Mas, ayoo. Katanya mau 'tidur' bareng."
Suamiku yang tengah menonton televisi, mengernyit. Dipandangnya aku dengan ekspresi heran.
"Katanya mau tidur bareng." Aku memberitahunya. Masa dia lupa.
"Aku lelah. Besok saja."
"Kan udah janjian tadi pagi." Aku bergelayut manja di lengannya. Tapi dia tanpa ekspresi. Kuraih remote darinya lalu mematikan televisi.
"Apa siiih!" katanya dengan jengkel. Ia rebut remote dariku. "Masih seru. Kamu ke kamar saja dulu."
Aku mengangguk. "Jangan lama-lama." Lalu aku melangkah menuju kamar. Menunggunya sekian lama tapi ia tak kunjung kemari. Kesal, aku menuju ruang tamu, menghela napas saat melihatnya sudah tertidur sedikit mendengkur.
Kenapa denganmu, Mas?
Entah kenapa, kepercayaanku padanya mulai terkikis. Akhir-akhir ini, ia sering pulang malam, dengan dalih lembur. Aku mendekat padanya, memandangnya dengan jarak dekat. Kurasakan air mata bergulir di pipiku. Mungkin aku lebay, tapi aku merasa begitu sedih dengan sikapnya yang mendadak abay. Ada apa sebenarnya?
Tatapanku tertuju pada HP-nya di saku celana. Kusentuh layarnya. Terkunci. Air mataku kembali bergulir turun. Ah, kenapa aku lebay? Setiap kami tak jadi melakukan ritual suami istri padahal sudah janjian, aku akan merasa begitu sedih. Entahlah kenapa aku begitu lebay.
***
Tak Tek tak Tek tak Tek. Sreng sreng
Sengit cabai bercampur harum bawang goreng menguar di udara, aku mengaduk-aduk tumis sawi sambil sesekali memukul penggorengan. Mas Yoga yang tengah makan memandangku.
"Kenapa kamu?"
"Masak. Masa gak tahu aku sedang masak!" sahutku ketus. Aku masih kesal karena kejadian semalam. Ia menggelengkan kepala dan kembali makan.
Tak tak tak
Kupukul-pukul spatula ke penggorengan.
Mas Yoga kembali memandangku. "Kamu itu sebenarnya kenapa, sih? Heran, aku."
"Ya kamu yang kenapa, Mas."
Ia langsung menuding dadanya sendiri dengan ekspresi bingung. Lelaki tidak peka. Masa dia tak ingat semalam ketiduran? Sudah berapa kali ia membatalkan janji 'tidur' bersama?
"Apa kamu selingkuh, Mas?" kataku spontans. Ia tersentak kaget.
"Berburuk sangka dosa, Dek."
"Alah bilang saja kalau memang iya."
"Tidak." Ia menyahut cepat. Dikiranya aku percaya begitu saja, apa?
"Kalau kamu selingkuh, Mas. Kamu harus keluar dari rumah ini tanpa membawa apa pun. Ingat ini semua peninggalan almarhum ibuku!" Kuperingatkan ia sambil menatap tajam. Ia tergagap saat kuraih HP di meja lalu menatapnya sinis.
"Berapa codenya?"
"Buat apa?" Suaranya bergetar dengan wajah pias.
"Kamu kenapa sih sayang kok tiba-tiba begini?" Ia berdiri dan merangkulku, membawaku merebah di dadanya. Aku memandangnya dan terisak lirih.
"Apa kamu udah gak cinta aku, Mas?" tanyaku disela isak tangis.
"Cinta." Ia memelukku, mengecup keningku. Seperti biasa, aku selalu terbuai olehnya. Yaa. Siapa juga wanita yang tak akan terbuai jika suaminya bersikap lembut begini? Tapi, haruskah aku menyelidikinya? Tapi sepertinya kalau ia selingkuh tak mungkin. Katanya selalu, hanya aku seorang yang dicintainya. Iya, hanya aku yang dicintainya jadi tak mungkin ia selingkuh.