue? terus gue harus kerja gak bener?” sarkasku. Tamara bungkam mendengar ucapanku. “Lu harusnya kerja lebih keras lagi, bukannya malah fitnah terus pecat gue,” sinisku. “Maafin gue Zea,” air mata sudah menganak sungai di pipi Tamara. Aku menghembuskan nafas dan memeluk Tamara, membiarkannya menumpahkan kesedihannya, aku yakin dia sedang terpukul, jiwanya sedang terguncang. Bagaimana tidak, semua orang berlomba lomba mencaci dan menghakiminya. Aku membelai punggung Tamara dengan lembut. “Ini hanya permulaan Tamara, persiapkan dirimu untuk penderitaan yang menantimu di masa depan,” batinku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD