Yusuf dan keluarganya ingin sekali pesta resepsi ini segera berakhir. Telinga mereka sudah sangat panas mendengarkan komentar para tamu yang sok tahu. Yusuf menghamili anak orang, Yusuf memiliki perilaku yang tidak sesuai dengan namanya lah, Yusuf sangat kasihanlah, dan entah apa lagi yang sampai ke telinga mereka sepanjang acara berlangsung.
Belum lagi Larissa repot dengan anak lelakinya yang sebenarnya sangat lucu dan menggemaskan. Dua kali Larissa ijin menyusui anaknya yang ternyata masih berumur satu tahun itu. Lengkap sudah kekecewaan mereka pada keluarga Mutia.
"Larissa, bilang sama mertua kamu, box amplop yang ada tulisan orang tua itu biar buat Bunda sama bapak. Itu'kan haknya kami sebagai orang tua. Jangan lupa juga, box amplop milik pengantin, itu punya kamu, jadi kamu harus minta," bisik Bu Arin pada putrinya. Larissa hanya mengangguk paham tanpa menyahut.
"Kamu paham gak? Bunda suruh apa?" tanya Bu Arin lagi pada putrinya yang sangat ndeso itu.
"Nggak, Bun." Larissa menggeleng. Bu Arin memutar bola mata malasnya, lalu menggerakkan kipas tangan dengan kencang karena merasa sangat gerah dengan kepolosan Larissa.
"Bunda aja yang bilang sama keluarga Yusuf, kalau dua box itu adalah hak kita, karena kita keluarga perempuan," bisik Pak Susanto pada istrinya.
"Malu, Pak, ck, lagian Mutia ke mana sih? Kalau nggak, dari uang hajatan ini kita bisa benerin rumah, Pak. Apa yang ada di otak Mutia? Bisa-bisanya melepaskan Yusuf yang tampan, kaya, terpelajar, dan solih pula. Kurang apa coba? Malah jadi menikah dengan Larissa," omel Bu Arin dengan sebal.
"Sabar, Bun, setelah acara ini selesai, Bapak akan bantu cari Mutia," ujar Pak Susanto sambil mengusap pundak istrinya.
Satu jam yang dinanti pun akhirnya tiba. Semua tamu sudah pulang satu per satu. Tersisa beberapa orang saja yang masih asik berbincang dengan Pak Aditya Darman. Ada juga teman-teman kampus Yusuf yang masih terus mengajak pengantin pria itu berbincang.
"Larissa, kamu mau minum gak? Ini Mama bawakan air," ujar Tara yang mendekat ke pelaminan sambil membawa segelas air putih. Di samping Larissa, si Ganteng Hikaru sudah tertidur pulas.
"Terima kasih, Nyonya," ucap Larissa merasa sungkan.
"Eh, kenapa Nyonya? Panggil saya Mama saja, sama seperti Yusuf," kata Tara yang tersenyum mendengar dirinya dipanggil Nyonya oleh menantu. Larissa mengangguk, lalu ia menghabiskan air putih yang ada di dalam cangkir.
"Siapa nama anak kamu?" tanya Tara berbasa-basi sambil melirik Hikaru yang terlelap.
"Hikaru, Ma, dipanggilnya Aru," jawab Larissa.
"Nama yang bagus, siapa yang memberi nama?" tanya Tara lagi.
"Almarhum suami saya. Dia meninggal saat saya tengah hamil Hikaru dua bulan." Wajah Larissa mendadak sendu.
"Innalilahi wa innailaihi rooji'un. Turut berduka cita ya. Mohon maaf, meninggal karena apa?" tanya Tara penasaran sekaligus merasa sangat iba dengan Larissa. Dahulu, ia pernah ada di posisi ini, ditinggalkan dalam keadaan hamil muda, bedanya suaminya yang meninggalkannya sekarang sudah kembali bersamanya.
"Almarhum suami saya lagi ngadu ayam, terus ada polisi mau nangkep, pas lari kesandung dan jatuh, kepentok tiang listrik kepalanya, trus kecebur got. Udah langsung meninggal di tempat, Ma, karena banyak melewati proses. Kesandung, jatuh, kepentok, kecebur. Jadi, ya ... saya mau tidak mau ikhlas saja," tutur Larissa dengan mata berkaca-kaca.
"Saya berharap, Mas Yusuf tidak suka ngadu ayam, Ma, biar gak kejadian kayak almarhum suami saya," kata Larissa lagi dengan polosnya. Tara menahan mulutnya agar tidak terbahak. Yusuf? Ngadu ayam? Ya ampun, menantunya benar-benar wanita desa yang polos.
