Neneng POV.
Astaqpilloh…demi apa pun? Kalo akhirnya aku bisa juga mendengar suara lelaki yang selama ini hanya bisa aku intip atau aku awasi diam diam. Masya Allah…kasep pisan, sampai mau nangis.
“Terus mau pakan dia beli pesanan makan siang kalian semua, kalo dari tadi kalian ganti ganti pesanan. Ini udah jam berapa? dan saya udah lapar” omelnya kemudian setelah menjeda kelakuan anak buahnya yang dari tadi menggodaku dengan ganto ganti pesanan makan siang mereka yang aku catat di handphoneku.
“Maaf bang…Abis Neneng keceh sih, jadi gemes” jawab salah satunya.
Sontak aku terbelalak lalu menunduk saat tatapan kami bertemu karena aku refleks menoleh ke arah pak Iwan, ya namanya itu. Kepala bagian atau supervisor divisi gambar dan purchasing order di kantor tempat aku bekerja sebagai office Girls atau OB. Memang tugasku melayani kebutuhan makan dan minum para pekerja kantor di satu lantai ini. Kalo makan memang aku yang akan membelikan pesanan mereka, kalo makan siang sudah tiba. Tapi kalo cemilan sore ya aku yang menyiapkan dari apa yang di beli oleh bagian HRD. Di perusahaan ini memang seperti memanjakan pekerjanya, dengan menyediakan kopi, teh, selain air putih untuk semua pekerjanya. Ada aku harus ingat satu persatu meja dan kebiasana minum mereka. Setiap pagi sebelum mereka datang, minuman itu memang harus tersedia. Dan sore baru di keluarkan cemilan, bisa apa saja. Dari gorengan sampai kue kue basah. Sejauh ini aku betah sekali bekerja di perusahaan Syahreza Group yang pimpinannya ganteng banget dan sering masuk TV bersama keluarganya yang lain yang juga cantik dan ganteng.
Pak Iwan terdengar berdecak.
“Udah kamu jalan sekarang, belikan aja seusai pesanan yang kamu catat terakhir. Saya udah kelaperan” perintahnya berikutnya padaku.
Aku bersyukur dia tidak menyadari wajahku yang memerah.
“Ayo Neng!!” ajak teh Nia yang mengajakku ke kerja di perusahaan ini dan muncul sebelum aku beranjak karena perintah pak Iwan.
Mungkin karena kelamaan menungguku untuk barengan membelikan pesanana makan siang para pegawai staff yang malas makan di kantin perusahaan. Walaupun makanannya enak, tapi bisa bosan dong kalo makan itu setiap hari, kecuali tanggung bulan. Biasanya baru terpaksa makan di kantin. Dan sebenarnya jadi rezeki untuk kami para OB kalo mereka beli makan siang di luar kantin, karena kembaliannya yang beberapa ribu, selalu buat aku. Ada beberapa sih yang pelit dan kembaliannya di ambil juga. Tapi aku tetap senang hati melakukannya sekalipun tidak dapat tips. Aku jadi sesaat bisa keluar ruang pantry tempat aku dan dua temanku berada di kantor ini.
“Ulah baper ya Neng, kalo akhirnya pak Iwan belain kamu” kata teh Nia yang memang tau kalo aku sering tanya tanya soal pak Iwan yang jarang berkeliaran di luar ruangannya dan kadang pergi keluar kantor dengan abangnya yang juga atasannya di perusahaan ini.
Orang bilang mereka berdua itu adik ipar istri bos besar yang punya perusahaan yang tadi aku bilang.
“Naon ari teteh. Biasa wae atuh” jawabku dengan logat sunda karena aku memang asli orang sunda.
“Teteh bukan jahat, ingetin kamu aja. Pak Iwan tuh udah punya pacar, cantik juga. Pas teteh nikahan aja datang. Jadi jangan berharap banyak. Kalo suka macam kamu suka sama artis mah gak apa. Kan gak mungkin juga artis ganteng mau sama kamu” jawabnya.
Aku tertawa sambil mengangguk.
Aku tentu tau diri. Siapa aku dan siapa pak Iwan. Sekalipun hanya ipar, jelas dia tetap aja dari keluarga berada. Pasti sekolah tinggi kalo akhirnya jadi atasan di perusahaan ini juga, walaupun masih ada atasan lagi di atas dia, di atasnya lagi masih ada, tetap aja bukan pegawai rendahan macam aku.
Terus teh Nia bilang, pak Iwan udah punya pacar. Lebih gak mungkin aku berharap banyak. Udah jadi milik orang lain. Jadi memang ada baiknya kalo aku memelihara rasa sukaku seperti aku suka pada artis ganteng yang suka ada di sinetron yang aku tonton.
Oh ya, aku belum cerita. Aku itu namanya NENENG HASANAH. Jangan tertawa, namaku memang norak kok, karena aku memang gadis kampung yang mengadu nasib di Jakarta. Aku hanya lulusan SMA, itu pun alhamdulilah lulus, kalo bapakku terpaksa pensiun dini karena pengurangan karyawan di perusahaan peternakan ayam di Sukabumi dekat rumahku sebelum aku pindah ke Jakarta. Aslinya aku dulu berikut keluargaku tinggal di Cianjur. Nah dari uang pemberhentian bapak, akhirnya bapak mengajak kami semua pindah ke Sukabumi. Di atas gunung rumah yang bapak beli dengan harga murah, karena sisa uang pemberhentinya di berencana di gunakan untuk beli tanah untuk di jadikan ladang untuk bapak jadikan usaha.
Dari yang awalnya aku setuju pindah sampai aku sesali karena ternyata bapak membawa kami pindah ke daerah yang jalannya aja ancur ancuran. Ingat sekali aku dulu, yang terus menerus menangis, karena merasa terpenjara dari peradaban manusia. Gak percaya. Untuk mencapai pasar terdekat aja mesti menempuh jarak 1 jam naik motor, belum di tambah perutku yang sakit karena efek guncangan saat naik motor di jalanan berbatu. Jadi aku malas untuk sekedar ke pasar ikut bapak untuk membeli bahan makanan yang tidak ada di warung. Kalo untuk sayuran, sekelilingku kebun sayuran. Macam cabe, sawi putih, casim, singkong, dan segala sayuran yang tumbuh di dataran tinggi. Dan itu usaha bapakku untuk menafkahi kami sekeluarga. Bagus aku sudah lulus saat pindah ke Cienggang, nama kampungku. Tinggal adikku perempuan yang masih harus sekolah dan itu perjuangannya luar biasanya sekali untuk mencapai sekolahnya di bawah gunung tempat tinggal aku.
Tapi kalo kalian mencari udara segar, tentu tempat tinggalku juaranya. Namanya di atas gunung tentu udarany segar. Dan sangat sepi, kalo selepas magrib sudah tidak ada orang yang keluar rumah. Bapakku pun punya 2 bidang tanah yang di tanami sayuran dan cukup jauh dari rumah, karena bapak beli tanah yang semetarnya masih murah sekali. Jadi rutinitasku di rumah hanya bebenah rumah, bantu mamaku masak, setelah itu aku bersantai. Paling siang hari, aku akan menyusul bapak sambil membawakan makanan dan minuman. Runitas yang membosankan, kalo aku baru dapat hiburan saat ada pertandingan sepak bola antar kampung. Pasti ketua RT atau RW, akan menyediakan mobil mobil pick up atau truk untuk membawa warganya ke lokasi pertandingan bola. Hadiahnya sederhana, paling seekor kambing, tapi gengsi tetap nomor satu. Jadi bukan hadiahnya yang penting, tapi nama kampung yang jadi pemenang yang penting. Kalo ada acara orang hajatan juga, aku baru dapat hiburan. Tapi kalo yang hajatan menyewa hiburan dangdut dengan penyanyi yang dandanannya menor dan pakaiannya seronok. Jadi sekalipun aku ikutan datang, aku lebih tertarik untuk jajan di banding menonton acara dangdutannya. Suka risih kalo mulai ada bapak bapak genit yang menyawer biduan dangdut plus pegang pegang tubuh si biduan yang di sawer.
Okey, lalu gimana akhirnya aku bisa ke Jakarta dan bekerja jadi OB? Tentu karena di ajak teh Nia, yang cerita kalo dia dapat gaji besar di Jakarta. Untuk orang Jakarta gaji UMR itu mungkin tidak besar, tapi bagi orang kampung sepertiku atau teh Nia tentu besar, kalo ada jutaannya.
“4 juta teh, sebulan?” tanyaku pada teh Nia yang jadi tetanggaku.
“Iya, teteh aja kaget, padahal kerjanya cuma bersihin meja sama sediain kopi sama teh. Tapi ya tetap harus punya ijazah SMA” jawabnya.
“Aku lulusan SMA kok” potongku cepat.
“Ayo atuh, nanti kalo ada lowongan, teteh bilang kamu ya. Kamu izin dulu sama bapakmu” katanya.