"Yusuf sukanya memelihara ikan, tidak suka mengadu ayam. Di rumah Yusuf ada aquarium besar. Nanti kamu pasti suka," kata Tara sambil tersenyum.
"Isinya ikan apa, Ma? Hiu ya?"
"Ha ha ha ...." Tara tidak tahan untuk tidak tertawa lepas.
"Bukan ikan Hiu, tapi ikan hias saja," sahut Tara masih dengan tawanya.
Yusuf menoleh ke arah pelaminan saat mendengar tawa renyah mamanya dan juga Larissa. Ia mengulum senyum dan berharap bisa memperlakukan Larissa dengan baik, walau tanpa cinta. Yusuf mengambil ponsel dari saku celananya, lalu mencoba menghubungi nomor Mutia, tetapi tidak aktif.
Yusuf juga mengirimkan pesan melalui akun f*******:-nya dan i********:, tetapi belum mendapat respon.
"Nak Yusuf, maaf, box amplop boleh kamu bawa satu tidak? Karena kami keluarga wanita, maka kami boleh dong minta satu boxnya. Malah harusnya dua-duanya, tapi karena kami orangnya dermawan, maka tidak apa kita bagi dua saja amplopnya," ujar Bu Arin dengan setengah berbisik pada menantunya.
"Eh, b-boleh, Bun, bawa saja. Kado yang Bunda mau juga bawa saja," kata Yusuf sambil tersenyum.
Seorang wanita yang tengah berdiri tidak jauh dari Yusuf mendengar percakapan antara Yusuf dan mertuanya. Dia adalah Laras; Tante dari Yusuf yang tidak lain adalah istri dari Om Arlenya.
Wanita itu dengan setengah berlari meninggalkan Yusuf dan mertuanya yang tengah berbincang. Laras mengamankan dua box amplop dan juga aneka kado ia minta tiga anaknya untuk dimasukkan ke dalam mobil Uak Zaka.
"Loh, Laras, ada apa ini? Kenapa amplopnya dituang di sini?" tanya Tara heran saat melihat Laras tengah menuang banyak amplop ke atas kain besar.
"Enak saja keluarga Mutia itu, dia minta amplop kondangan. Tidak bisa! Enak saja! Dia sudah bikin malu keluarga, sekarang minta amplop sama kado. Mbak gak boleh terlalu baik sama orang seperti itu. Semua biaya pernikahan ini Yusuf yang tanggung dan keluarga kita di sini yang paling dirugikan. Jadi, dia gak bisa seenaknya!" Tara belum lagi menjawab ocehan Laras, tetapi adik iparnya itu sudah melenggang pergi membawa box amplop ke luar dari aula kembali dan diletakkan di tempat biasa.
Tara mengerutkan kening, lalu ia ikut menyusul Laras yang tengah tersenyum puas saat orang tua Larissa tengah mengangkat box amplop yang sebagian isinya sudah ia amankan.
"Laras, harusnya biarkan saja, tidak apa-apa berbagi rejeki kita dengan mereka," tegur Tara sambil menggandeng tangan iparnya.
"Sudah terlanjur, biarkan mereka bawa seadanya. Yang lain sudah saya amankan di mobil Mbak, he he ... Yuks, ah, kita pulang. Kasian pengantin barangkali mau belah durian Musang King," ledek Laras sambil terkikik geli.
Yusuf dan Larissa akhirnya ikut pulang seperti anggota keluarga lainnya. Malam pertama yang semula direncanakan akan berlangsung di hotel mewah, dibatalkan oleh Yusuf dan memilih tidur di rumahnya saja.
Yusuf yang memang masih muda dan mapan, sudah memiliki rumah sendiri yang cukup besar, hasil dari kerja kerasnya sejak kuliah. Ya, sejak kuliah Yusuf sudah bekerja di sebuah Bank internasional sebagai tenaga accounting, sehingga begitu lulus dan bekerja full selama setahun, Yusuf mampu membeli rumah tanpa seperser pun bantuan dari orang tuanya.
"Kita langsung pulang ke rumah saya," kata Yusuf pada Larissa yang duduk di dalam mobil dengan tenang.
"I-iya, Mas," jawab Larissa sambil tersenyum.
"Sini, biar saya gendong anak kamu, pasti kamu capek," kata Yusuf yang tidak tega melihat Larissa memangku Hikaru yang bertubuh montok sudah satu jam lamanya.
"Gak papa, Mas, biar saya saja," tolak Larissa dengan sungkan.
"Mas, mmm ... apa kita malam ini akan malam pertama?"
"Hah?!" Yusuf melotot kaget dengan pertanyaan yang dilayangkan istrinya.
****