Dulu dia belum menikah, jadi masih bisa jadi temanku mengobrol saat dia pulang kampung. Tapi bapak jelas tidak langsung setuju.
“Iya kalo si Nia kerja jadi pembantu di kantor di Jakarta, kalo gak taunya jadi perempuan gak baik gimana?. Mau kamu ikutan jadi perempuan gak benar?” kata bapak saat aku cerita.
“Teh Nia pakai kerudung pak, masa iya jual diri” belaku.
“Ari kamu, kalo di bilangin sama orang tua, gak percaya. Bisa aja atuh, pas pulang kampung dia pakai kerudung, gak tau pas di Jakarta” jawab bapak bersikeras.
Bisa apa aku, selalu menurut pada larangan bapak. Bapak akhirnya mengizinkan untuk aku ke Jakarta, setelah teh Nia menikah di kampung. Baru bapak percaya kalo teh Nia kerja benar di Jakarta karena sampai dapat jodoh di Jakarta. Ada lelaki yanga akhirnya bisa bertanggung jawab padanya, jadi kemungkinan aku akan dapat pekerjaan tidak benar pun semakin kecil.
“Sok kalo memang ada lowongan di perusahaan si Nia kerja, kamu bikin aja dulu, kalo di terima, bapak bakalan antar kamu ke Jakarta. Tentu butuh modal neng untuk tinggal di Jakarta. Kita tidak punya keluarga di sana” kata bapak.
Aku menurut lagi sampai ternyata the Nia telpon ke handphone bapak, kalo aku di terima kerja. Sibuklah bapak menyuruh teh Nia mencarikan aku kontrakan atau kos kosan untuk aku tinggal nanti. Sampai mama menjual satu satunya cincin emas yang mama punya. Ingat sekali aku, mama berikan aku uang satu juta setengah untuk modalku kerja di Jakarta. Uang itu, 800 ribunya aku bayar kontrakan sepetak dan sisanya aku pegang untuk aku makan dan ongkos kerja.
Dan ternyata biaya hidup di Jakarta mahal sekali, kalo untuk sekali makan, butuh biaya 20 ribu. Jadi belum sebulan uang sisanya habis, sampai teh Nia memberikan pinjaman padaku sampai aku gajian. Bagusnya aku selalu nebeng naik motor dengan teh Nia, sebagai gantinya aku ambil alih pekerjaan teh Nia macam beres beres di jam karyawan pulang. Tentu ada sisa gelas dan cangkir yang harus aku bereskan di meja meja karyawan dan menyapu ngepel lantainya.
“Gak apa teh, suami teteh pulang kerja juga. Mending teteh cepetan pulang, trus urus suami teteh. Aku mah pulang juga langsung tidur, gak ada yang ganggu, kan masih belum nikah” kataku.
“Beneran Neng?” tanyanya memastikan.
“Beneran, sok atuh pulang” kataku.
“Nanti kamu pulang naik apa?” tanyanya lagi.
“Gampang teh” jawabku.
Padahal aku pulang terpaksa jalan kaki, karena sayang uangnya kalo naik ojek. Aku belum punya handphone jadi belum bisa pesan online yang ternyata lebih murah di banding ojek pangkalan. Mending uangnya aku pakai untuk beli makan malamku di warteg dekat rumah. Dan lumayan ada tambah karena teh Nia bilang harus rajin dan mau di suruh ini itu oleh karyawan staff, karena suka di beli uang tips dari kembalian.
“Lumayan Neng, bisa dapat 30 ribu sampai 50 ribu, kalo kamu rajin dan mauan. Kan kita ke bawah juga pakai lift gak naik turun tangga. Trus kalo yang satu nitip sesuatu, pasti yang lain suka ikutan. Jadi gak ada salahnya kamu tanya dulu sama yang lain, mau sekalian nitip gak” kata teh Nia.
Aku mengangguk mengerti. Dan hal inilah yang membuatku akhirnya berani untuk beli handphone bekas saat gajian pertama kali. Aku jadi bisa telpon mama dan bapak di kampung, setelah aku beli dari sisa gaji yang aku kirim ke bapak lewat rekening bank pemerintah yang ada di pasar. Aku kembalikan uang modal yang bapak berikan jadi aku tidak perlu merasa bersalah lagi. Sisa uangku lalu tersisa sekitar 5 ratus ribu, kalo aku belikan juga magic com juga kompor kecil kalo aku mau makan mie instans dan berhemat juga, kalo aku cukup beli lauk saja di warteg, tanpa nasi. Dan aku bawa sebagai bekal makan siangku juga kalo aku kerja. Lumayan, jadi aku bisa kirim uang lagi pada mama di kampung dari gajiku berikutnya.
“Jangan atuh Neng, sok buat kamu aja, mama udah ada uang dari bapak. Atau kamu tabung” kata mama di telpon setelah aku kirim uang lagi.
“Te bakalan bisa nabung mah, Jakarta banyak godaan, mending mama yang simpenin buat Neneng. Neneng cukup kok, kan suka di kasih persen kalo di suruh suruh” jelasku supaya mama berhenti khawatir.
Terdengar helaan nafas.
“Engges atuh, kalo kamu maunya begitu. Ku mamah di tabung wae” jawab mama.
“Tapi kalo mama mau pakai gak apa. Terserah mama aja” kataku.
Entah gimana akhirnya, kalo setiap bulan aku selalu kirim separuh gajiku pada mamaku. Aku sudah merasa cukup dengan sisa gajiku dan uang tips yang aku dapat setiap harinya, bisa sampai 100 ribu kalo aku sedang beruntung. Biasanya pas awal bulan setelah gajian baru deh rezekiku alhamdulilah, walaupun berakhir dengan kakiku yang rasanya cape sekali karena bolak balik melayani titipan karyawan staff. Sudah hampir tiga bulan aku bekerja dan aku semakin betah.
“Mau saya ambilkan air putih gak pak?” tanyaku setelah di suruh mengantarkan pesanan pak Iwan.
“Boleh, makasih ya” jawabnya dengan tatapan tetap ke arah laptop dan hanya sebentar menatapku.
Aku masuk ruangannya dan ada pak Iwan pun, karena si suruh anak buahnya, yang takut pak Iwan masih marah karena peristiwa sebelum beli makan siang. Dan begitu aku kembali dengan segelas air putih untuknya saat dia mulai makan. Tapi lalu aku harus mengurus pesanan minuman dari staff yang lain. Kadang aku pikir, yang jadi bos aja tidak terlalu merepotkan, malah yang jadi anak buah yang selalu banyak maunya. Dari minta es teh manis, sampai s**u padaku. Dan memang kalo air putih, ada gallon di setiap ruangan, kecuali ruangan pak Iwan sih.
Baru setelah selesai, aku ngaso dulu di pantry dan menunggu teh Nia juga temanku yang lain selesai makan, supaya tetap ada yang siaga kalo ada butuh sesuatu di pantry. Kalo mereka sudah selesai makan, baru giliranku. Tapi aku selalu sholat dulu sebelum aku makan, yang jadinya aku akan makan di sekitar jam 2 siang. Dan tangga darurat jadi pilihanku untuk tempat aku makan sambil membaca buku n****+ online. Tapi ada yang berbeda kali ini, kalo saat aku masuk tangga darurat, aku temukan pak Iwan sudah duduk di puncak tangga di balik pintu masuk.
“Maaf pak, saya pikir gak ada orang” kataku sampai batal masuk.
“TUNGGU!!” jedanya.
Aku batal menutup pintunya.
“Bapak butuh sesuatu?” tanyaku takut takut.
“Kamu ngapain di sini?” tanyanya sambil bangkit lalu melempar punting rokok yang dia hisap sebelumnya ke tong sampah alumunium di balik pintu juga, jadi pintunya mengarah ke tangga ke bawah dan bukan tangga ke atas di sampingnya. Taukan bentuk tangga darurat di gedung gedung tinggi?
“Saya biasa makan di sini pak, maaf” jawabku jadi takut di marahi kalo lalu dia menatap jam tangannya.
“Kenapa gak di pantry?” tanyanya.
“Hm…suka aja di sini, sepi, jadi….” aku lalu diam bingung harus jawab apa.
Ngomong aja nunduk, dan memegang kotak makan berisi makan siangku dengan erat. Kalo pak Iwan marah, bisa bisa aku di pecat.
“Oh…ya udah makan aja. Gak apakan kalo saya numpang ngerokok?” jawabnya sampai aku kaget lalu mengangkat wajahku menatapnya.
“Beneran kok, makan makan aja. Asal kamu gak keberatan saya numpang ngerokok, suntuk saya” jawabnya pada tatapanku.
Aku mengangguk dan menghela nafas lega.
“Di lihat lihat, emang kamu keceh ya? pantas anak buah saya pada suka godain kamu” katanya dan buat aku rasanya mau naik tangga darurat bolak balik.
Di puji keceh dong sama laki yang selalu aku perhatikan diam diam. Dia sendiri padahal keceh banget. Kasep pisan…..
( Jangan Lupa Tap Love Ya )